PILKADAL DAN “KADAL POLITIK” ITU



Secara sengaja saya gunakan istilah PILKADAL (pemilihan langsung oleh rakyat), untuk membedakan dengan PILKADA yang dilaksanakan secara tidak langsung dan proses pemilihannya dilakukan oleh wakil rakyat di DPRD selama itu.

PILKADAL (PemILihan KepAla DAerah Langsung) sejak dua tahun terakhir marak di mana-mana. Ia akhirnya jadi semacam sumber baru bagi perekonomian masyarakat. Agen-agen reklame mendapat order besar untuk keperluan propaganda dan kampanye. Foto-foto mejeng para kandidat terpajang di lokasi-lokasi strategis jalan raya, mengalahkan gambar model iklan maupun bintang sinetron dan film. Ada job dadakan berupa pemasangan banner, spanduk, umbul-umbul dan selebaran bagi remaja dan mereka yang tak punya pekerjaan tetap. Kantor partaipun – di musim-musim Pilkadal ini berubah jadi seperti “kantor bisnis pemasaran”. Sekecil apapaun bentuk proposal dukungan, ada nilai finansial bagi mereka yang mengajukan.

Secara sengaja saya gunakan istilah PILKADAL (pemilihan langsung oleh rakyat), untuk membedakan dengan PILKADA yang dilaksanakan secara tidak langsung dan proses pemilihannya dilakukan oleh wakil rakyat di DPRD selama itu.

PILKADAL (PemILihan KepAla DAerah Langsung) sejak dua tahun terakhir marak di mana-mana. Ia akhirnya jadi semacam sumber baru bagi perekonomian masyarakat. Agen-agen reklame mendapat order besar untuk keperluan propaganda dan kampanye. Foto-foto mejeng para kandidat terpajang di lokasi-lokasi strategis jalan raya, mengalahkan gambar model iklan maupun bintang sinetron dan film. Ada job dadakan berupa pemasangan banner, spanduk, umbul-umbul dan selebaran bagi remaja dan mereka yang tak punya pekerjaan tetap. Kantor partaipun – di musim-musim Pilkadal ini berubah jadi seperti “kantor bisnis pemasaran”. Sekecil apapaun bentuk proposal dukungan, ada nilai finansial bagi mereka yang mengajukan.

Walhasil, perhelatan yang satu ini tidak saja membuat sibuk banyak orang, tapi sekaligus memberikan tambahan pekerjaan. Dalam situasi resesi ekonomi seperti ini, maka PILKADAL untuk sementara menjadi alternatif usaha. Belum lagi ketika kampanye digelar, minimal ongkos hadir di gedung maupun lapangan juga ada tarifnya tersendiri. Konon isi amplop yang dibagi berkisar antara Rp. 20 ribu sampai Rp. 50 ribu per orang. Biaya itu tentu tidak termasuk transportasi dan konsumsi yang disediakan panitia.

Bayangkan: berapa ratus juta atau bahkan puluh milyar rupiah yang dihamburkan untuk hura-hura dan pesta kampanye PILKADAL ini! Seandainya uang sebesar itu untuk menanggulangi kemiskinan dan kebodohan di daerah, sudah pasti akan mengubah keadaan warga dan masyarakat. Mereka akan meningkat kesejahteraannya, walau tidak secara maksimal. Tapi tentu upaya tersebut akan mengurangi penderitaan kaum dhu’afa (yang melanda masyoritas warga) itu.

Hitung-hitungan di atas belum termasuk ongkos yang harus dikeluarkan oleh calon yang mengikuti PILKADAL untuk lolos dalam seleksi. Ada biaya yang harus dilunasi untuk pencalonan melalui partai. Ada juga cost untuk melobi petinggi partai ataupun pemuka agama, yang diharapkan dapat menghimpun suara. Di pihak lain, petinggi dan pemuka masyarakat itu mengklaim sebagai punya pengaruh di tengah rakyat dan umat. Sebab jika namanya semakin dikenal, maka cost untuk dukungan itupun tentu semakin mahal pula nilai rupiahnya.

Akhirnya perilaku para petinggi dan pemuka agama itupun berubah. Di mana-mana ia menebar pesona: merasa paling kharismatik dan punya pengaruh kuat. Tujuannya hanya satu: agar nilai bargaining dengan kandidat dalam PILKADAL itu besar. Janji-janji (dukungan) tidak tertulis pun berhamburan saat lobbying berlangsung. Sang calon, karena sudah ”mabuk” kekuasaan, selalu oke saja dengan berbagai tawaran asalkan dapat dukungan sebesar-besarnya. Padahal tidak semua yang dijanjikan itu benar. Mereka tidak merasa kalau dikadalin (dari kata kadal yakni hewan melata yang bisa mengelabui pemburunya. Yang dimaksudkan dari istilah itu adalah dibohongi/diakalin). Ada yang menyebut, mereka yang jadi makelar PILKADAL itu adalah ”kadal politik”.

Oleh karena itu, jika calon tadi tidak jadi, mereka bisa stress berat. Pertama, ia harus kehilangan biaya yang besar tanpa hasil kecuali kekecewaan dan keletihan. Kedua, jika biaya itu hasil utang, maka mereka harus kerja keras untuk mengembalikannya. Bisa-bisa jual rumah, tanah dan kendaraan yang ada untuk menutup kerugian. Konon ada yang kalah dalam pencalonan akhirnya mereka jadi kere (jatuh miskin). Ketiga, mereka yang tak tahan akhirnya menderita sakit keras. Itu berarti tambahan biaya pasca kekalahan PILKADAL. Sungguh tragis permainan politik yang tak dilandasi keimanan dan keikhlasan ini.

Bagi yang berhasil dalam PILKADAL memang sementara mereka bersorak gembira. Sedangkan ambisi berikutnya bisa jadi makin liar dan tidak terkendali: mencari proyek untuk mengembalikan ”modal” PILKADAL yang begitu besar sudah mereka keluarkan. Korupsi jadi pilihan paling pasti untuk dijalani. Bahkan jabatan lain pun harus diraih, yaitu sebagai petinggi partai politik atau lembaga lain yang diharapkan bisa menambah “wibawa” mereka untuk berbuat seenaknya.

Padahal ada satu hal yang mereka lupakan: bahwa kepemimpinan itu tidak bisa diminta apalagi dipaksakan, namun oleh umat diberikan sebagai amanat. Lagi pula pertanggung-jawabannya berat di sisi masyarakat maupun di hadapan Allah SWT kelak. Tapi mengapa orang berebut dengan “tantangan” yang membahayakan (bagi orang tak beriman) itu? Ada yang bilang semua tadi bersumber dari dorongan ambisi kedudukan dan kekayaan yang tidak dilandasi rasa iman yang memadai. Jika sudah begini, kapan pemimpin dan calon pemimpin kita menginsyafi hal ini? Abu Muhsin


0 komentar: