Redam Api Fitnah Demi Ukhuwah

Sudah sekian lama kaum muslimin Indonesia khususnya Ahlus sunnah wal jama’ah hidup berdampingan saling mencintai dan bersaudara. Namun, belakangan ini keharmonisan terusik oleh perdebatan-perdebatan klasik yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi kemudian disertai provokasi, memvonis kafir, musyrik dan sesat.
Sudah bukan zamannya mengusik perkara furu’iyah (cabang-cabang agama) semacam hukum membaca qunut, tahlil, tawassul, istighotsah dan lain sebagainya. Persoalan ini sudah dibahas para ulama fikih ratusan tahun yang lalu. Dan masing-masing ulama memiliki dalil yang cukup kuat dan akurat dengan berpijak pada berbagai rujukan yang di pakai oleh mereka.

Sudah sekian lama kaum muslimin Indonesia khususnya Ahlus sunnah wal jama’ah hidup berdampingan saling mencintai dan bersaudara. Namun, belakangan ini keharmonisan terusik oleh perdebatan-perdebatan klasik yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi kemudian disertai provokasi, memvonis kafir, musyrik dan sesat.
Sudah bukan zamannya mengusik perkara furu’iyah (cabang-cabang agama) semacam hukum membaca qunut, tahlil, tawassul, istighotsah dan lain sebagainya. Persoalan ini sudah dibahas para ulama fikih ratusan tahun yang lalu. Dan masing-masing ulama memiliki dalil yang cukup kuat dan akurat dengan berpijak pada berbagai rujukan yang di pakai oleh mereka.
Adalah hal yang biasa terjadi perbedaan status hukum fikih di antara para ulama’ terhadap sebuah persoalan. Antar para sahabat di zaman Rasulullah SAW saja sering terjadi perbedaan dalam mengaplikasikan ajaran Islam.
Tapi walaupun berbeda, para ulama salaf tidak pernah saling menyesatkan apalagi saling mengkafirkan. Perbedaan hukum fikih justru menambah khazanah keilmuan. Seperti yang di sabdakan oleh Rasulullah, ”Perbedaan di antara umatku adalah rahmat”.
Meributkan persoalan furu’iyah akan menguras tenaga sia-sia. Alangkah baiknya bila daya upaya kita difokuskan untuk menyelesaikan problem-probelm umat Islam yang lebih penting.
Namun sayangnya, ide semacam itu tidaklah sejalan dengan ulah sebagian kecil kelompok Islam. Di mana seharusnya kita sibuk dengan upaya dakwah agar orang lain memahami tentang Islam, atau jika perlu mengislamkan orang lain. Kelompok ini malah sibuk menulis buku yang mengkafirkan sesama umat Islam.
Mengungkit-ungkit kembali persoalan furu’ jelas akan merusak hubungan baik antar sesama Muslim. Apalagi disertai dengan vonis kafir dan sesat terhadap saudaranya sendiri.
Kedamaian yang telah lama dibina itu belakangan terusik oleh buku H Mahrus Ali yang berjudul ”Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik”. Mahrus mengaku sebagai mantan kiai NU, padahal menjadi anggota NU saja ia tidak pernah terdaftar. Mahrus menyatakan bahwa mayoritas umat sudah jatuh kepada kemusyrikan.
Kehadiran buku ini memicu perselisihan dan konflik dalam tubuh umat Islam. Apalagi H Mahrus Ali tidak berani bertanggung jawab terhadap apa yang telah ia tulis di dalam bukunya dalam bentuk dialog terbuka dengan berbagai alasan.
Untungnya, warga nahdliyin masih menyikapi dengan kepala dingin, walaupun beredarnya buku H Mahrus Ali tersebut sangat meresahkan umat Islam khususnya warga Nahdliyyin.
Upaya pendekatan ilmiah yang digagas oleh tim LBM (Lembaga Bahstul Masa’il) NU Jember patut menjadi contoh dalam mengaplikasikan konsep dan prilaku akhlakul karimah dalam menyelesaikan permasalahan umat dalam koridor ahlusunnah wal jama’ah. Tim LBM NU Jember yang dikomandani kiai-kiai muda asal kota Jember Jawa Timur tersebut telah menerbitkan sebuah buku dengan judul ”Membongkar Kebohongan Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik”.
”Buku di jelaskan dengan buku, dan kita pertemukan aspek pemikirannya untuk dipertanggung jawabkan” begitulah yang diungkapkan oleh KH Abdullah Samsul Arifin salah satu kiai muda NU asal Jember.
Sebagai folow-up peluncuran buku tersebut dan juga sebagai media tabayyun (klarifikasi) kedua pihak, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya menggagas acara seminar nasional dengan judul ”Bedah Pemikiran Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik” Vs buku Membongkar Kebohongan Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik” .
Acara tersebut dikemas dalam rangka menemukan sisi ilmiah dari polemik yang selama ini terjadi. Sehingga tidak menjadi momok dan problem baru bagi umat Islam. Seminar yang cukup menyita perhatian umat Islam tersebut digelar di aula Pusat Pengembangan Intelektual (P2I ) Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Hadir sebagai pembicara KH. Muamal Hamidi (pemberi pengantar pada buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik” dan Ustadz Idrus Ramli bersama KH Abdullah Samsul Arifin sebagai penulis buku Membongkar Kebohongan Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik” dari tim Tim LBM NU Jember.
Ketidak hadiran sang ”mantan kiai NU”, Mahrus Ali dengan alasan yang tak masuk akal yaitu alasan keamanan memang patut disesalkan. Apalagi dengan meminta jaminan uang sebesar tiga milyar dan pengawalan polisi dua truk.
”Ini sangatlah menghina institusi Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, sebagai institusi intelektual sekaligus penyelenggara acara ini”, demikianlah yang dikatakan oleh Prof. DR. H. Ahmad Zahro, MA selaku direktur pasca sarjana di kampus Islam negeri yang ada berada di kota pahlawan tersebut.
Padahal jaminan keamanan sebelumnya juga diutarakan oleh KH Ali Masyhuri yang akrab disapa Gus Ali, salah seorang wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, sebagaimana yang dirilis di harian Duta Masyarakat (6 maret 2008). Namun pada kenyataannya Mahrus Ali tetap tidak hadir dalam acara tersebut.
Rasa penasaran para peserta seminar pada sosok H Mahrus Ali akhirnya tak terobati, karena si penulis tidak hadir. Namun kedatangan Muamal Hamidi. Lc sebagai pemberi pengantar pada buku Mahrus Ali dianggap oleh peserta cukup mewakili pemikiran–pemikiran Mahrus Ali pada buku yang memicu konflik tersebut. Apalagi dalam kata pengantarnya Muammal Hamidi menulis bahwa ia telah menelaah dan mengkaji dengan teliti isi buku yang ditulis Mahrus Ali.
Materi ilmiah dan penyajian dalil yang lebih akurat dengan literatur yang komplit, rapi juga jelas dari tim tim LBM (Lembaga Bahstul Masa’il) NU Jember, tak berimbang dengan penyajian Muamal Hamidi Lc. Bahkan terkesan bahwa pihak Muammal Hamidi tidak mampu memberi jawaban yang memuaskan atas seabarek pertanyaan yang diajukan. Dan yang membuat peserta seminar ilmiah itu ger-gerran adalah pernyataan Muamal Hamidi yang mengaku tak mengenal H Mahrus Ali dan membaca bukunya sepintas-sepintas saja. Lalu memberi kata pengantar pada buku yang dinilai banyak kalangan sangat profokatif itu.
Sejak awal seminar berjalan dengan lancar. Namun setelah terkesan bahwa pihak Muammal Hamidi terkesan berbelit-belit dalam menjawab, tidak fokus pada materi pertanyaan yang diajukan, peserta mulai gerah. Sehingga moderator terpaksa menghentikan acara dengan kesepakatan peserta. (Khalili Hasib)


0 komentar: