Peran Ulama Dalam Bernegara


“Lisanul” Ahlussunnah wal Jama’ah (Penyambung Lidah Ahlussunnah wal Jama’ah) Demikian Prof. DR. HM. Baharun menyebut sosok KH Ma'ruf Amien, dalam kesempatan “duet” pada dialog ahlusunnah wal jama’ah beberapa waktu lalu. Betapa tidak, dalam setiap kemunculan sosok Kiai Ma’ruf di televisi maupun media cetak beliau tetap istiqamah menyuarakan kebenaran dan pembelaan terhadap ahlusunnah ‘ala qadri istita’atih. Secara defacto beliau adalah lisanul ahlussunnah wal jama’ah. Sebagai Ketua komisi Fatwa MUI Pusat, ia termasuk tokoh yang berada di balik fatwa MUI yang memberi sertifikat sesat paham “Sipilis” (sekulerisme-pluralisme-liberalisme).

“Lisanul” Ahlussunnah wal Jama’ah (Penyambung Lidah Ahlussunnah wal Jama’ah) Demikian Prof. DR. HM. Baharun menyebut sosok KH Ma'ruf Amien, dalam kesempatan “duet” pada dialog ahlusunnah wal jama’ah beberapa waktu lalu. Betapa tidak, dalam setiap kemunculan sosok Kiai Ma’ruf di televisi maupun media cetak beliau tetap istiqamah menyuarakan kebenaran dan pembelaan terhadap ahlusunnah ‘ala qadri istita’atih. Secara defacto beliau adalah lisanul ahlussunnah wal jama’ah. Sebagai Ketua komisi Fatwa MUI Pusat, ia termasuk tokoh yang berada di balik fatwa MUI yang memberi sertifikat sesat paham “Sipilis” (sekulerisme-pluralisme-liberalisme).
Pada acara dialog yang merupakan rangkaian kegiatan memperingati Harlah NU ke 82 di PCNU Sumenep itu, Kiai Ma’ruf mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) itu adalah manhajul fikr, harakatu Islah dan Fitrah. Sebagai manhajul fikr (cara berfikir), NU lahir dari upaya untuk menyelamatkan umat dari cara-cara berfikir destruktif. Dan manhaj fikir inilah yang kemudian dirumuskan oleh sesepuh NU sebagai manhaj fikr NU, yaitu ma ana ‘alaih wa ashabih. Atau manhaj fikr ahlussunnah wal jama’ah maa ana ‘alaih wa ashabih. “Karena itu, NU yang tidak berfikir menurut manhaj fikirnya NU menurut saya, itu adalah NU ‘kesurupan’, tutur Mustasyar PBNU itu.
NU sebagai organisasi merupakan sebuah organisasi pergerakan ulama untuk mengadakan perbaikan agama dan kemasyarakatan, dengan meneladani para pendirinya dari segi perkataan, perbuatan dan mu’amalah. “Oleh karena itu apabila NU tidak bergerak, itu namanya NU mabniyun alas sukun”, kata Kiai Ma’ruf. Sebagai fitrah NU mengacu pada jiwa ketulusan/kemurnian. Yang implementasinya di dalam masalah kepemimpinan kiai saling mendorong dan berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dalam perjalanan Fikrah Nahdliyah, NU menghadapi dua tantangan, yaitu internal dan eksternal. Bentuk tantangan internalnya menurut Kiai Ma’ruf adalah kecenderungan sebagian kalangan ahlussunnah yang menjadi konservatif atau mengarah pada jumud. Tidak dinamis, padahal ulama mengatakan bahwa jumud di dalam teks-teks saja itu merupakan kesesatan dalam beragama dan satu kebodohan terhadap apa yang dikehendaki oleh ulama-ulama terdahulu. Sedangkan bentuk tantangan luar NU adalah sekularisme, liberalisasi dan pluralisasi. Sedangkan NU itu sendiri menurutnya, adalah moderat tidak liberalis dan tidak fundamentalis.
Isu-isu yang dibangun oleh kaum liberalis untuk menarik kalangan ahlussunnah dan warga Nahdliyin khususnya adalah seputar permasalahan HAM, kesetaraan gender, pluralisme, kemanusiaan tanpa batas. Kecenderungan dari sekularisme mengajak umat Islam berpikir keluar dari agama. “Buat mereka (kaum liberalis), orang sesat dan murtad itu bagian dari kebebasan, hak asasi. Mereka mengajak supaya agama jangan masuk menjadi hukum ketatanegaraan menjadi undang-undang dengan alasan itu sejalan dengan kemajemukan.”ungkap kiai asal Banten ini.
Nahdatul Ulama’, sebagaimana yang diperjuangkan oleh para pendahulunya memperjuangkan penerapan syari’at Islam dalam masyarakat dan konteks undang-Undang (UU). Karena itu kita menyikapi UU itu minimal tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan menjadi kewajiban para ulama untuk mengawalnya. “Ajaran Islam harus terus kita perjuangkan untuk bisa menjadi undang-undang. Sepanjang tidak dilakukan dengan cara pemaksaan, tapi dengan cara konstitusional dan demokratis. Kita sudah berhasil melahirkan undang-undang perkawinan, undang-undang ekonomi syari’ah dan berhasil menerbitkan Surat Berharga Syariat Negara. Saya menyebutnya ini bagian dari kemajemukan, sepanjang pihak lain tidak keberatan.” Jelas Kiai yang juga menjadi anggota penasihat kepresidenan ini.
Dalam setiap langkah gerak perjuangan Islam, kelompok sekuler pasti akan selalu menahan itu, mereka mencegah agar jangan sampi ada ajaran agama masuk dalam konstitusi negara. Belum lama ini ada maklumat keindonesiaan yang terdiri dari17 orang, salah satunya mencegah jangan sampai salah satu agama mendominasi. Mereka berusaha untuk mensekulerkan Nation State Religius Indonesia. Mereka ingin menghapus akar keberagamaan umat Islam yang sudah berlangsung semenjak 500 tahun lalu, dan telah menjadi bagian dari sistem perilaku cara kehidupan bangsa Indonesia ini. Dari golongan ekstrem sekuler berusaha untuk menjadikan Indonesia negara kebangsaan sekuler.
NU menurut Kiai Ma’ruf, harus tetap menjadi kekuatan yang menengahi antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri dalam kehidupan berbangsa ini. NU harus menjadi organisasi yang tawashut dan tamasuh, tidak fundamentalis dan tidak sekuleris. ”Ini merupakan persoalan kebangsaan kita bersama, bukan berarti kita tidak mengerti bahwa kita harus memperjuangkan Islam dengan sepenuh tenaga, akan tetapi di sini kita telah memiliki kesepakatan dalam kehidupan berbangsa ini. Nah! Sebagai umat Islam kesepakatan itu kita pegang. Karena almuslimuna ala syurutihim, orang Islam itu harus memenuhi perjanjiannya.” ujarnya. Meskipun begitu Kiai Ma’ruf menambahkan bahwa para ulama berusaha menjadikan Islam adalah sebagai yang harus memberikan arahan/kadiah penuntun di dalam kehidupan berbangsa ini. Disinilah konsekwensi yang dihadapi memang berat sekali. (Ernaz).


Cukuplah Allah Sebagai Penolongku


Tak ada rasa cemas, tak ada rasa takut, tak ada rasa khawatir. Begitulah keadaan para sahabat ketika akan menghadapi perang uhud. Dikatakan oleh ahli sejarah, saat itu jumlah pasukan kafir Quraisy 3000 pasukan dengan persenjataan yang lengkap, sedangkan umat Islam hanyalah 600 orang. Namun, para mujahid yang membela ajaran Rasulnya itu tak gentar menghadapi lawan. Satu ucapan yang keluar dari mulut mereka ialah hasbunallah wa ni’mal wakiil.


(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung". Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Ali “Imran:173-174)
Tak ada rasa cemas, tak ada rasa takut, tak ada rasa khawatir. Begitulah keadaan para sahabat ketika akan menghadapi perang uhud. Dikatakan oleh ahli sejarah, saat itu jumlah pasukan kafir Quraisy 3000 pasukan dengan persenjataan yang lengkap, sedangkan umat Islam hanyalah 600 orang. Namun, para mujahid yang membela ajaran Rasulnya itu tak gentar menghadapi lawan. Satu ucapan yang keluar dari mulut mereka ialah hasbunallah wa ni’mal wakiil.
Saat ini di mana pun berada, kaum muslimin menjadi sasaran berbagai fitnah yang keji. Mereka dikatakan sebagai kaum preman bersorban, anti perdamaian, fanatik dan sebagainya. Bahkan di negara yang mayoritas penduduknya muslim, pemerintahannya muslim, umat muslim mnejadi ajang bulan-bulanan. Agama mereka di nodai dengan bermunculannya bermacam aliran sempalan, pemurtadan dan pengikisan akidah secara sistematis terjadi hampir setiap hari. Namun, ketika kaum muslim ingin bangkit, membela agama dan akidahnya, mereka diteriaki sebagai: teroris, pengacau keamanan, Islam garis keras dan sebagainya. Musuh Umat Islam dari kalangan Yahudi, Nasrani, Liberal, Kapitalis dan anti Islam lainnya bersatu padu untuk menghancurkan Islam.
Jika kita berpikir secara logika, dengan segala kecanggihan Amerika dan Sekutunya, Keuangan mereka yang besar untuk membentuk LSM-LSM asing dan memiayai segala kegiatan pemurtadan di Indonesia, maka mungkin kita akan pesimis bahwa Islam akan bertahan lama di bumi nusantara ini. Namun umat Islam memiliki senjata yan lebih besar dai dana-dana LSM Amerika, lebih besar dari segala kecanggihan yang telah dibuat dan akan dibuat oleh Amerika. Umat Islam memiliki Allah azza wa jalla. Manusia adalah makhluk lemah, kita tidak memiliki kekuatan. Kekuatan hanya milik Allah Yang Maha Kuat.
Setelah merenungi ayat ini, kita tidak perlu lagi takut. Kita bisa melangkah di muka bumi ini dengan langkah yang berani, karena Allah menjadi Penolong dan Pelindung. Tidak ada sau pun yang mampu mengalahkan kekuasaannya. Kesusahan, bencana, kemiskinan, dan kesulitan lainnya adalah kecil dihadapan Allah. Serahkanlah semuanya kepada Allah Yang Maha Kuat dan Maha Kaya jika kita ingin mampu menghadapi kesusahan dan bencana. Tidak perlu takut menghadapi musuh-musuh Allah saat berdakwah, sebab siapa yang mampu mengalahkan Pelindung dan Penolong kita? Tidak ada lagi alasan untuk takut, tidak alasan untuk tidak semangat, tidak alasan untuk khawatir akan hari esok, sebab kita sebenarnya sudah memilik Pelindung dan Penolong. Mari kita jadikan kalimat hasbunallah wa ni’mal wakiil sebagai semboyan hidup kita. Jika harta kita sedikit, hutang yang banyak, maisyah yang terhambat, mengadulah kepada Penolong dan Pelindung kita.
Saat kita mau berdakwah, rintangan dan halangan selalu ada. Tetapi sekarang hal ini tidak lagi bisa menjadi alasan kita untuk tidak berdakwah karena Allah yang menjadi Pelindung dan Penolong kita. Tidak peduli musuh kita banyak. Tidak peduli musuh kita kuat. Tidak peduli kita hanya sendiri. Jika Allah Pelindung dan Penolong kita, semua musuh akan bisa dikalahkan. Tidak akan yang mampu menahan kehendak Allah SWT. Ingatlah Penolong dan Pelindung mu itu Mengapa kita sering kali tetap khawatir dan takut? Mungkin karena kita sering lupa bahwa kita memiliki Penolong dan Pelindung. Oleh karena itu kita harus mengingat-Nya terus agar hati kita tenang. Tidak ada suatu pekerjaan yang bisa membuat hati kita tenang selain kita mengingat-Nya. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Al Ra’d:28)
Bahkan saat kita menghadapi musuh perang, yang kita perlukan adalah mengingat Allah agar kita bisa memenangkan perang tersebut. Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. (QS Al Anfaal:45) Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. AlFath:18)
Mari kita berjalan, bertindak dan mencoba. Dengan selalu mengingat Penolong dan Pelindung kita, bukan hanya ketenangan yang akan kita dapat, juga kemenangan. Karena, Allah yang menghidupkan kita, yang mematikan kita, yang memberi rezeki, yang menentukan apa yang terbaik bagi kita. Kenapa harus takut? Sekarang, saatnya kita hidup dimuka bumi ini tanpa rasa khawatir. Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yunus:62) Ernaz

Gusdur Vs Habib Rizieq



Bentrokkan di Monas, Ahad, 1 Juni 2008, yang akhirnya menyebabkan Habib Riziq dipenjara dan Munarman buron beberapa hari masih belum terhapus dari ingatan kita. Dua kubu yang berlawanan FPI dengan pimpinan Habib Rizieq dan AKKBB dengan tokoh sentralnya KH. Abdurrahman Wahid alias Gusdur.
Kita pasti pernah dilanda penasaran, apa sih yang dilakukan oleh kedua tokoh kita itu sebelum terjadi bentrokan tersebut? Mungkin, setelah menyimak kisah berikut, pembaca akan dapat menyimpulkan sendiri siapakah dari kedua tokoh agama kita ini yang bisa dijadikan cerminan dan panutan dalam membela agama Allah SWT.

Bentrokkan di Monas, Ahad, 1 Juni 2008, yang akhirnya menyebabkan Habib Riziq dipenjara dan Munarman buron beberapa hari masih belum terhapus dari ingatan kita. Dua kubu yang berlawanan FPI dengan pimpinan Habib Rizieq dan AKKBB dengan tokoh sentralnya KH. Abdurrahman Wahid alias Gusdur.
Kita pasti pernah dilanda penasaran, apa sih yang dilakukan oleh kedua tokoh kita itu sebelum terjadi bentrokan tersebut? Mungkin, setelah menyimak kisah berikut, pembaca akan dapat menyimpulkan sendiri siapakah dari kedua tokoh agama kita ini yang bisa dijadikan cerminan dan panutan dalam membela agama Allah SWT.

Habib Muhammad Rizieq Syihab begitu nama lengkapnya. Sejak pertengahan Mei 2008, Habib Rizieq memiliki kesibukan tersendiri dengan pengacara Indra Sahnun Lubis, SH, sahabatnya. Keduanya bukan sedang mengurus masalah ”kekerasan FPI”, namun sedang mempersiapkan seorang selebritis yang mau kembali ke Islam. Sebelumnya, kepada sang artis sang Habib berkali-kali menanyakan apakah dirinya memang sungguh-sungguh ingin kembali ke Islam, bukan dengan paksaan atau ada motivasi lain di balik itu. Steve Emmnauel, artis bule itu pun berkali-kali pula menyatakan keseriusannya dan menegaskan jika keinginannya masuk Islam karena berdasarkan hati nurani dan tidak ada paksaan dari siapa pun.
Kemudian, pada hari Sabtu, 24 Mei 2008, didampingi oleh Pengacara Indra Sahnun Lubis, Steve Emmanuel mengucapkan dua kalimah syahadat di depan Habib Rizieq, puluhan anggota FPI, dan para wartawan surat kabar maupun infotainment. Setelah bersyahadat, Steve memilih nama baru “Yusuf Iman”. Terinspirasi dari nama Cat Steven, seorang penyanyi ternama Inggris yang kembali ke Islam dan mengubah namanya menjadi Yusuf Islam. Usai resmi mengucap dua kalimah syahadat. Kini Yusuf Iman mengisi hari demi hari dengan mendalami Islam bersama seorang Ustadz yang ditunjuk oleh Habib Rizieq untuk membinanya.
Beda Habib Rizieq, beda pula Gusdur. Kiai kita yang satu ini awal Mei lalu berangkat ke negeri paman Sam (Amerika Serikat) memenuhi undangan Simon Wiesenthal Center (SWC). Penghargaan yang diberikan oleh LSM internasional tersebut menjadi salah satu pencapaian Gus Dur selama ini. "Sebelumnya ada 12 aktivis yang menerima. 6 Di antaranya memperoleh Nobel perdamaian di kemudian hari," kata Gus Dur dalam jumpa pers di Kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (3/5/2008) detik.com. Simon Wiesentel Center adalah sebuah LSM terkenal di Amerika Serikat yang melindungi kaum Yahudi internasional. Lembaga yang didirikan pada 1977 oleh Simon Wiesenthal (1908-2005), pemburu penjahat perang Nazi dan pembuat dokumen kekejaman Nazi atas kaum Yahudi, yang dikenal Holocaust. Salah satu slogan mereka adalah “Berdiri bersama Israel, membela keselamatan umat Yahudi di dunia dan mengajarkan hikmah Holocaust kepada generasi mendatang.” 
LSM Zionis garda terdepan di AS. itu akan menganugerahkan Medal of Valor, Medali Keberanian, buat Gusdur yang dianggap sangat berani membela kepentingan Zionis di sebuah negeri mayoritas Muslim terbesar dunia bernama Indonesia.

Acara penganugerahan medali tersebut dilakukan dalam sebuah acara makan malam istimewa yang dihadiri banyak tokoh Zionis Amerika dan Israel, termasuk aktor pro-Zionis Will Smith (The Bad Boys Movie), di Beverly Wilshire Hotel, 9500 Wilshire Blvd., Beverly Hills, Selasa (6 Mei), dimulai pukul 19.00 waktu Los Angeles. Sebagai tuan rumah adalah Rabbi Mervin Hier (Pendiri SWC dan Rabbi paling berpengaruh di AS 2007-2008), yang dengan tangannya sendiri mengalungkan medali tersebut ke leher Gusdur. Gusdur sendiri, sambil terus duduk di kursi rodanya, tersenyum dan mencium dengan penuh takzim medali tersebut. Waah, selamat ya Gus!
Di sela-sela lawatannya itu, Gusdur menyarankan Indonesia sudah waktunya mengaku Israel, karena eksistensi Israel tidak terbantahkan. Untungnya, pemerintah Indonesia tidak pernah akan mengakui keberadaan negara Israel yang berdiri di atas tanah Palestina selama enam dekade, sehingga Indonesia tetap menolak keberadaan negara Israel tersebut. Hal tersebut diungkapkan Mensesneg Hatta Rajasa ketika diminta menanggapi pernyataan Mantan Presiden Abdurrahman Wahid itu. "Lebih baik Indonesia berusaha mengupayakan sesegera mungkin kemerdekaan di Palestina, dari pada menanggapi keberadaan eksistensi Israel itu, " ujarnya pada pers, di Istana Negara, Jakarta, Jum'at (16/5) (detik.com).(Ernaz)



Meneguhkan Kembali Ukhuwah Ahlussunnah


Untuk kesekian kali, kedatangan Habib Umar bin Hafidz Bin Syaikh Abubakar ke Indonesia, meneguhkan kembali komitmen Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagai manhaj akidah, syari'ah dan akhlaq Islam. Pernyataan ini disampaikan berbagai forum Habib Umar bersama para ulama Sunni, terutama ketika bertemu secara khusus dengan para kiai dan ulama. Momentum penting ini hendaknya menyadarkan kita umat Islam, Ahlus Sunnah, agar bersatu padu untuk menyelesaikan berbagai tantangan dan rintangan yang akan 'merusak' agama Islam melalui berbagai aliran sesat.


Untuk kesekian kali, kedatangan Habib Umar bin Hafidz Bin Syaikh Abubakar ke Indonesia, meneguhkan kembali komitmen Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagai manhaj akidah, syari'ah dan akhlaq Islam. Pernyataan ini disampaikan berbagai forum Habib Umar bersama para ulama Sunni, terutama ketika bertemu secara khusus dengan para kiai dan ulama. Momentum penting ini hendaknya menyadarkan kita umat Islam, Ahlus Sunnah, agar bersatu padu untuk menyelesaikan berbagai tantangan dan rintangan yang akan 'merusak' agama Islam melalui berbagai aliran sesat.
Kehadiran Habib Umar ke Indonesia setiap tahun, bagi umat Islam Ahlus Sunnah wal Jama'ah ibarat pengisian baterai, memberi semangat pada kalangan Sunni, dengan dakwahnya yang sejuk itu agar mayoritas umat Islam Ahlus Sunnah ini bersatu padu menyemarakkan kajian-kajian agama seperti yang diwariskan oleh para aslaf shalihin. Ini penting untuk saat ini agar para ulama bersatu padu menguatkan potensi masing-masing, sehingga dapat diikuti oleh umatnya di tengah timbulnya perpecahan yang diakibatkan rongrongan firqah-firqah yang bekerja gencar akhir-akhir ini.
Kita tahu, bahwa selama itu umat, terutama sebagian awam misalnya telah dibuat bingung, karena tampil sebagai Syi’i berwajah Sunni, memang bukan untuk pertama kali mereka lakukan. Terutama ulama klasik mereka pun pernah melakukannya: mengaku sebagai Sunni Syafi'i, namun isi kitab-kitab yang dikarangnya 100% berisi doktrin Syi'ah Imamiyah dan sekaligus menohok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Lihat misalnya kitab Muruj al-Dzahab oleh Ali bin Husayn Al-Masoudi, Kifayat al-Thalib fi Manaqib Ali bin Abi Thalib & Al-Bayan fi al-Akhbar Shahib Zaman oleh Abu Abdillah Fakhruddin Muhammad bin Yusuf Al-Kanji, Syarh Nahj al-Balaghah oleh Abi al-Hadid, Syawahid al-Tanzil oleh Al-Hakim al-Khaskani, Yanabi' al-Mawaddah oleh Sulayman bin Ibrahim Al-Qanduzi dan sebagainya. Bahkan Al-Hakim, ahli hadis ini konon juga telah dicurigai kesusupan “tasyayyu”.
Mereka bukanlah Sunni, melainkan mengaku sebagai Sunni agar buku-buku mereka dapat akses dalam kepustakaan Sunni dibaca oleh kalangan pengikut Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Juga sekaligus ditargetkan menjadi referensi bagi Syi'i untuk menyerang Sunni dengan mengatakan: Hadza min Ahlis Sunnah…! (Ini dari Ahlus Sunnah…..!). Strategi propaganda Rawafidh alias Syi'ah Itsna `Asyariyah ini kini rupanya terulang kembali. Banyak pengikut Syi'ah tidak mengaku Syi'i secara konsekwen dan terang-terangan karena menghindari perdebatan terbuka. Ini tak lain karena ada target khusus yang akan dicapai, terkadang dengan dukungan uang.
Seorang tokoh Habaib di Jakarta mengingatkan kita, bahwa kini sudah ada semangat dari pengikut Syi'ah untuk merebut masjid, sekolah dan organisasi-organisasi 'Alawiyin yang ada di daerah. Setelah mereka kuasai, barulah mereka menampakkan “wujud” aslinya bahwa dia adalah sebenarnya seorang Syi'i tulen yang sedang mempraktikkan taqiyyah.
Cara-cara yang diterapkan adalah antara lain, Pertama: sering mengadakan pendekatan individual dengan memberikan image yang netral, Kedua: menawarkan jasa dan bahkan bantuan dana serta janji-janji lain, bila bersedia bergabung dengan jama'ahnya (yang “netral” itu tadi), Ketiga: meminta pada mitra yang diajak kerjasama agar menjadi orang “yang moderat” terhadap keberadaan Syi'ah, karena Syi'ah juga Islam dana bersyahadat, perbedaannya kecil dan tidak banyak dengan Sunni.
Untuk itu mereka mengedepankan alasan-alasan sebagai berikut, Pertama: Syi'ah adalah Muslim, bahkan “muslim yang sempurna” karena hanya Syi'ah yang 'membela' hak-hak imamah Ahlul Bait, Kedua: Syi'ah sekarang punya minyak dan nuklir, Ketiga: Syi'ah paling berani melawan AS dan Israel.
Namun bila dicermati, ketiga alasan tersebut tidak relevan dengan kenyataan-kenyataan yang ada. Syi'ah Itsna `Asyariyah bukanlah pembela Ahlu Bait yang benar karena kultusnya yang berlebihan terhadap Ahlul Bait ternyata telah mencederai akidah (teologi) yang paling prinsip. Pertama, Syi'ah meyakini Imam Ali dan 11 keturunannya ma`shum seperti Nabi (karena itu mereka gunakan 'alaihissalam bukan radhiallahu `anhu kepada mereka) dan kata-katanya seperti sabda Rasul. Kedua, semua sahabat Nabi SAW (yang berjumlah 114 ribu) dimurtadkan kecuali empat yakni Miqdad, Salman, `Ammar dan Abu Dzar). Ini karena mayoritas sahabat itu dinilai tidak memilih Ali setelah Nabi, padahal Ali sendiri membaiat ketiga khalifah pendahulunya. Ketiga, Syi'ah tidak membela Ali malah mendiskredikan nama baiknya karena Syi'ah mengatakan bahwa Ali adalah nama Tuhan yang dipakai olehnya tanpa Abdul (bukan Abdul Ali). Ali lahir di Ka'bah (tapi Nabi Muhammad tidak), padahal Ka'bah kala itu bukan tempat suci dan kiblat kaum muslimin melainkan tempat arca. Sedangkan nama Ali itu bermakna “tinggi” bukan asma Allah. Keempat, minyak dan nuklir Syi'ah tidak mungkin untuk kemaslahatan umat Islam se-Dunia, karena belum ada contoh kongkret memberikan kontribusi pada Dunia Islam. Kelima, jargon anti AS dan Israel bukanlah sikap permanen Syi'ah Iran, sebab dulu pun ketika lagi gencar-gencarnya euphoria anti Barat, diam-diam Khomeini terlibat skandal Irangate (pembelian senjata secara gelap yang melibatkan AS dan Israel) untuk berperang melawan Irak. Dan ketika mau damai, Khomeini bilang seperti minum racun.
Sementara itu isu yang didukung dengan riwayat-riwayat lemah dan palsu lainnya coba dipropagandakan oleh mereka dengan memberi kesan seakan Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini adalah akidah dan mazhab yang salah, maka yang paling benar itu adalah Syi'ah. Namun anehnya, yang menyebarkan tidak pernah mengaku sebagai seorang Syi'i ketika harus beradaptasi dengan Sunni.
Cara-cara seperti inilah, yang tak jarang juga disertai dengan pendekatan “akhlak yang tinggi” mempengaruhi anak muda, dan terhadap segelintir orang Sunni yang kecewa dan frustasi. Akhirnya semua itu mengkeristal dalam bentuk aktivisme yang kemudian berpotensi memecah-belah keluarga dan jama'ah. Yang paling merepotkan dideteksi adalah penampilan mereka yang ibarat “musang berbulu ayam”, yaitu berpura-pura sebagai Sunni, tapi kerjaannya setiap hari mengeritik Sunni seolah dia ulama mujtahid yang berhak untuk menilai manhaj Ahlus Sunnah yang agung ini.
Di tengah meluasnya tantangan firqah-firqah pada era reformasi yang serba bebas ini, memang diperlukan sikap yang tegas dari pihak kita untuk meneguhkan kembali jati diri sebagai Sunni. Selain harus terus diadakan penyegaran pendidikan Ahulus Sunnah wal Jama'ah, juga mesti disertai sikap antisipatif dan reaktif terhadap segala bentuk fitnah yang telah mereka sebarkan untuk melemahkan kekuatan jama'ah. (Ernaz)

Redam Api Fitnah Demi Ukhuwah

Sudah sekian lama kaum muslimin Indonesia khususnya Ahlus sunnah wal jama’ah hidup berdampingan saling mencintai dan bersaudara. Namun, belakangan ini keharmonisan terusik oleh perdebatan-perdebatan klasik yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi kemudian disertai provokasi, memvonis kafir, musyrik dan sesat.
Sudah bukan zamannya mengusik perkara furu’iyah (cabang-cabang agama) semacam hukum membaca qunut, tahlil, tawassul, istighotsah dan lain sebagainya. Persoalan ini sudah dibahas para ulama fikih ratusan tahun yang lalu. Dan masing-masing ulama memiliki dalil yang cukup kuat dan akurat dengan berpijak pada berbagai rujukan yang di pakai oleh mereka.

Sudah sekian lama kaum muslimin Indonesia khususnya Ahlus sunnah wal jama’ah hidup berdampingan saling mencintai dan bersaudara. Namun, belakangan ini keharmonisan terusik oleh perdebatan-perdebatan klasik yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi kemudian disertai provokasi, memvonis kafir, musyrik dan sesat.
Sudah bukan zamannya mengusik perkara furu’iyah (cabang-cabang agama) semacam hukum membaca qunut, tahlil, tawassul, istighotsah dan lain sebagainya. Persoalan ini sudah dibahas para ulama fikih ratusan tahun yang lalu. Dan masing-masing ulama memiliki dalil yang cukup kuat dan akurat dengan berpijak pada berbagai rujukan yang di pakai oleh mereka.
Adalah hal yang biasa terjadi perbedaan status hukum fikih di antara para ulama’ terhadap sebuah persoalan. Antar para sahabat di zaman Rasulullah SAW saja sering terjadi perbedaan dalam mengaplikasikan ajaran Islam.
Tapi walaupun berbeda, para ulama salaf tidak pernah saling menyesatkan apalagi saling mengkafirkan. Perbedaan hukum fikih justru menambah khazanah keilmuan. Seperti yang di sabdakan oleh Rasulullah, ”Perbedaan di antara umatku adalah rahmat”.
Meributkan persoalan furu’iyah akan menguras tenaga sia-sia. Alangkah baiknya bila daya upaya kita difokuskan untuk menyelesaikan problem-probelm umat Islam yang lebih penting.
Namun sayangnya, ide semacam itu tidaklah sejalan dengan ulah sebagian kecil kelompok Islam. Di mana seharusnya kita sibuk dengan upaya dakwah agar orang lain memahami tentang Islam, atau jika perlu mengislamkan orang lain. Kelompok ini malah sibuk menulis buku yang mengkafirkan sesama umat Islam.
Mengungkit-ungkit kembali persoalan furu’ jelas akan merusak hubungan baik antar sesama Muslim. Apalagi disertai dengan vonis kafir dan sesat terhadap saudaranya sendiri.
Kedamaian yang telah lama dibina itu belakangan terusik oleh buku H Mahrus Ali yang berjudul ”Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik”. Mahrus mengaku sebagai mantan kiai NU, padahal menjadi anggota NU saja ia tidak pernah terdaftar. Mahrus menyatakan bahwa mayoritas umat sudah jatuh kepada kemusyrikan.
Kehadiran buku ini memicu perselisihan dan konflik dalam tubuh umat Islam. Apalagi H Mahrus Ali tidak berani bertanggung jawab terhadap apa yang telah ia tulis di dalam bukunya dalam bentuk dialog terbuka dengan berbagai alasan.
Untungnya, warga nahdliyin masih menyikapi dengan kepala dingin, walaupun beredarnya buku H Mahrus Ali tersebut sangat meresahkan umat Islam khususnya warga Nahdliyyin.
Upaya pendekatan ilmiah yang digagas oleh tim LBM (Lembaga Bahstul Masa’il) NU Jember patut menjadi contoh dalam mengaplikasikan konsep dan prilaku akhlakul karimah dalam menyelesaikan permasalahan umat dalam koridor ahlusunnah wal jama’ah. Tim LBM NU Jember yang dikomandani kiai-kiai muda asal kota Jember Jawa Timur tersebut telah menerbitkan sebuah buku dengan judul ”Membongkar Kebohongan Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik”.
”Buku di jelaskan dengan buku, dan kita pertemukan aspek pemikirannya untuk dipertanggung jawabkan” begitulah yang diungkapkan oleh KH Abdullah Samsul Arifin salah satu kiai muda NU asal Jember.
Sebagai folow-up peluncuran buku tersebut dan juga sebagai media tabayyun (klarifikasi) kedua pihak, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya menggagas acara seminar nasional dengan judul ”Bedah Pemikiran Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik” Vs buku Membongkar Kebohongan Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik” .
Acara tersebut dikemas dalam rangka menemukan sisi ilmiah dari polemik yang selama ini terjadi. Sehingga tidak menjadi momok dan problem baru bagi umat Islam. Seminar yang cukup menyita perhatian umat Islam tersebut digelar di aula Pusat Pengembangan Intelektual (P2I ) Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Hadir sebagai pembicara KH. Muamal Hamidi (pemberi pengantar pada buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik” dan Ustadz Idrus Ramli bersama KH Abdullah Samsul Arifin sebagai penulis buku Membongkar Kebohongan Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik” dari tim Tim LBM NU Jember.
Ketidak hadiran sang ”mantan kiai NU”, Mahrus Ali dengan alasan yang tak masuk akal yaitu alasan keamanan memang patut disesalkan. Apalagi dengan meminta jaminan uang sebesar tiga milyar dan pengawalan polisi dua truk.
”Ini sangatlah menghina institusi Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, sebagai institusi intelektual sekaligus penyelenggara acara ini”, demikianlah yang dikatakan oleh Prof. DR. H. Ahmad Zahro, MA selaku direktur pasca sarjana di kampus Islam negeri yang ada berada di kota pahlawan tersebut.
Padahal jaminan keamanan sebelumnya juga diutarakan oleh KH Ali Masyhuri yang akrab disapa Gus Ali, salah seorang wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, sebagaimana yang dirilis di harian Duta Masyarakat (6 maret 2008). Namun pada kenyataannya Mahrus Ali tetap tidak hadir dalam acara tersebut.
Rasa penasaran para peserta seminar pada sosok H Mahrus Ali akhirnya tak terobati, karena si penulis tidak hadir. Namun kedatangan Muamal Hamidi. Lc sebagai pemberi pengantar pada buku Mahrus Ali dianggap oleh peserta cukup mewakili pemikiran–pemikiran Mahrus Ali pada buku yang memicu konflik tersebut. Apalagi dalam kata pengantarnya Muammal Hamidi menulis bahwa ia telah menelaah dan mengkaji dengan teliti isi buku yang ditulis Mahrus Ali.
Materi ilmiah dan penyajian dalil yang lebih akurat dengan literatur yang komplit, rapi juga jelas dari tim tim LBM (Lembaga Bahstul Masa’il) NU Jember, tak berimbang dengan penyajian Muamal Hamidi Lc. Bahkan terkesan bahwa pihak Muammal Hamidi tidak mampu memberi jawaban yang memuaskan atas seabarek pertanyaan yang diajukan. Dan yang membuat peserta seminar ilmiah itu ger-gerran adalah pernyataan Muamal Hamidi yang mengaku tak mengenal H Mahrus Ali dan membaca bukunya sepintas-sepintas saja. Lalu memberi kata pengantar pada buku yang dinilai banyak kalangan sangat profokatif itu.
Sejak awal seminar berjalan dengan lancar. Namun setelah terkesan bahwa pihak Muammal Hamidi terkesan berbelit-belit dalam menjawab, tidak fokus pada materi pertanyaan yang diajukan, peserta mulai gerah. Sehingga moderator terpaksa menghentikan acara dengan kesepakatan peserta. (Khalili Hasib)


Benang Merah Agama, Kiai dan Politik

Agama dan politik memang dua entitas berbeda, namun tak jarang agama dimanfaatkan sebagai alat mengambil dan mempertahankan kekuasaan politik. Itu tidak lepas dari adanya otoritas dalam agama yang bisa memberikan legitimasi kepada negara, partai, dan perorangan. Kemampuan agama dalam menancapkan legitimasi pada kekuasaan politik disebabkan oleh kenyataan bahwa agama adalah energi dahsyat yang mampu menyublimasikan dan mensakralkan alam profan (duniawiah).

Agama dan politik memang dua entitas berbeda, namun tak jarang agama dimanfaatkan sebagai alat mengambil dan mempertahankan kekuasaan politik. Itu tidak lepas dari adanya otoritas dalam agama yang bisa memberikan legitimasi kepada negara, partai, dan perorangan. Kemampuan agama dalam menancapkan legitimasi pada kekuasaan politik disebabkan oleh kenyataan bahwa agama adalah energi dahsyat yang mampu menyublimasikan dan mensakralkan alam profan (duniawiah).
Menurut seorang ahli, agama disebut pula sebagai langit suci (the sacred canopy) yang dapat dijadikan instrumen memperkokoh politik dan seluruh tindakan manusia. Dengan berdiri di bawah langit suci agama, manusia memiliki semacam ketenangan psikologis (batin) karena tindakannya memiliki referensi pada teks keagamaan. Berpijak dari paradigma inilah dapat dipahami alasan penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam proses politik.
Selanjutnya, sejauh manakah keefektifan peran agama—dalam hal ini agama Islam—dalam kancah perpolitikan yang dimainkan oleh para tokohnya (ulama atau kiai)? Dan apa sebenarnya misi para tokoh agama di saat mereka harus terjun langsung ke wilayah politik praktis? Lalu, seberapa besar peluang umat Islam untuk dapat mewarnai perpolitikan nasional? Berikut statemen klise hasil wawancara eksklusif Umar Faruq dari Mafahim dengan beberapa tokoh dan akademisi yang memiliki kompetensi di bidang politik:
Gus MADJID MAIMUN
Anggota Legislatif dan Fungsionaris PPP

”Kembalikan Kepercayaan Umat
Melalui Prilaku Santun Berpolitik!”

Sebagai umat mayoritas di negeri ini, umat Islam merindukan terlaksananya syari’ah Islam secara total. Itu idealnya. Sebab kaum Muslimin berkeyakinan bahwa Islam adalah agama sempurna yang ”ya’lu walaa yu’la ’alaihi”. Tak ada seorangpun yang tak berkeinginan tegaknya syari’at.
Namun kia saat ini hidup di Indonesia. Yang didalamnya menganut sistem perpolitikan demokrasi. Menyikapi hal tersebut, umat Islam perlu menata startegi agar mampu mewarnai sistem perpolitikan yang sudah berlaku ini. Jika tidak maka jatah umat Islam akan direbut oleh orang lain.
Umat Islam dituntut untuk dapat mewaranai perpolitikana nasional. Caranya, dengan masuk ke dalam sistem. Diantaranya adalah terlibat dalam politik praktis. Tidak apa-apa, kalau misalnya ada tokoh umat Islam yang masuk di partai-partai politik. Tidak hanya di satu partai, tapi di beberapa partai. Tidak hanya di partai yang berlabel Islam, tetapi di partai yang tidak berlabel Islam, tafaddhol. Tapi yang utama adalah partai Islam. Dengan demikian tokoh umat Islam akan mampu masuk dari banyak pintu, sehinga Islam tampil penuh variasi dengan baju yang bervariasi pula. Namun pada akhirnya bermuara pada satu titik, yaitu tegaknya nilai-nilai ajaran Islam.
Namun patut disayangkan, jika dalam prakteknya banyak tokoh umat Islam yang dalam memainkan manuver politiknya masih dipengaruhi oleh kepentingan kelompok, golongan, maupun individu. Sehingga seringkali kita jumpai, antara sesama politisi Muslim saling menjegal, menelikung, atau menggunting dalam lipatan. Mereka saling menjelekkan dan menjatuhkan tokoh atau partai lain. Padahal sama-sama tokoh Islam. Ini musykilat.
Akibatnya, umat menjadi bingung. Permasalahan ini kian komplit, disaat umat Islam dan tokohnya memilih partai hanya karena simbol semata. Mereka tidak memperhatikan isi. Mereka cenderung ikut-ikutan, sehingga mudah terjebak pada kepentingan politi yang pragmatis. Hal ini yang kian membuat umat semakin bingung. Pada saat yang sama, para tokoh umat Islam sudah tidak mendapatkan tempat di hati umatnya. Umat Islam mengalami krisis kepercayaan.
Untuk mengembalikan kepercayaan umat, maka para politisi Muslim bersama para kiai, setidaknya mampu menampilkan prilaku yang mencerminkan teladan yang baik bagi umat. Di samping itu, keberadaan perkumpulan-perkumpulan yang masih murni dan tidak diembel-embeli kepentingan politik, selayaknya difungsikan dan dilestarikan semaksimal mungkin. Hal ini untuk mengembalikan kepercayaan umat di tengah kebingungan.
As Shofwah, misalnya, diharapkan mampu mempersatukan kembali potensi-potensi umat yang—barangkali—sudah hampir rapuh. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan agar organisasi semisal As Shofwah, atau pertemuan Multaqo seperti ini tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik. Sehingga organisasi dan momen ini benar-benar menjadi penyejuk bagi umat.

HABIB ABDULLAH MULAKHELAH
Tokoh Habaib dan Syuriah NU
”Kiai Jangan Terlibat Langsung
Dalam Politik,
Tapi Jangan Jauh-Jauh Dari Politik!”

Berkecimpung di dunia politik adalah bagian dari mua’amalah, dan itu sah-sah saja. Ini bagian dari hablum minannas. Yaitu meliputi ihtiramul jaar (menghormat tetangga), ihtiramus shaghir (menghormat yang muda), ikramul kibar (memuliakan yang tua), dan siyasah (politik).
Perlu dipahami bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita membutuhkan aturan sebagai sistem kehidupan formal. Lha, sistem untuk mengatur pranata sosial itu juga bagian dari politik. Islam sangat memperhatikan urgensi politik sebagai sistem kehidupan umat Islam. Dalam sistematika fikih, kita mengenal empat pilar syari’ah, yaitu ibadah (etika penghambaan), mu’amalah (sistem interaksi sosial), munakahat (sistem perkawinan), dan jinayat (sistem pidana). Keempat pilar ini secara eksplisit adalah sistem kehidupan yang benuansa politik dan berpijak pada nilai-nilai Islam. Ini harus ditegakkan.
Maka tak heran jika banyak dari para ulama terdahulu yang juga sekaligus menjadi politisi. Begitu pula para khulafa ar rasyidin, mereka adalah para politisi yang ulung. Kita saksikan, bagaimana prosesi peralihan kekuasaan pasca wafatnya Rasulullah. Sayyidina Abu Bakar terpilih dengan cara langsung. Sayyidina Umar dipilih dengan cara membentuk tim formatur. Dan begitulah seterusnya. Ini adalah bagian dari prosesi politik yang sudah ada sejak awal umat Islam.
Menyikapi fenomena mulai mengeringnya kepercayaan umat terhadap tokohnya, ini perlu penanganan serius. Idealnya, seorang kiai jangan terlibat langsung dalam kancah politik praktis. Tapi jangan pula ia menjauh dari politik praktis. Sebab politik adalah bagian dari kehidupan dan kbutuhan umat. Namun repotnya, banyak kia-kiai yang tergoda dengan gemerlap politik. Merekapun masuk ke wilayah praktis. Akibatnya, umat terbengkalai.
Kiai harus mampu melakukan monitoring, kontroling, dan pembinaan terhadap prilaku politik para politisi. Kalaupun terpaksa masuk ke dalam ranah politik praktis, seorang kiai harus mampu memainkan peran secantik mungkin. Jangan mencaci, menjelekkan, atau menyalahkan partai atau orang lain. Jika tidak mampu, sebaiknya kiai angkat kaki dari politik!
Yang jadi musykilat saat ini, banyak dari tokoh kita yang belum mampu menyatukan visi dan misi partai-partai Islam. Prilaku politik umat Islam masiih jauh dari sentuhan tehnis politik Islam. Ini yang menjadi hambatan bagi terealisasinya nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan. Sehingga terlalu euforis jika mengatakan bahwa keterlibatan para kiai akan berpotensi pada terbentuknya sistem negara yang Islami, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa kekhalifahan. Oleh karena itu, komponen politik umat Islam harus menyatukan visi misi politiknya demi mencapai tujuan yang gemilang.
Harapan ana, hai’ah As Shofwah mampu mensinergiskan kekuatan umat Islam dan ulama sebagai basis politik dengan manhaj yang satu. Namun bukan berarti harus terlibat dalam wilayah politik praktis. Artinya, masing-masing individu berkomitmen untuk membawa manhaj Abuya ke segala lini, dengan cara masuk dan terlibat di beberapa lini dakwah. Apakah melalui dakwah, tarbiyah, ataupun siyasah.

KH. MAKSHUM TR.
Tokoh Ulama dan Pengurus Syu’bah Idhariah
Thariqah Mu’tabaroh An-Nahdhiyyah
”Politik Adalah Bagian dari Perjuangan Kiai”

Sebenarnya segala sesuatu itu tergantung dari kompetensinya. Jika masalah diserahkan pada ahlinya yang kompeten, maka tidak jadi masalah. Jika ada seorang kiai yang ahli di bidang politik, tafaddhol! Biarkan dia masuk untuk mewarnai perpolitikan nasional. Sebab bagaimanapun juga, seorang kiai dan umat Islam jangan sampai ketinggalan dalam masalah politik.
Ana sepakat dengan pernyataan Habib Riziq (Ketua FPI), bahwa umat Islam harus bisa berjuang di segala bidang. Hal ini sejalan dengan paradigma para sesepuh NU,
أُذْخُلُوْا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَلاَ تَذْخُلُوْا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ
“Masukah dari beberapa pintu, dan jangan masuk hanya lewat satu pintu saja.” Dengan demikian wajah perpolitikan kita akan variatif dan dinamis. Umat Islam akan dapat mewarnai wajah perpolitikan dengan nilai-nilai syari’at.
Ana rasa, jika ada kiai yang terjun ke dunia politik, dia harus kompeten, kredibel, dan menguasai medan. Sehingga nanti tidak mengurangi kredibilitas kekiaiannya. Sebab esensinya, politik tidak dapat dipandang sebagai momok yang merugikan kiai. Mengingat kiai dan umat Islam hidup dalam sebuah negara atau komunitas masyarakat yang mengharuskan untuk berpolitik.
Dalam berdakwah sekalipun, membutuhkan trik dan strategi politik. Metode ini pula yang pernah dilakukan oleh para sahabat serta para pemimpin umat Islam.
Sungguh merupakan bencana terbesar jika umat Islam tertinggal di bidang politik. Maka perpolitikan suatu daerah akan dikuasai oleh orang-orang di luar Islam. Kita saksikan, bencana yang melanda umat Islam di Kalimantan Barat. Kekuatan umat Islam luluhlantak. Secara politis umat Islam kalah. Padahal kita mayoritas di sana. Mulai dari gubernur, bupati, kepala dinas, dan jabatan-jabatan strategis lainnya dikuasai oleh kelompok Salibis.
Dampaknya, para pejabat non Muslim berpeluang untuk mengatur strategi. Mereka berhasil mengelabui umat Islam dengan berfoto di depan masjid dan mengenakan kopiah sembari mengucapkan selamat Idul Fitri. Ini adalah kekalahan umat Islam yang riil secara politis, yang pada akhirnya merembet pada masalah yang lain. Inilah bencana terbesar bagi umat Islam.
Munculnya perpecahan dalam politik, itu adalah konsekwensi politis. Ini bukan masalah akidah. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan. Yang terpenting masing-masing komponen umat mampu bermain cantik dalam berpolitik. Sehingga perpecahan itu tidak merugikan Islam dan kaum Muslimin. Dan untuk mengembalikan persatuan umat, maka segera kembali kepada tuntunan al-Qur’an dan sunnah.
Perpecahan dalam tubuh umat akan menjadi masalah yang krusial jika sudah menyentuh ranah ibadah dan akidah. Misalnya berbeda dalam masalah haji, shalat, zakat, dan masalah aksiomatik lainnya. Jika perselisihan antar kiai, itu kan masalah politik. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan. Itulah konsekwensinya.
Kita dapat mereview bagaimana konstalasi politik di jaman sahabat. Tapi para sahabat mampu bermain politik secara cantik. Mereka tidak meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Jadi tidak masalah. Kalaupun ada yang menuduh bahwa politik yang diterapkan oleh sahabat adalah kotor, kita lihat saja. Toh, justru si penuduh itu sendiri yang kotor!


Dilema Kiai dan Politik


BILA kita mau menelisik sejarah panjang bangsa Indoenesia, maka akan ditemukan betapa besar peran umat Islam, dalam hal ini para ulama, kiai, dan tokoh umat Islam dalam turut membangun negeri ini. Karena para kiai pada khususnya selau menjadikan pesantren sebagai basis perjuangan umat. Pesantren laksana markas para kiai dan santri untuk membangun paradigma hubbul wathon minal iman. Kiai dan pesantren merasa memiliki tangung jawab besar terhadap permasalahan umat, meliputi masalah keagamaan (mas-uliyah diniyah), masalah kebangsaan (mas-uliyah wathoniyah), dan masalah keumatan (mas-uliyah ummatiyah). Kiai-kiai pesantren ini meletakkan semua garis perjuangannya di atas tiga landasan tersebut.

BILA kita mau menelisik sejarah panjang bangsa Indoenesia, maka akan ditemukan betapa besar peran umat Islam, dalam hal ini para ulama, kiai, dan tokoh umat Islam dalam turut membangun negeri ini. Karena para kiai pada khususnya selau menjadikan pesantren sebagai basis perjuangan umat. Pesantren laksana markas para kiai dan santri untuk membangun paradigma hubbul wathon minal iman. Kiai dan pesantren merasa memiliki tangung jawab besar terhadap permasalahan umat, meliputi masalah keagamaan (mas-uliyah diniyah), masalah kebangsaan (mas-uliyah wathoniyah), dan masalah keumatan (mas-uliyah ummatiyah). Kiai-kiai pesantren ini meletakkan semua garis perjuangannya di atas tiga landasan tersebut.
Dalam keyakinan kiai, antara ketiga tanggung jawab itu hendaknya sinergis dalam satu tarikan napas yang sama karena saling berkaitan. Dengan demikian keterlibatan para kiai dalam upaya menuntaskan persoalan-persoalan kebangsaan didorong adanya tanggung jawab keagamaan untuk kemaslahatan umat. Di sinilah peran kiai di bidang sosial politik menempatkan diri secara proporsional tanpa mencacati eksistensi dirinya sebagai pengemban amanat suci agama. Dimana seorang kiai tidak menjadikan kekuasaan sebagai motivasi dan tujuan akhir perjuangannya.
Cobalah buka kembali lembar-lembar sejarah negeri ini yang menorehkan peranan besar dari kalangan kiai pesantren dalam mengusir penjajahan, mendirikan negara dan bangsa ini, mempertahankannya dari rongrongan kaum penjajah yang ingin menjajah kembali, dan menjaganya dari penetrasi (kebangkitan) ideologi komunisme. Semua ini menunjukkan bahwa pada dasarnya antara kiai dan politik merupakan dua entitas yang tak terpisahkan.
Keakraban kiai dan politik menampakkan dinamika yang menarik khususnya jika kita memotretnya di era pasca-kemerdekaan. Proses persiapan kemerdekaan NKRI yang secara intens menyertakan peran besar para kiai dilanjutkan di masa setelah kemerdekaan. Para kiai telah mengukir sejarah efektifitas peran politiknya yang membanggakan di kancah politik nasional era Bung Karno. Hal terbukti bahwa kekuatan politik kiai bukan hanya berhasil menjadi kekuatan politik penyeimbang yang memadai atas gempuran golongan komunisme, namun juga eksistensinya terakui dengan dibentuknya kementerian penghubung pesantren dan ulama.
Dalam proses transisi politik dari Bung Karno ke Soeharto tahun 1966, sejarah juga mencatat kontribusi besar kiai-kiai pesantren, khususnya dalam membungkam pengaruh kekuatan politik komunisme yang bergerak sporadis di penghujung kekuasaan Bung Karno. Sayangnya dinamika politik pemerintahan Soeharto secara sistematis melakukan marginalisasi terhadap para kiai. Mereka dipinggirkan karena ketidakpahaman dan ketakutan yang berlebihan pihak penguasa terhadap gerakan politik kiai.
Pupusnya rezim Soeharto memberikan harapan besar bagi seluruh rakyat di republik ini untuk meningkatkan kualitas hidupnya di segala bidang. Belenggu politik otoriter yang telah terputus diikuti oleh semangat demokrasi yang luar biasa sehingga bermunculan partai-partai politik secara dahsyat. Pada saat yang sama umat Islam mulai kembali berpeluang untuk memainkan peran dalam kancah politik secara signifikan. Termasuk di dalamnya adalah para kiai. Gelombang reformasi telah memancing para kiai untuk ”turun gunung” dan turut membidani gerakan politik.

Posisi Politik Kiai
Sejatinya, kiai atau ulama adalah sosok yang memiliki pengetahuan keislaman yang mendalam dan luas. Di samping itu, eksistensi kiai menjadi penting dalam masyarakat karena posisinya sebagai pewaris nabi (warasatul anbiya’). Kiai adalah tokoh agama yang berperan sebagai guru, ulama, dai, hakim, pengayom, dan pendidik bagi umat. Keluasan peran ulama juga terjadi dalam masyarakat muslim Indonesia tempo dulu. Dalam Babad Tanah Jawa disebutkan bahwa Wali Songo sebagai instutusi ulama kala itu menjadi penasehat raja-raja.
Dalam kepemimpinan kiai, faktor kharisma menjadi modal utama dalam rangka mobilisasi massa. Dalam konteks ini kiai adalah patron bagi umatnya (client) dalam sebuah relasi yang paternalistik. Dengan otoritas yang dimilikinya, seorang kiai mampu menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan sosial-politik.
Saat ini, para kiai dan umat Islam dihadapkan kenyataan pilihan politik. Kiai diasumsikan sebagai sosok yang memiliki pengaruh dan karisma yang luas biasa di masyarakat sehingga menarik perhatian banyak politisi. Pemilihan umum dan pilkada (pemilihan kepala daerah) menjadi tantangan baru yang niscaya bagi para kiai. Mereka menjadi target ”safari silaturrahim” politik para politisi. Tak jarang para calon pimpinan daerah atau konstestan pemilu beramai-ramai ”sowan” untuk mendapat restu sang kiai sebagai legimitasi moral bagi masyarakat.
Kasus trik para politisi yang mengandeng para kiai sebagai boncengan politik adalah sisi lain dari cermin perpolitikan negeri ini. Di saat menjelang pemilu atau pilkada, mendadak para kiai diposisikan secara istimewa. Beragam perlakuan diberikan untuk mendapat restu kiai, mulai dari pemberian fasilitas dakwah, pemenuhan kebutuhan pribadi, dan janji-janji untuk kepentingan umat. Namun ironisnya, setelah pemilihan usai, restu dan nasehat kiai tak dibutuhkan lagi. Apalagi setelah terpilih, jangankan untuk sowan, sapaan saja tak lagi dijumpai.
Benar kata orang bahwa mendukung politisi tak ubahnya medorong mobil mogok. Coba, waktu mobil tadi mogok, pegemudi meminta sambil menghiba agar menolongnya. Namun setelah mobil tadi selesai ditolong, boro-boro memberi hadiah, ucapan terima kasih saja tidak diucapkan.
Jika memang demikian, saatnya para kiai selektif ketika ada para politisi yang mendekat. Sebab hal itu bisa akan berakibat pada berkurangnya kepercayaan umat terhadap kiai. Apalagi akhir-akhir ini, di mana posisi kiai yang seringkali terlibat dalam politik praktis sudah tidak dihiraukan oleh umat, setidaknya ini menjadi PR bersama bagi para elemen umat.
Hari ini, otoritas kiai di tengah umat perlu dipertanyakan kembali. Sebab tak sedikit calon politisi yang di back-up oleh kiai berujung pada kekalahan. Justru yang tampil sebagai pemenang kerapkali adalah mereka yang tidak didukung sama sekali oleh kiai. Bahkan yang lebih mengkhwatirkan lagi, pemenangnya adalah politisi yang tidak memiliki landasan emosional dengan kiai, baik secara keilmuan ataupun idiologi.
Kegagalan peran sebagian kiai dalam permainan politik setidaknya menunjukkan terjadinya perubahan persepsional masyarakat terhadap ulama (kiai). Perubahan tersebut muncul karena beberapa faktor, diantaranya adalah telah terjadinya industrialisasi yang menyebabkan urbanisasi dan internasionalisasi dalam masyarakat Indonesia. Di samping itu, faktor paradigma umat yang lebih mengarah para pragmatisme dan materialisme.
Selain itu, pudarnya karisma kiai juga diakibatkan oleh terjadinya kesenjangan antara perilaku dan ucapan kiai. Kepercayaan umat terhadap seorang tokoh kharismatik terletak pada sikap dan perilaku tokoh itu sendiri. Peningkatan dan penurunan kharisma seorang tokoh tergantung pada kesanggupan tokoh itu untuk membuktikan manfaat dirinya bagi masyarakat dan pengikutnya. Sementara itu, ketika seorang kiai terseret dalam politik praktis, tak sedikti yang mengklaim negatif terhadap lawan poltiknya yang—bisa jadi lawan politiknya tersebut—juga seorang tokoh kharismatik dengan massa signifikan.
Saat ini, umat menilai bahwa banyak kiai yang mulai melupakan akar sosialnya dengan mengambil jalan hidup mewah di atas menara gading kekuasaan dan kekayaan, sehingga publik pun kehilangan kepercayaannya. Dalam ranah politik, kiai yang semestinya menjadi penyejuk umat, justru kerapkali dijumpai meraka saling menjelekkan antara satu dengan yang lain. Sementara yang umat membutuhkan pengayoman, bukan janji, apalagi cacian. Dengan telah bergesernya persepsi umat terhadap kiai, tampaknya elit politik yang hendak maju di Pilkada perlu berfikir ulang jika ingin memanfaatkan kiai sebagai vote getter.
Di penghujung tulisan ini, perlu dipertegas bahwa peran kiai bagi umat sesungguhnya adalah memberdayakan umat, mengontrol dan mengawasi jalannya kekuasaan, sekaligus mengantarkan umat pada terciptanya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan berimplikasi pada kejujuran, keadilan, kemanusiaan, kemaslahatan, sebagaimana yang diperjuangkan oleh Baginda Rasulullah Nabi Muhammad saw. Bukankah para kiai merupakan potret ulama sebagai waratsatul anbiya’? (Umar Faruq)