Tinjauan Hukum Mencela Sahabat

Dalam sebuah majelis jamuan makan, berjalan sebuah diskusi yang cukup menarik tentang peradaban Islam. Tiba-tiba salah satu peserta diskusi berkata: “Abu Bakar, Umar dan Usman itu adalah pengkhianat kekhalifahan setelah Rasulullah. Mereka merebut tampuk kekhalifahan dari Sayyidina Ali ra. Laknat atas mereka!” Demikian, cacian, makian dan laknat terhadap sahabat itu kerap ditemukan di beberapa majelis yang mengatasnamakan pengajian pecinta ahlul bait.
Dalam akidah Islam yang benar, membenci sesama muslim bahkan memutuskan hubungan dengannya adalah aktifitas yang diharamkan. Mencela seorang muslim adalah sebuah perbuatan fasik dan menghalalkan peperangan dengan mereka adalah perbuatan kafir.



Dalam sebuah majelis jamuan makan, berjalan sebuah diskusi yang cukup menarik tentang peradaban Islam. Tiba-tiba salah satu peserta diskusi berkata: “Abu Bakar, Umar dan Usman itu adalah pengkhianat kekhalifahan setelah Rasulullah. Mereka merebut tampuk kekhalifahan dari Sayyidina Ali ra. Laknat atas mereka!” Demikian, cacian, makian dan laknat terhadap sahabat itu kerap ditemukan di beberapa majelis yang mengatasnamakan pengajian pecinta ahlul bait.
Dalam akidah Islam yang benar, membenci sesama muslim bahkan memutuskan hubungan dengannya adalah aktifitas yang diharamkan. Mencela seorang muslim adalah sebuah perbuatan fasik dan menghalalkan peperangan dengan mereka adalah perbuatan kafir.
Hadis yang cukup menjelaskan topik tersebut adalah hadis yang menceritakan Sayyidina Khalid bin Walid ra ketika bersama Sariyyah (pasukan perang yang dipimpin Rasulullah SAW untuk mendakwahkan Bani Judzaimah ke jalan Islam. Tatkala Khalid sampai pada Bani Judaimah, mereka menyambut kedatangan Khalid, maka berkatalah Khalid kepada mereka: "Berislamlah kalian!". Mereka menjawab: "Kami ini adalah orang muslim". Kemudian Khalid berkata: "(kalau begitu) lemparkan senjata-senjata kalian!". Mereka menjawab lagi,"Tidak! Demi Allah kalau kami meletakkan senjata, nanti akan terjadi pembunuhan (pada kami). Dan kami tidak percaya kepadamu dan juga pada pasukanmu".
Dengan dialog tersebut akhirnya Khalid memtuskan untuk berkata: "(Jika demikian), maka tidak ada jaminan bagi kalian (untuk tidak kami perangi), kecuali kalian bersedia melucuti senjata kalian". Akhirnya sebagian dari mereka mau melucuti senjata, dan sebagian lagi bercerai-berai.
Dalam riwayat yang lain disebutkan sebagai berikut; telah sampai Khalid pada kaum itu, dan mereka menyambutnya (sambil bersenjata). Maka Khalid berkata: "Siapa kalian?". Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang muslim, kami telah melaksanakan shalat dan kami benarkan Muhammad SAW. Kami juga membangun masjid-masjid di tempat kami, dan juga beradzan untuk memanggil orang untuk shalat". Ketika Khalid mengucapkan pertanyaan dengan kasar, "Kalian ini muslim atau kafir?", maka akhirnya mereka tidak berbuat baik terhadap ucapan keislaman mereka dan berkata: "Kalau demikian, kami keluar saja dari Islam". Khalid menimpali "Untuk apa kalian membawa senjata"? Mereka menjawab: "Sesungguhnya antara kami dengan kaum yang lain dari kalangan bangsa Arab memiliki permusuhan dan kami khawatir bahwa engkau termasuk dari mereka (bangsa Arab). Oleh karena itu kami sekarang memegang senjata".
"Jika demikian, letakkan senjata kalian", perintah Khalid. Akhirnya mereka meletakkan senjata tersebut. Kemudian Khalid berkata: "Menyerahlah kalian untuk menjadi tawanan kami". Latas sebagian mereka menyerahkan diri seraya meletakkan tangan-tangan mereka di pundaknya (sehingga perasaan jengkel terhdap Khalid bertambah kuat).
Akhirnya Khalid membagi tawanan kepada para sahabat yang ikut dengannya. Ketika waktu menjelang subuh tiba, berserulah ajudan Khalid, "Barang siapa yang membawa tawanan, supaya membunuhnya". Maka Bani Sulaim yang ikut rombongan perang Khalid membunuh tawanan yang ikut bersamanya. Sedangkan orang-orang Muhajirin dan Anshar melepaskan tawanan tersebut (tidak membunuh). Ketika kejadian tersebut sampai pada Rasulullah SAW, beliau bersabda: "Ya Allah, sesungguhnya saya berlepas tangan pada-Mu dari perbuatan Khalid tersebut". Beliau mengulanginya sampai tiga kali.
Ada yang berpendapat (terhadap peristiwa Khalid tersebut) dengan mengatakan bahwa menurut pemahaman Khalid, perkataan mereka yang berbunyi ”Kalau begitu kami keluar dari Islam" adalah suatu kesombongan bagi mereka yang menganggap diri mereka sudah besar dan kuat. Serta tidak adanya ketundukan terhadap Islam (sehingga akhirnya Khalid memutuskan untuk menawan mereka).
Sedangkan pengingkaran Rasulullah SAW terhadap kejadian tersebut disebabkan karena ketergese-gesaan Khalid dalam mengambil keputusan tanpa ada penelitian terlebih dahulu terhadap perkara yang dialaminya. Padahal pada kesempatan lain, Rasul pernah memuji Khalid dengan mengatakan; "Sebagus-bagusnya hamba Allah dari rumpun Arab Khalid bin Walid, dia adalah pedang dari sekian pedang-pedang Allah, yang Allah menghunusnya terhadap orang-orang kafir dan munafik".
Maksud keterangan tersebut adalah, bahwa kesalahan yang dilakukan Khalid bukan merupakan kesalahan fatal, tetapi kesalahan dalam menentukan prioritas. Mana yang terbaik yang seharusnya dilakukan oleh Khalid, dengan indikasi perkataan Rasulullah, bahwa Khalid adalah sebagus-bagus hamba Allah. Sehingga tidak mungkin akan melakukan aktifitas yang kesalahannya fatal dan mengakibatkan ia kufur.
Demikian juga kisah Sayyidina Usamah bin Zaid, seorang yang dicintai Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, dan anak dari sahabat yang dicintai Rasulullah yaitu Zaid bin Haritsah. Seperti yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Sofyan, ia berkata: "Saya mendengar Usamah bin Zaid berkata; Rasulullah mengutus kami ke Huraqah. Kemudian kami menyerang kaum itu pagi-pagi sekali, sehingga bisa mengalahkan mereka. (Ketika itu) saya dan seorang laki-laki dari kalangan Anshar mengejar laki-laki kaum itu. Tatkala kami bisa menyergapnya maka ia berkata, Laa ilaha illallah kemudian ia mencegah/menahan supaya laki-laki Huraqah tersebut tidak dibunuh, karena sudah mengucapkan tahlil. Namun saat itu juga saya menusuknya dengan tombak sehingga ia mati.
Ketika berita tersebut sampai pada Rasulullah SAW, beliau bersabda:"Wahai Usamah, adakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa ilaha illah?", saya jawab, "Ia hanya berlindung dari ucapan itu". Namun Rasulullah selalu mengulang terus pertanyaan tersebut, sehingga saya menganggap bahwa pada hari itu saya bukan Islam lagi (karena melakukan kesalahan).
Dan dalam riwayat yang lain, Rasul bersabda kepadanya, ”Mengapa tidak kamu bedah saja hatinya, sehingga engkau bisa mengetahui apakah ia jujur atau bohong (terhadap ucapan itu). Maka Usamah berkata: "Saya tidak akan memerangi orang-orang yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah".
Riwayat yang juga termasuk menjelaskan topik ini adalah jawaban Ali radhiallahu ‘anhu. Ketika ditanya tentang orang-orang yang menentangnya, apakah kelompok mereka disebut kufur? Ali menjawab, "Tidak". Karena mereka jauh dan berlari dari sifat kufur". Apakah mereka munafik? Ali menjawab, "Juga tidak". Karena orang-orang munafik tidak berdzikir sangat banyak pada Allah". Kalau begitu, apa posisi mereka?, maka Ali menjawab, "Mereka adalah kaum yang tertimpa fitnah, sehingga mereka buta dan tuli dari kebenaran".

Taudhih (Penjelasan)
Mencela seseorang muslim adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah. Karena perbuatan tersebut mampu memecah belah ukhuwah Islamiyah yang seharusnya dibangun oleh Abnaul Islam, agar kekuatan Islam bisa menyingkirkan ideologi-ideologi selain Islam, seperti sosialis dan kapitalis.
Ukhuwah yang telah menjadi kekuatan umat Islam tersebut diketahui oleh dunia Barat (sosialis dan kapitalis) dan sekaligus mereka paham akan kelemahan umat Islam. Yaitu, kerapuhan pemikiran umat Islam, sehingga dapat mempengaruhi kerapuhan ukhuwah Islamiyah. Dari kelemahan umat Islam ini akhirnya mereka mengadu-domba dengan berbagai macam dalih. Apakah untuk menjaga perdamaian dunia atau dengan dalih memerangi teroris dan penjahat-penjahat dunia yang kesemuanya itu diarahkan pada negeri-negeri muslim yang tidak bersedia tunduk pada "dajjal modern", yaitu Amerika. Maka lahirlah peperangan antara negeri-negeri muslim yang semuanya didalangi oleh Amerika dan sekutunya. Penjajahan di Irak, Afghanistan, dan hegemoni Barat hampir mencakup seluruh dunia Islam saat ini.
Mereka menebar benih permusuhan antara negeri-negeri yang ada di Timur Tengah dengan dalih menjadi juru damai antara Palestina dan Israel. Yang berakibat semakin merenggangnya hubungan negara-negara Islam di Timur Tengah.
Demikianlah, makar-makar Yahudi dan Nasrani yang berusaha menghapus ide-ide Islam di dunia internasional ini diawali dengan menghancurkan puing-puing ukhuwah islamiyah. Namun jika umat Islam sadar akan kesalahannya, dan bersedia untuk membangun kembali puing-puing ukhuwah islamiyah tersebut, dan bersungguh-sungguh maka Allah akan menghancurkan makar-makar mereka. Karena Dialah sebaik-baik pembuat makar. Sebagaimana firman-Nya dalam QS.Ali Imran: 54:
"Mereka itu membuat makar, dan Allah (membalasnya) dengan makar-Nya, dan Allah lah sebaik-baik pembuat makar".
Allah sendiri telah memberi jalan kepada manusia untuk membangun puing-puing ukhuwah Islamiyah, dengan jalan berikut:
Pertama, Mengadakan Islah, perbaikan di antara yang bertikai, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Hujarat ayat 10:

Sesungguhnya hanya orang-orang yang beriman saja yang bersaudara, maka damaikanlah di antara saudara-saudaramu.
Sedangkan Islah atau perdamaian tidak akan mungkin bisa terjadi, kecuali mengikuti aturan berikut: Perdamaian itu harus berprinsip adil. Yang dimaksud adil di sini adalah sesuai dengan tuntutan syara' yang di dalamnya pasti mengandung maslahat, sebab di mana ada syara' di situ ada maslahat. Allah telah berfirman dalam surat al-Hujarat: 9

"Hendaklah kamu damaikan keduanya dengan prinsip adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil". Dan Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di dunia akan berada di mimbar-mimbar yang terbuat dari permata di hadapan Allah, karena aktifitas adilnya yang dilakukan di dunia"(HR. Ibnu Hasim dan an-Nasa'i).
Kedua, membangun kesamaan dalam pemikiran (konsep-konsep) Islam yang mendasar, sehingga bisa melahirkan kesamaan akan perasaan berislam, dan juga melahirkan kesamaan perasaan cemburu jika Islam dihina. Sehingga yang terjadi adalah tolong-menolong dalam kebaikan pada diri umat Islam. Inilah yang akan memperkuat ukhuwah islamiyah. Lihat QS. Al-Maidah:2.
Ketiga, meningkatkan rasa takwa pada Allah, sebab dengan demikian akan membuat manusia (umat Islam) takut untuk melanggar aturan-aturan Allah. Yang akhirnya akan dapat membedakan mana yang seharusnya sebagai lawan dan sebagai saudara. Lihat QS. Al-hujarat:10.
Ketiga, tidak melakukan hal-hal yang bersifat mencela/meremehkan kelompok lain sesama Islam, dan tidak memanggil dengan sebutan yang tidak disenangi, sebab bisa jadi yang meremehkan itu lebih tercela dari pada yang dicela. Lihat QS. Al-Hujarat: 11.
Keempat, menjauhi sifat su'udzan, ghibah, fitnah, memata-matai untuk mencari kelemahan pada orang lain. Lihat QS. Al-Hujarat:13.
Dari uraian tersebut, bisa disimpulkan bahwa:
a.Orang yang mengucap kalimat syahadat tidak boleh diperangi.
b.Orang yang mengucapkan kalimah syahadat (asalkan tidak merusak akidahnya dengan keyakinan lain) dengan keyakinan dan pembenaran yang pasti, maka ia akan masuk surga, meskipun mengerjakan perbuatan maksiat (walau masih 'mampir' ke neraka) untuk membersihkan maksiat yang dilakukan karena lalai, lupa atau kebodohannya tentang hukum Allah.
Hal ini berdasarkan hujjah sebagai berikut: Bahwa Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda: "Dzalim itu ada tiga, yaitu dzalim yang tidak diampuni Allah, dzalim yang diampuni-Nya, serta dzalim yang tidak meninggalkan darinya pada sesuatu apapun".
Dzalim yang tidak diampuni oleh Allah adalah syirik, menyekutukan Allah dengan yang lain, sesuai firman-Nya Surat Lukman:13:

"Sesungguhnya syirik itu adalah kedzaliman yang besar". Dan termasuk dalam kategori dzalim di atas adalah bertahkim pada hukum-hukum selain yang dibuat Allah, mencampur sebagian dan membuang sebagian yang lain dari hukum Allah. Dalam kondisi ini tidak diampuni dosa-dosa mereka meskipun mereka shalat, puasa dan haji. Karena mereka telah mensyirikkan dan menentang hukum Allah, Allah SWT berfirman: "Barang siapa yang tidak bertahkim dengan hukum Allah maka mereka termasuk orang-orang kafir".(QS. Al-Ma'idah: 44).
Dalam surat an-Nisa': 60 Allah berfirman: ”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim kepada taghut (selain hukum Islam). Padahal mereka diperintah untuk mengikarinya". Dalam surat an-Nisa': 150-151 Allah azza wa jalla berfirman: "…Mereka berkata, kami beriman kepada yang sebagian dan kafir kepada sebagian yang lain…" "Mereka itu adalah orang-orang kafir yang sebenarnya…".
Dzalim yang bisa diampuni Allah adalah dzalimnya hamba terhadap Allah dengan melakukan maksiat karena lalai dan kealpaan atau kebodohannya. Selama tidak menggunakan keyakiannnya pada kalimat Laa ilaha illallah. Maka dzalim seperti ini masih termasuk ahli surga, meskipun harus 'mampir dulu di neraka dahulu. Diriwayatkan Syaikhan dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah bersabda: "Tidak seorang hamba pun yang berkata Laa ilaha illallah, kemudian ia mati tetap pada perkataan tersebut, kecuali ia masuk surga. Saya berkata:Meskipun berzina dan mencuri? Rasulullah menjawab: Meskipun berzina dan mencuri. Saya berkata lagi: meskipun berzina dan mencuri? Rasulullah menjawab:meskipun berzina dan mencuri (sampai tiga kali). Dan berkata Rasulullah yang keempat kalinya: meskipun Abu Dzar terpaksa yang demikian itu.. Dalam riwayat lain disebutkan: "Barang siapa yang mati dan dia tahu bahwa tiada tuhan kecuali Allah, maka ia masuk surga" (HR.Muslim).
Oleh karena itu, seorang muslim yang sejati harus mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya secara menyeluruh, sehingga bisa masuk surga tanpa 'mampir' ke neraka.
Dzalim yang ketiga adalah berkaitan dengan kedzaliman hamba yang satu dengan hamba yang lain. Sehingga saling menghinakan satu sama lain. Dalam kondisi ini saling memaafkan dan saling menghormati akan menghilangkan dosa dzalim tersebut.
Demikianlah hujjah dari kesimpulan di atas, bahwa tidak diperkenankan bagi kita untuk memerangi orang-orang Islam yang masih meyakini Laa ilaha illallah. Namun jika melihat fakta yang ada sekarang ini, banyak sekali orang-orang yang mengaku Islam, meskipun ideologi mereka adalah ideologi kapitalis dan sosialis atau dicampurkan dengan lainnya. Maka sikap kita pada mereka adalah memastikan mereka sebagai orang kufur, karena telah menafikan hukum-hukum Allah serta mencampur dengan hukum mereka. Sebagai hamlud da'wah hendaknya kita berusaha untuk berjidal dengan mereka guna mematikan argumentasi-argumentasinya dan membuat argumentasi yang kuat yang berdasarkan syari'at Islam. Dan tidak melakukan peperangan kecuali:
Diperintah oleh Amirul Mu'minin (Penguasa Islam). Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar untuk memerangi pembangkang-pembangkang yang tidak mau membayar zakat.
Jika mereka menyerang kita, maka kita wajib mempertahankan diri dan menyerang balik kepada mereka.
Adapun peperangan yang dilakukan oleh para sahabat (Ali dan Mu'awiyah, Ali dengan 'Aisyah) maka dalam hal ini ulama-ulama' Sunni berpendapat agar tidak mengomentari peperangan mereka, sebagaimana yang telah dikatakan Imam Abu Hanifah, Hasan al-Bashri dan Umar bin Abdul Aziz, di antara mereka berkata: "Itulah darah-darah yang telah tertumpah yang Allah membersihkan tanganku dari pada percikannya, maka tidaklah aku suka darah itu melumuri lidahku". Dan juga ahli hikmah mengatakan: "Dan apa yang terjadi diantara sahabat, kami memilih sikap diam". KH
Sumber: CD ceramah Posisi dan Peran Sahabat Nabi SAW oleh Prof. DR. Sayid Muhammad Al-Maliki & Jurnal Keislaman Bayan,



0 komentar: