Meneguhkan Kembali Ukhuwah Ahlussunnah


Untuk kesekian kali, kedatangan Habib Umar bin Hafidz Bin Syaikh Abubakar ke Indonesia, meneguhkan kembali komitmen Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagai manhaj akidah, syari'ah dan akhlaq Islam. Pernyataan ini disampaikan berbagai forum Habib Umar bersama para ulama Sunni, terutama ketika bertemu secara khusus dengan para kiai dan ulama. Momentum penting ini hendaknya menyadarkan kita umat Islam, Ahlus Sunnah, agar bersatu padu untuk menyelesaikan berbagai tantangan dan rintangan yang akan 'merusak' agama Islam melalui berbagai aliran sesat.


Untuk kesekian kali, kedatangan Habib Umar bin Hafidz Bin Syaikh Abubakar ke Indonesia, meneguhkan kembali komitmen Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagai manhaj akidah, syari'ah dan akhlaq Islam. Pernyataan ini disampaikan berbagai forum Habib Umar bersama para ulama Sunni, terutama ketika bertemu secara khusus dengan para kiai dan ulama. Momentum penting ini hendaknya menyadarkan kita umat Islam, Ahlus Sunnah, agar bersatu padu untuk menyelesaikan berbagai tantangan dan rintangan yang akan 'merusak' agama Islam melalui berbagai aliran sesat.
Kehadiran Habib Umar ke Indonesia setiap tahun, bagi umat Islam Ahlus Sunnah wal Jama'ah ibarat pengisian baterai, memberi semangat pada kalangan Sunni, dengan dakwahnya yang sejuk itu agar mayoritas umat Islam Ahlus Sunnah ini bersatu padu menyemarakkan kajian-kajian agama seperti yang diwariskan oleh para aslaf shalihin. Ini penting untuk saat ini agar para ulama bersatu padu menguatkan potensi masing-masing, sehingga dapat diikuti oleh umatnya di tengah timbulnya perpecahan yang diakibatkan rongrongan firqah-firqah yang bekerja gencar akhir-akhir ini.
Kita tahu, bahwa selama itu umat, terutama sebagian awam misalnya telah dibuat bingung, karena tampil sebagai Syi’i berwajah Sunni, memang bukan untuk pertama kali mereka lakukan. Terutama ulama klasik mereka pun pernah melakukannya: mengaku sebagai Sunni Syafi'i, namun isi kitab-kitab yang dikarangnya 100% berisi doktrin Syi'ah Imamiyah dan sekaligus menohok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Lihat misalnya kitab Muruj al-Dzahab oleh Ali bin Husayn Al-Masoudi, Kifayat al-Thalib fi Manaqib Ali bin Abi Thalib & Al-Bayan fi al-Akhbar Shahib Zaman oleh Abu Abdillah Fakhruddin Muhammad bin Yusuf Al-Kanji, Syarh Nahj al-Balaghah oleh Abi al-Hadid, Syawahid al-Tanzil oleh Al-Hakim al-Khaskani, Yanabi' al-Mawaddah oleh Sulayman bin Ibrahim Al-Qanduzi dan sebagainya. Bahkan Al-Hakim, ahli hadis ini konon juga telah dicurigai kesusupan “tasyayyu”.
Mereka bukanlah Sunni, melainkan mengaku sebagai Sunni agar buku-buku mereka dapat akses dalam kepustakaan Sunni dibaca oleh kalangan pengikut Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Juga sekaligus ditargetkan menjadi referensi bagi Syi'i untuk menyerang Sunni dengan mengatakan: Hadza min Ahlis Sunnah…! (Ini dari Ahlus Sunnah…..!). Strategi propaganda Rawafidh alias Syi'ah Itsna `Asyariyah ini kini rupanya terulang kembali. Banyak pengikut Syi'ah tidak mengaku Syi'i secara konsekwen dan terang-terangan karena menghindari perdebatan terbuka. Ini tak lain karena ada target khusus yang akan dicapai, terkadang dengan dukungan uang.
Seorang tokoh Habaib di Jakarta mengingatkan kita, bahwa kini sudah ada semangat dari pengikut Syi'ah untuk merebut masjid, sekolah dan organisasi-organisasi 'Alawiyin yang ada di daerah. Setelah mereka kuasai, barulah mereka menampakkan “wujud” aslinya bahwa dia adalah sebenarnya seorang Syi'i tulen yang sedang mempraktikkan taqiyyah.
Cara-cara yang diterapkan adalah antara lain, Pertama: sering mengadakan pendekatan individual dengan memberikan image yang netral, Kedua: menawarkan jasa dan bahkan bantuan dana serta janji-janji lain, bila bersedia bergabung dengan jama'ahnya (yang “netral” itu tadi), Ketiga: meminta pada mitra yang diajak kerjasama agar menjadi orang “yang moderat” terhadap keberadaan Syi'ah, karena Syi'ah juga Islam dana bersyahadat, perbedaannya kecil dan tidak banyak dengan Sunni.
Untuk itu mereka mengedepankan alasan-alasan sebagai berikut, Pertama: Syi'ah adalah Muslim, bahkan “muslim yang sempurna” karena hanya Syi'ah yang 'membela' hak-hak imamah Ahlul Bait, Kedua: Syi'ah sekarang punya minyak dan nuklir, Ketiga: Syi'ah paling berani melawan AS dan Israel.
Namun bila dicermati, ketiga alasan tersebut tidak relevan dengan kenyataan-kenyataan yang ada. Syi'ah Itsna `Asyariyah bukanlah pembela Ahlu Bait yang benar karena kultusnya yang berlebihan terhadap Ahlul Bait ternyata telah mencederai akidah (teologi) yang paling prinsip. Pertama, Syi'ah meyakini Imam Ali dan 11 keturunannya ma`shum seperti Nabi (karena itu mereka gunakan 'alaihissalam bukan radhiallahu `anhu kepada mereka) dan kata-katanya seperti sabda Rasul. Kedua, semua sahabat Nabi SAW (yang berjumlah 114 ribu) dimurtadkan kecuali empat yakni Miqdad, Salman, `Ammar dan Abu Dzar). Ini karena mayoritas sahabat itu dinilai tidak memilih Ali setelah Nabi, padahal Ali sendiri membaiat ketiga khalifah pendahulunya. Ketiga, Syi'ah tidak membela Ali malah mendiskredikan nama baiknya karena Syi'ah mengatakan bahwa Ali adalah nama Tuhan yang dipakai olehnya tanpa Abdul (bukan Abdul Ali). Ali lahir di Ka'bah (tapi Nabi Muhammad tidak), padahal Ka'bah kala itu bukan tempat suci dan kiblat kaum muslimin melainkan tempat arca. Sedangkan nama Ali itu bermakna “tinggi” bukan asma Allah. Keempat, minyak dan nuklir Syi'ah tidak mungkin untuk kemaslahatan umat Islam se-Dunia, karena belum ada contoh kongkret memberikan kontribusi pada Dunia Islam. Kelima, jargon anti AS dan Israel bukanlah sikap permanen Syi'ah Iran, sebab dulu pun ketika lagi gencar-gencarnya euphoria anti Barat, diam-diam Khomeini terlibat skandal Irangate (pembelian senjata secara gelap yang melibatkan AS dan Israel) untuk berperang melawan Irak. Dan ketika mau damai, Khomeini bilang seperti minum racun.
Sementara itu isu yang didukung dengan riwayat-riwayat lemah dan palsu lainnya coba dipropagandakan oleh mereka dengan memberi kesan seakan Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini adalah akidah dan mazhab yang salah, maka yang paling benar itu adalah Syi'ah. Namun anehnya, yang menyebarkan tidak pernah mengaku sebagai seorang Syi'i ketika harus beradaptasi dengan Sunni.
Cara-cara seperti inilah, yang tak jarang juga disertai dengan pendekatan “akhlak yang tinggi” mempengaruhi anak muda, dan terhadap segelintir orang Sunni yang kecewa dan frustasi. Akhirnya semua itu mengkeristal dalam bentuk aktivisme yang kemudian berpotensi memecah-belah keluarga dan jama'ah. Yang paling merepotkan dideteksi adalah penampilan mereka yang ibarat “musang berbulu ayam”, yaitu berpura-pura sebagai Sunni, tapi kerjaannya setiap hari mengeritik Sunni seolah dia ulama mujtahid yang berhak untuk menilai manhaj Ahlus Sunnah yang agung ini.
Di tengah meluasnya tantangan firqah-firqah pada era reformasi yang serba bebas ini, memang diperlukan sikap yang tegas dari pihak kita untuk meneguhkan kembali jati diri sebagai Sunni. Selain harus terus diadakan penyegaran pendidikan Ahulus Sunnah wal Jama'ah, juga mesti disertai sikap antisipatif dan reaktif terhadap segala bentuk fitnah yang telah mereka sebarkan untuk melemahkan kekuatan jama'ah. (Ernaz)

0 komentar: