Agar Tegar di Terjangan Zaman

Diana. Gadis itu sangat terpukul dengan kematian ibunya. Serangan jantung yang mengganas, telah mengantarkan ibundanya pada peristirahatan abadi. Sebagai gadis yang masih belia, tentu Diana masih merindukan saat-saat kebersamaan dengan sang ibunda.
Tiga bulan berlalu. Kesedihan yang menggelayut itu tak kunjung pula berlarut. Kepiluan itu kian bertahta dalam diri gadis asal Sukabumi itu. Apalagi Diana sadar, dirinya tak memiliki sepeser uangpun untuk melanjutkan perjuangan hidup. Tanpa ibu.

Memang, ada beberapa karung beras dari hasil subsidi para pelayat. Bahan makanan pokok utama masih tersedia. Setidaknya dapat meringankan bebannya. Minimal untuk tiga bulan ke depan.
Sejak usia lima tahun, Diana sudah ditinggal oleh ayahnya. Kini ibunya pun telah pergi untuk selamanya. Dia harus memutar otak mencari cara untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup.
Sempat terlintas dibenak Diana untuk meneruskan profesi almarhumah ibunya. Yaitu menjadi tukang cuci pakaian milik tetangga. Namun pikiran itu dia tepis jauh-jauh. Dia merasa tak sanggup melakukannya.
Dalam diri Diana, masih ada segunung cita-cita. Dia berharap untuk dapat melanjutkan pendidikannya. Minimal sampai tamat SMU. Diana pun mulai bimbang. Sudah beberapa bulan SPPnya menunggak. Dia membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam waktu yang singkat. Sedangkan bila ia berprofesi sebagai tukang cuci pakaian, mana bisa ia dapat uang banyak dengan cepat?
Begitulah kecamuk pikiran itu terus menindih di kepala Diana. Sementara dia tak memiliki ketrampilan apapun selain ia hanya bisa duduk di bangku sekolah saja.
Rupanya kegalauan Diana dibaca oleh Joko, teman sekolahnya. Pemuda itu dikenal sebagai security malam di salah satu diskotik ternama di Jakarta. Dengan meyakinkan, pemuda itu menawarkan pekerjaan yang mudah dapat uang. Apalagi kalau bukan menjadi wanita penghibur!
Yah, Diana ditawari untuk menjadi wanita malam. Pertama kali dirinya dijual kepada salah seorang pejawab legislatif. Setelah melalui rayuan gombal dan tawar menawar, akhirnya sang pejabat membuat surat perjanjian dengan Diana. Dua belah pihak mengadakan kesepakatan, transaksi berlangsung disebuah hotel dengan harga Rp. 3 juta.
Beberapa bulan kemudia, Diana Hamil. Padahal, dari sejumlah uang yang disepakati, Diana hanya menerima Rp. 350 ribu saja. Sisanya masuk ke kantong Joko.
Diana meminta tanggung jawab sang pejabat. Namun bapak wakil rakyat itu mungkir. Alasannya dalam surat perjanjian tidak tercantumkan harus bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi pada diri Diana nanti. Jadilah Diana menanggung malu dan pilu sepanjang waktu. Impian merampungkan sekolah pupuslah sudah.
Ukhti... Betapa kita miris dengan kisah ini. Begitu menyayat dan memilukan hati. Padahal, bisa jadi banyak kisah-kisah serupa lainnya yang terjadi pada saudari-saudari kita. Kisah itu ada dan nyata. Mungkin di sekitar kita, mungkin keluarga kita, atau mungkin menimpa orang-orang terdekat kita. Na’udzubillah.
Inilah kisah seorang gadis yang berusaha bangkit demi mempertahankan kelangsungan hidup. Namun dia harus menempuh segala cara dan usaha. Mengambil keputusan yang salah di tengah jeratan kebimbangan yang dihadapinya.
Era kapitalis dan hedonis saat ini, uang dan materi adalah barometer segalanya. Kondisi inilah terkadang memaksa orang untuk melakukan apa saja. Tanpa melihat halal-haram. Tak hanya seperti sosok Diana. Malah banyak gadis-gadis secara sadar menekuni profesi “wanita cepat saji” tersebut. Padahal hal itu menjatuhkan martabatnya sebagai perempuan. Seperti menjadi foto model sampul majalah yang mengumbar maksiat, peragawati pakaian minim, penyanyi erotis, tukang pijat plus, model iklan yang mengeksploitasi tubuh, atau malah menjadi wanita penghibur.
Ukhti... Seberat apapun tantangan hidup ini, hendaknya kita tetap berbekal iman. Karena hanya iman yang kuat yang dapat membentengi serta menjadi filter dalam hidup kita.
Keimanan dapat tumbuh kokoh dalam diri, tatkala kita rajin menyiraminya. Yaitu dengan mengikuti kajian keislaman, bergaul dengan orang-orang sholeh dan sholehah, banyak berdzikir, berupaya memahami makna yang terkandung dalam kitab suci al-Qur’an, serta rajin melaksanakan shalat malam.
Sementara itu, guna mencukupi kebutuhan hidup ini, hendaknya kita kembali kepada konsep yang telah diajarkan Baginda Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda:
اسْتَعِيْنُوْا حَوَائِجَكُمْ بِعِزَّةِ النَّفْسِ، فَإِنَّ اْلأُمُوْرَ تَجْرِي بِالْمَقَادِرِ
”Penuhilah kebutuhan kalian dengan menjaga kehormatan diri, karena sesungguhnya semua perkara itu berjalan sesuai dengan ketentuannya.”
Untuk itu, baik kiranya apabila ukhti mengembangkan potensi yang memang di berikan Allah sejak lahir kepada kita. Seperti menekuni dunia tata boga, jahit menjahit, menulis, dan sebagainya.
Dan jika kita harus mencari karunia Allah (nafkah) di luar rumah, maka carilah pekerjaan yang halal serta tanpa harus mengorbankan martabat sebagai perempuan. Juga senantiasa tetap istiqamah di jalan Allah SWT. Sebab hal inilah yang akan mendatangkan keberkahan pada nafkah yang kita peroleh nantinya.
Nah, jika keberkahan telah didapat, maka perjalanan hidup yang kita jalani akan terasa tenteram dan damai. Semoga. Amin.



0 komentar: