Kegigihan Umat dan Motivasi


Hadis atau sunah dalam pemahaman para ulama adalah setiap perbuatan, perkataan, dan ketetapan Rasulullah SAW. Hal ini sudah menjadi konsesus bersama di kalangan para ulama. Hanya saja ada beberapa kelompok ahli bid’ah yang mengingkari pendefinisian ini.
Hadis merupakan pijakan dasar dari ushuluddin (inti ajaran agama). Hadis merupakan rukun terpenting dari beberapa rukun agama. Mengimani keberadaan hadis menjadi bagian tak terpisahkan dengan mengimani ajaran agama. Dengan menerima hadis, maka pada saat yang sama dia telah menerima ajaran agama.


نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَغَهُ كَمَا سَمِعَ. فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Semoga Allah memper-elok wajah orang yang mendengar perkataanku dariku. Lalu dia menghafal dan memahaminya sebagaimana yang ia dengar. Adakalanya orang yang menerimanya lebih mencerna daripada yang mendengarnya.” (HR. Imam Tirmidzi dan Imam Abu Daud)

Hadis atau sunah dalam pemahaman para ulama adalah setiap perbuatan, perkataan, dan ketetapan Rasulullah SAW. Hal ini sudah menjadi konsesus bersama di kalangan para ulama. Hanya saja ada beberapa kelompok ahli bid’ah yang mengingkari pendefinisian ini.
Hadis merupakan pijakan dasar dari ushuluddin (inti ajaran agama). Hadis merupakan rukun terpenting dari beberapa rukun agama. Mengimani keberadaan hadis menjadi bagian tak terpisahkan dengan mengimani ajaran agama. Dengan menerima hadis, maka pada saat yang sama dia telah menerima ajaran agama. Terdapat sebuah atsar yang populer,
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ، فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka perhatikanlah, dari siapa kamu mengambil agamamu.” (HR. Imam Tirmidzi).
Atsar ini mempertegas kedudukan hadis sebagai analogi dari kata agama. Dalam proses penerimaannya harus melalui sistem seleksi dan proteksi yang ketat. Sehingga hadis tidak terkontaminasi oleh unsur-unsur negatif yang akan menodai kemurniannya. Ada beberapa fakta histories yang mengindikasikan bahwa hadis Nabi mendapatkan perhatian besar dari umat Islam.
Yang terpenting dan utama dari indikasi ini adalah perhatian para sahabat. Tampak bagi kita, bagaimana para sahabat sangat perhatian terhadap segala perbuatan, perkataan, ketetapan, bahkan tindak tanduk Baginda Rasulullah. Mereka seakan tidak pernah sejengkal tanah dan sedetik waktu meninggalkan Rasulullah. Di mana ada Rasulullah, disitu ada sahabat. Sehingga dalam menerima hadis, para sahabat sangat antusias.
Tidaklah mengherankan jika para sahabat sangat perhatian terhadap hadis Nabi. Hal ini dikarenakan Rasulullah sangat antusias untuk menyampaikan ajaran agama serta memberi wejangan kepada para sahabat. Rasulullah ada di antara para sahabat. Sementara para sahabat menyaksikan langsung bagaimana prilaku kekasihnya. Bagaimana rasulullah berjalan, diam, berbicara, makan, dan setiap gerak gerik beliau, tak lepas dari perhatian para sahabat. Di samping itu, Rasulullah juga memotivasi para sahabat untuk mentransfer segala yang mereka tangkap dari pribadi Rasulullah, sebagaimana hadis di atas.
Para sahabat sangat antusias untuk belajar dan mentransfer apa yang mereka dengar, mereka lihat, dan mereka tangkap dari prilaku Rasulullah. Mereka tak mau ketinggalan. Sampai-sampai diberlakukan sistem bergantian (shif) untuk menghadiri majlis Rasulullah. Sehari hadir, sehari berganti. Sementara yang tidak dapat hadir, mereka sedang melakukan urusannya masing-masing. Namun bukan berarti diam begitu saja. Akan tetapi menemui sahabat yang hadir dan menanyakan materi yang disampaikan oleh Rasulullah.
Bukan hanya itu. Ada beberapa santri delegasi dari beberapa suku yang datang ke Madinah untuk ngaji bersama Rasulullah. Begitupula para santri datang berbondong-bondong dari berbagai penjuru Arab untuk belajar tentang hukum dan agama. Para santri tersebut tinggal selama sebulan atau lebih di pesantren Rasulullah. Sesudah itu, mereka kembali ke kampung dan negeri masing-masing, mengajari dan membimbing kaumnya dengan ajaran Nabi.
Sebagai ilustrasi dari kegigihan para sahabat untuk mempelajari sunah Nabi, adalah sebagaimana yang dialami oleh sahabat Jabir bin Abdullah RA. Jabir pergi meninggalkan Madinah menuju Syam (Syiria) guna menemui sahabat Abdullah bin Anas. Jauh-jauh sahabat Jabir datang ke Syam. Ia harus menempuh beribu-ribu kilometer. Melintasi luasnya padang sahara. Melalui dinginnya malam dan teriknya siang. Semua dilakukan hanya untuk menanyakan sebuah hadis kepada Abdullah bin Anas.
Begitupula sahabat Ayyub al-Anshari. Dia harus mengayunkan langkahnya ke Mesir untuk menemui sahabat Uqbah bin Amir. Jauhnya jarak dari tanah haram menuju negeri Qibti, tak jadi penghalang bagi sahabat Ayyub al-Anshari untuk mendapat informasi tentang sebuah teks hadis,
مَنْ سَتَّرَ مُؤْمِنًا فِي الدُّنْيَا
“Barangsiapa yang menutupi kejelekan seseorang di dunia…” (HR. Imam Baihaqi dan Imam Ibnu Abdil Barr).
Kegigihan dan motivasi yang besar para sahabat untuk mendapatkan hadis, telah meniscayakan munculnya beberapa sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan hadis (al-mukatstsirina min as-shahabah). Yaitu para sahabat yang intens dan meriwayatkan lebih dari seribu hadis Nabi. Mereka adalah Abu Said al-Khudri, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, serta Sayyidah Aisyah radhiyallahu anhum.
Berikut beberapa fakta historis yang mengungkapkan bahwa para sahabat sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadis.
Pertama; kisah al-Mughirah. Di mana al-Mughirah berkata kepada Abu Bakar as-Shidiq, bahwa bagian nenek adalah seperenam (1/6) dari harta warisan. Lalu Sayyidina Abu Bakar menyuruh al-Mughirah agar memanggil saksi yang mendukung pernyataannya tersebut. Diapun mendatangkan Muhammad bin Maslamah. Si Muhammad memberi kesaksian atas apa yang disampaikan oleh al-Mughirah.
Kedua; kisah Abu Musa. Saat itu dia bersama Sayyidina Umar membahas masalah salam. Yaitu, “jika memberi salam tiga kali, namun tidak dijawab, maka hendaklah ia kembali.” Lalu Sayyidina Umar menyuruh Abu Musa agar mendatangkan bukti terkait pernyataannya tersebut. Kemudian Abu Musa mendatangkan orang yang menyaksikan kebenaran hadis tersebut.
Semangat yang tinggi ini juga diwarisi kepada generasi sesudahnya, yaitu generasi tabiin. Generasi para murid sahabat ini juga memiliki antusiasme yang tak jauh beda dengan generasi sebelumnya, para sahabat. Mereka bersusah payah untuk dapat mengimpor informasi tentang hadis Nabi. Hal ini dapat kita jumpai dalam rekaman-rekam biografi para tabiin yang tercecer di beberapa buku sejarah yang sarat dengan ketauladanan.
Sesuah itu, datanglah gelombang besar dari sebuah generasi yang sangat kompeten dan antusias untuk melestarikan sunah. Generasi ketiga ini berupaya semaksimal mungkin agar hadis-hadis Nabi tidak terkontaminasi oleh perkataan-perkataan palsu para pecundang. Agar hadis Nabi tidak tercemari oleh ambisi orang-orang durjana. Supaya tidak disalah gunakan oleh para pemalsu hadis.
Dari sekian cara dan metode yang dilakukan oleh para ulama dalam melestarikan hadis, maka hal itu merupakan langkah yang populer. Proyek besar yang memiliki dampak besar pula. Yang tidak akan pernah dilupakan begitu saja, karena kegigihan mereka dalam upaya melestarikan hadis Rasulullah.
Metodologi untuk melestarikan hadis Nabi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama, pun mengalami dinamisasi dan inovasi seiring perubahan zaman dan iklim; sejalan dengan perbedaan ruang dan wilayah. Akan tetapi, substansi materi yang dibawa takkan berubah. Tetap seperti semula, yaitu materi hadis Nabi yang mulia. Metode ini akan tetap berpijak pada kehati-hatian dalam mentransformasi (meriwayatkan) hadis dan akhbar.
Demikianlah proses pelestarian hadis itu berjalan di atas sistem yang sangat hati-hati, ketat, dan proteksionis. Setiap sahabat yang menerima sebuah hadis, tidak dengan serta merta menerimanya, sebelum ia tahu betul dari mana sumber itu datang. Sebelum ia bisa memastikan adanya bukti yang memperkuat hadis tersebut. Umar (Disarikan dari kitab Al-Manhalul Lathif karya Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki).

0 komentar: