Benang Merah Agama, Kiai dan Politik

Agama dan politik memang dua entitas berbeda, namun tak jarang agama dimanfaatkan sebagai alat mengambil dan mempertahankan kekuasaan politik. Itu tidak lepas dari adanya otoritas dalam agama yang bisa memberikan legitimasi kepada negara, partai, dan perorangan. Kemampuan agama dalam menancapkan legitimasi pada kekuasaan politik disebabkan oleh kenyataan bahwa agama adalah energi dahsyat yang mampu menyublimasikan dan mensakralkan alam profan (duniawiah).

Agama dan politik memang dua entitas berbeda, namun tak jarang agama dimanfaatkan sebagai alat mengambil dan mempertahankan kekuasaan politik. Itu tidak lepas dari adanya otoritas dalam agama yang bisa memberikan legitimasi kepada negara, partai, dan perorangan. Kemampuan agama dalam menancapkan legitimasi pada kekuasaan politik disebabkan oleh kenyataan bahwa agama adalah energi dahsyat yang mampu menyublimasikan dan mensakralkan alam profan (duniawiah).
Menurut seorang ahli, agama disebut pula sebagai langit suci (the sacred canopy) yang dapat dijadikan instrumen memperkokoh politik dan seluruh tindakan manusia. Dengan berdiri di bawah langit suci agama, manusia memiliki semacam ketenangan psikologis (batin) karena tindakannya memiliki referensi pada teks keagamaan. Berpijak dari paradigma inilah dapat dipahami alasan penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam proses politik.
Selanjutnya, sejauh manakah keefektifan peran agama—dalam hal ini agama Islam—dalam kancah perpolitikan yang dimainkan oleh para tokohnya (ulama atau kiai)? Dan apa sebenarnya misi para tokoh agama di saat mereka harus terjun langsung ke wilayah politik praktis? Lalu, seberapa besar peluang umat Islam untuk dapat mewarnai perpolitikan nasional? Berikut statemen klise hasil wawancara eksklusif Umar Faruq dari Mafahim dengan beberapa tokoh dan akademisi yang memiliki kompetensi di bidang politik:
Gus MADJID MAIMUN
Anggota Legislatif dan Fungsionaris PPP

”Kembalikan Kepercayaan Umat
Melalui Prilaku Santun Berpolitik!”

Sebagai umat mayoritas di negeri ini, umat Islam merindukan terlaksananya syari’ah Islam secara total. Itu idealnya. Sebab kaum Muslimin berkeyakinan bahwa Islam adalah agama sempurna yang ”ya’lu walaa yu’la ’alaihi”. Tak ada seorangpun yang tak berkeinginan tegaknya syari’at.
Namun kia saat ini hidup di Indonesia. Yang didalamnya menganut sistem perpolitikan demokrasi. Menyikapi hal tersebut, umat Islam perlu menata startegi agar mampu mewarnai sistem perpolitikan yang sudah berlaku ini. Jika tidak maka jatah umat Islam akan direbut oleh orang lain.
Umat Islam dituntut untuk dapat mewaranai perpolitikana nasional. Caranya, dengan masuk ke dalam sistem. Diantaranya adalah terlibat dalam politik praktis. Tidak apa-apa, kalau misalnya ada tokoh umat Islam yang masuk di partai-partai politik. Tidak hanya di satu partai, tapi di beberapa partai. Tidak hanya di partai yang berlabel Islam, tetapi di partai yang tidak berlabel Islam, tafaddhol. Tapi yang utama adalah partai Islam. Dengan demikian tokoh umat Islam akan mampu masuk dari banyak pintu, sehinga Islam tampil penuh variasi dengan baju yang bervariasi pula. Namun pada akhirnya bermuara pada satu titik, yaitu tegaknya nilai-nilai ajaran Islam.
Namun patut disayangkan, jika dalam prakteknya banyak tokoh umat Islam yang dalam memainkan manuver politiknya masih dipengaruhi oleh kepentingan kelompok, golongan, maupun individu. Sehingga seringkali kita jumpai, antara sesama politisi Muslim saling menjegal, menelikung, atau menggunting dalam lipatan. Mereka saling menjelekkan dan menjatuhkan tokoh atau partai lain. Padahal sama-sama tokoh Islam. Ini musykilat.
Akibatnya, umat menjadi bingung. Permasalahan ini kian komplit, disaat umat Islam dan tokohnya memilih partai hanya karena simbol semata. Mereka tidak memperhatikan isi. Mereka cenderung ikut-ikutan, sehingga mudah terjebak pada kepentingan politi yang pragmatis. Hal ini yang kian membuat umat semakin bingung. Pada saat yang sama, para tokoh umat Islam sudah tidak mendapatkan tempat di hati umatnya. Umat Islam mengalami krisis kepercayaan.
Untuk mengembalikan kepercayaan umat, maka para politisi Muslim bersama para kiai, setidaknya mampu menampilkan prilaku yang mencerminkan teladan yang baik bagi umat. Di samping itu, keberadaan perkumpulan-perkumpulan yang masih murni dan tidak diembel-embeli kepentingan politik, selayaknya difungsikan dan dilestarikan semaksimal mungkin. Hal ini untuk mengembalikan kepercayaan umat di tengah kebingungan.
As Shofwah, misalnya, diharapkan mampu mempersatukan kembali potensi-potensi umat yang—barangkali—sudah hampir rapuh. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan agar organisasi semisal As Shofwah, atau pertemuan Multaqo seperti ini tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik. Sehingga organisasi dan momen ini benar-benar menjadi penyejuk bagi umat.

HABIB ABDULLAH MULAKHELAH
Tokoh Habaib dan Syuriah NU
”Kiai Jangan Terlibat Langsung
Dalam Politik,
Tapi Jangan Jauh-Jauh Dari Politik!”

Berkecimpung di dunia politik adalah bagian dari mua’amalah, dan itu sah-sah saja. Ini bagian dari hablum minannas. Yaitu meliputi ihtiramul jaar (menghormat tetangga), ihtiramus shaghir (menghormat yang muda), ikramul kibar (memuliakan yang tua), dan siyasah (politik).
Perlu dipahami bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita membutuhkan aturan sebagai sistem kehidupan formal. Lha, sistem untuk mengatur pranata sosial itu juga bagian dari politik. Islam sangat memperhatikan urgensi politik sebagai sistem kehidupan umat Islam. Dalam sistematika fikih, kita mengenal empat pilar syari’ah, yaitu ibadah (etika penghambaan), mu’amalah (sistem interaksi sosial), munakahat (sistem perkawinan), dan jinayat (sistem pidana). Keempat pilar ini secara eksplisit adalah sistem kehidupan yang benuansa politik dan berpijak pada nilai-nilai Islam. Ini harus ditegakkan.
Maka tak heran jika banyak dari para ulama terdahulu yang juga sekaligus menjadi politisi. Begitu pula para khulafa ar rasyidin, mereka adalah para politisi yang ulung. Kita saksikan, bagaimana prosesi peralihan kekuasaan pasca wafatnya Rasulullah. Sayyidina Abu Bakar terpilih dengan cara langsung. Sayyidina Umar dipilih dengan cara membentuk tim formatur. Dan begitulah seterusnya. Ini adalah bagian dari prosesi politik yang sudah ada sejak awal umat Islam.
Menyikapi fenomena mulai mengeringnya kepercayaan umat terhadap tokohnya, ini perlu penanganan serius. Idealnya, seorang kiai jangan terlibat langsung dalam kancah politik praktis. Tapi jangan pula ia menjauh dari politik praktis. Sebab politik adalah bagian dari kehidupan dan kbutuhan umat. Namun repotnya, banyak kia-kiai yang tergoda dengan gemerlap politik. Merekapun masuk ke wilayah praktis. Akibatnya, umat terbengkalai.
Kiai harus mampu melakukan monitoring, kontroling, dan pembinaan terhadap prilaku politik para politisi. Kalaupun terpaksa masuk ke dalam ranah politik praktis, seorang kiai harus mampu memainkan peran secantik mungkin. Jangan mencaci, menjelekkan, atau menyalahkan partai atau orang lain. Jika tidak mampu, sebaiknya kiai angkat kaki dari politik!
Yang jadi musykilat saat ini, banyak dari tokoh kita yang belum mampu menyatukan visi dan misi partai-partai Islam. Prilaku politik umat Islam masiih jauh dari sentuhan tehnis politik Islam. Ini yang menjadi hambatan bagi terealisasinya nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan. Sehingga terlalu euforis jika mengatakan bahwa keterlibatan para kiai akan berpotensi pada terbentuknya sistem negara yang Islami, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa kekhalifahan. Oleh karena itu, komponen politik umat Islam harus menyatukan visi misi politiknya demi mencapai tujuan yang gemilang.
Harapan ana, hai’ah As Shofwah mampu mensinergiskan kekuatan umat Islam dan ulama sebagai basis politik dengan manhaj yang satu. Namun bukan berarti harus terlibat dalam wilayah politik praktis. Artinya, masing-masing individu berkomitmen untuk membawa manhaj Abuya ke segala lini, dengan cara masuk dan terlibat di beberapa lini dakwah. Apakah melalui dakwah, tarbiyah, ataupun siyasah.

KH. MAKSHUM TR.
Tokoh Ulama dan Pengurus Syu’bah Idhariah
Thariqah Mu’tabaroh An-Nahdhiyyah
”Politik Adalah Bagian dari Perjuangan Kiai”

Sebenarnya segala sesuatu itu tergantung dari kompetensinya. Jika masalah diserahkan pada ahlinya yang kompeten, maka tidak jadi masalah. Jika ada seorang kiai yang ahli di bidang politik, tafaddhol! Biarkan dia masuk untuk mewarnai perpolitikan nasional. Sebab bagaimanapun juga, seorang kiai dan umat Islam jangan sampai ketinggalan dalam masalah politik.
Ana sepakat dengan pernyataan Habib Riziq (Ketua FPI), bahwa umat Islam harus bisa berjuang di segala bidang. Hal ini sejalan dengan paradigma para sesepuh NU,
أُذْخُلُوْا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَلاَ تَذْخُلُوْا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ
“Masukah dari beberapa pintu, dan jangan masuk hanya lewat satu pintu saja.” Dengan demikian wajah perpolitikan kita akan variatif dan dinamis. Umat Islam akan dapat mewarnai wajah perpolitikan dengan nilai-nilai syari’at.
Ana rasa, jika ada kiai yang terjun ke dunia politik, dia harus kompeten, kredibel, dan menguasai medan. Sehingga nanti tidak mengurangi kredibilitas kekiaiannya. Sebab esensinya, politik tidak dapat dipandang sebagai momok yang merugikan kiai. Mengingat kiai dan umat Islam hidup dalam sebuah negara atau komunitas masyarakat yang mengharuskan untuk berpolitik.
Dalam berdakwah sekalipun, membutuhkan trik dan strategi politik. Metode ini pula yang pernah dilakukan oleh para sahabat serta para pemimpin umat Islam.
Sungguh merupakan bencana terbesar jika umat Islam tertinggal di bidang politik. Maka perpolitikan suatu daerah akan dikuasai oleh orang-orang di luar Islam. Kita saksikan, bencana yang melanda umat Islam di Kalimantan Barat. Kekuatan umat Islam luluhlantak. Secara politis umat Islam kalah. Padahal kita mayoritas di sana. Mulai dari gubernur, bupati, kepala dinas, dan jabatan-jabatan strategis lainnya dikuasai oleh kelompok Salibis.
Dampaknya, para pejabat non Muslim berpeluang untuk mengatur strategi. Mereka berhasil mengelabui umat Islam dengan berfoto di depan masjid dan mengenakan kopiah sembari mengucapkan selamat Idul Fitri. Ini adalah kekalahan umat Islam yang riil secara politis, yang pada akhirnya merembet pada masalah yang lain. Inilah bencana terbesar bagi umat Islam.
Munculnya perpecahan dalam politik, itu adalah konsekwensi politis. Ini bukan masalah akidah. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan. Yang terpenting masing-masing komponen umat mampu bermain cantik dalam berpolitik. Sehingga perpecahan itu tidak merugikan Islam dan kaum Muslimin. Dan untuk mengembalikan persatuan umat, maka segera kembali kepada tuntunan al-Qur’an dan sunnah.
Perpecahan dalam tubuh umat akan menjadi masalah yang krusial jika sudah menyentuh ranah ibadah dan akidah. Misalnya berbeda dalam masalah haji, shalat, zakat, dan masalah aksiomatik lainnya. Jika perselisihan antar kiai, itu kan masalah politik. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan. Itulah konsekwensinya.
Kita dapat mereview bagaimana konstalasi politik di jaman sahabat. Tapi para sahabat mampu bermain politik secara cantik. Mereka tidak meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Jadi tidak masalah. Kalaupun ada yang menuduh bahwa politik yang diterapkan oleh sahabat adalah kotor, kita lihat saja. Toh, justru si penuduh itu sendiri yang kotor!


0 komentar: