Kegigihan Umat dan Motivasi
Hadis atau sunah dalam pemahaman para ulama adalah setiap perbuatan, perkataan, dan ketetapan Rasulullah SAW. Hal ini sudah menjadi konsesus bersama di kalangan para ulama. Hanya saja ada beberapa kelompok ahli bid’ah yang mengingkari pendefinisian ini.
Hadis merupakan pijakan dasar dari ushuluddin (inti ajaran agama). Hadis merupakan rukun terpenting dari beberapa rukun agama. Mengimani keberadaan hadis menjadi bagian tak terpisahkan dengan mengimani ajaran agama. Dengan menerima hadis, maka pada saat yang sama dia telah menerima ajaran agama.
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَغَهُ كَمَا سَمِعَ. فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Semoga Allah memper-elok wajah orang yang mendengar perkataanku dariku. Lalu dia menghafal dan memahaminya sebagaimana yang ia dengar. Adakalanya orang yang menerimanya lebih mencerna daripada yang mendengarnya.” (HR. Imam Tirmidzi dan Imam Abu Daud)
Hadis atau sunah dalam pemahaman para ulama adalah setiap perbuatan, perkataan, dan ketetapan Rasulullah SAW. Hal ini sudah menjadi konsesus bersama di kalangan para ulama. Hanya saja ada beberapa kelompok ahli bid’ah yang mengingkari pendefinisian ini.
Hadis merupakan pijakan dasar dari ushuluddin (inti ajaran agama). Hadis merupakan rukun terpenting dari beberapa rukun agama. Mengimani keberadaan hadis menjadi bagian tak terpisahkan dengan mengimani ajaran agama. Dengan menerima hadis, maka pada saat yang sama dia telah menerima ajaran agama. Terdapat sebuah atsar yang populer,
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ، فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka perhatikanlah, dari siapa kamu mengambil agamamu.” (HR. Imam Tirmidzi).
Atsar ini mempertegas kedudukan hadis sebagai analogi dari kata agama. Dalam proses penerimaannya harus melalui sistem seleksi dan proteksi yang ketat. Sehingga hadis tidak terkontaminasi oleh unsur-unsur negatif yang akan menodai kemurniannya. Ada beberapa fakta histories yang mengindikasikan bahwa hadis Nabi mendapatkan perhatian besar dari umat Islam.
Yang terpenting dan utama dari indikasi ini adalah perhatian para sahabat. Tampak bagi kita, bagaimana para sahabat sangat perhatian terhadap segala perbuatan, perkataan, ketetapan, bahkan tindak tanduk Baginda Rasulullah. Mereka seakan tidak pernah sejengkal tanah dan sedetik waktu meninggalkan Rasulullah. Di mana ada Rasulullah, disitu ada sahabat. Sehingga dalam menerima hadis, para sahabat sangat antusias.
Tidaklah mengherankan jika para sahabat sangat perhatian terhadap hadis Nabi. Hal ini dikarenakan Rasulullah sangat antusias untuk menyampaikan ajaran agama serta memberi wejangan kepada para sahabat. Rasulullah ada di antara para sahabat. Sementara para sahabat menyaksikan langsung bagaimana prilaku kekasihnya. Bagaimana rasulullah berjalan, diam, berbicara, makan, dan setiap gerak gerik beliau, tak lepas dari perhatian para sahabat. Di samping itu, Rasulullah juga memotivasi para sahabat untuk mentransfer segala yang mereka tangkap dari pribadi Rasulullah, sebagaimana hadis di atas.
Para sahabat sangat antusias untuk belajar dan mentransfer apa yang mereka dengar, mereka lihat, dan mereka tangkap dari prilaku Rasulullah. Mereka tak mau ketinggalan. Sampai-sampai diberlakukan sistem bergantian (shif) untuk menghadiri majlis Rasulullah. Sehari hadir, sehari berganti. Sementara yang tidak dapat hadir, mereka sedang melakukan urusannya masing-masing. Namun bukan berarti diam begitu saja. Akan tetapi menemui sahabat yang hadir dan menanyakan materi yang disampaikan oleh Rasulullah.
Bukan hanya itu. Ada beberapa santri delegasi dari beberapa suku yang datang ke Madinah untuk ngaji bersama Rasulullah. Begitupula para santri datang berbondong-bondong dari berbagai penjuru Arab untuk belajar tentang hukum dan agama. Para santri tersebut tinggal selama sebulan atau lebih di pesantren Rasulullah. Sesudah itu, mereka kembali ke kampung dan negeri masing-masing, mengajari dan membimbing kaumnya dengan ajaran Nabi.
Sebagai ilustrasi dari kegigihan para sahabat untuk mempelajari sunah Nabi, adalah sebagaimana yang dialami oleh sahabat Jabir bin Abdullah RA. Jabir pergi meninggalkan Madinah menuju Syam (Syiria) guna menemui sahabat Abdullah bin Anas. Jauh-jauh sahabat Jabir datang ke Syam. Ia harus menempuh beribu-ribu kilometer. Melintasi luasnya padang sahara. Melalui dinginnya malam dan teriknya siang. Semua dilakukan hanya untuk menanyakan sebuah hadis kepada Abdullah bin Anas.
Begitupula sahabat Ayyub al-Anshari. Dia harus mengayunkan langkahnya ke Mesir untuk menemui sahabat Uqbah bin Amir. Jauhnya jarak dari tanah haram menuju negeri Qibti, tak jadi penghalang bagi sahabat Ayyub al-Anshari untuk mendapat informasi tentang sebuah teks hadis,
مَنْ سَتَّرَ مُؤْمِنًا فِي الدُّنْيَا
“Barangsiapa yang menutupi kejelekan seseorang di dunia…” (HR. Imam Baihaqi dan Imam Ibnu Abdil Barr).
Kegigihan dan motivasi yang besar para sahabat untuk mendapatkan hadis, telah meniscayakan munculnya beberapa sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan hadis (al-mukatstsirina min as-shahabah). Yaitu para sahabat yang intens dan meriwayatkan lebih dari seribu hadis Nabi. Mereka adalah Abu Said al-Khudri, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdullah, serta Sayyidah Aisyah radhiyallahu anhum.
Berikut beberapa fakta historis yang mengungkapkan bahwa para sahabat sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadis.
Pertama; kisah al-Mughirah. Di mana al-Mughirah berkata kepada Abu Bakar as-Shidiq, bahwa bagian nenek adalah seperenam (1/6) dari harta warisan. Lalu Sayyidina Abu Bakar menyuruh al-Mughirah agar memanggil saksi yang mendukung pernyataannya tersebut. Diapun mendatangkan Muhammad bin Maslamah. Si Muhammad memberi kesaksian atas apa yang disampaikan oleh al-Mughirah.
Kedua; kisah Abu Musa. Saat itu dia bersama Sayyidina Umar membahas masalah salam. Yaitu, “jika memberi salam tiga kali, namun tidak dijawab, maka hendaklah ia kembali.” Lalu Sayyidina Umar menyuruh Abu Musa agar mendatangkan bukti terkait pernyataannya tersebut. Kemudian Abu Musa mendatangkan orang yang menyaksikan kebenaran hadis tersebut.
Semangat yang tinggi ini juga diwarisi kepada generasi sesudahnya, yaitu generasi tabiin. Generasi para murid sahabat ini juga memiliki antusiasme yang tak jauh beda dengan generasi sebelumnya, para sahabat. Mereka bersusah payah untuk dapat mengimpor informasi tentang hadis Nabi. Hal ini dapat kita jumpai dalam rekaman-rekam biografi para tabiin yang tercecer di beberapa buku sejarah yang sarat dengan ketauladanan.
Sesuah itu, datanglah gelombang besar dari sebuah generasi yang sangat kompeten dan antusias untuk melestarikan sunah. Generasi ketiga ini berupaya semaksimal mungkin agar hadis-hadis Nabi tidak terkontaminasi oleh perkataan-perkataan palsu para pecundang. Agar hadis Nabi tidak tercemari oleh ambisi orang-orang durjana. Supaya tidak disalah gunakan oleh para pemalsu hadis.
Dari sekian cara dan metode yang dilakukan oleh para ulama dalam melestarikan hadis, maka hal itu merupakan langkah yang populer. Proyek besar yang memiliki dampak besar pula. Yang tidak akan pernah dilupakan begitu saja, karena kegigihan mereka dalam upaya melestarikan hadis Rasulullah.
Metodologi untuk melestarikan hadis Nabi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama, pun mengalami dinamisasi dan inovasi seiring perubahan zaman dan iklim; sejalan dengan perbedaan ruang dan wilayah. Akan tetapi, substansi materi yang dibawa takkan berubah. Tetap seperti semula, yaitu materi hadis Nabi yang mulia. Metode ini akan tetap berpijak pada kehati-hatian dalam mentransformasi (meriwayatkan) hadis dan akhbar.
Demikianlah proses pelestarian hadis itu berjalan di atas sistem yang sangat hati-hati, ketat, dan proteksionis. Setiap sahabat yang menerima sebuah hadis, tidak dengan serta merta menerimanya, sebelum ia tahu betul dari mana sumber itu datang. Sebelum ia bisa memastikan adanya bukti yang memperkuat hadis tersebut. Umar (Disarikan dari kitab Al-Manhalul Lathif karya Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki).
Agar Tegar di Terjangan Zaman
Diana. Gadis itu sangat terpukul dengan kematian ibunya. Serangan jantung yang mengganas, telah mengantarkan ibundanya pada peristirahatan abadi. Sebagai gadis yang masih belia, tentu Diana masih merindukan saat-saat kebersamaan dengan sang ibunda.
Tiga bulan berlalu. Kesedihan yang menggelayut itu tak kunjung pula berlarut. Kepiluan itu kian bertahta dalam diri gadis asal Sukabumi itu. Apalagi Diana sadar, dirinya tak memiliki sepeser uangpun untuk melanjutkan perjuangan hidup. Tanpa ibu.
Memang, ada beberapa karung beras dari hasil subsidi para pelayat. Bahan makanan pokok utama masih tersedia. Setidaknya dapat meringankan bebannya. Minimal untuk tiga bulan ke depan.
Sejak usia lima tahun, Diana sudah ditinggal oleh ayahnya. Kini ibunya pun telah pergi untuk selamanya. Dia harus memutar otak mencari cara untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup.
Sempat terlintas dibenak Diana untuk meneruskan profesi almarhumah ibunya. Yaitu menjadi tukang cuci pakaian milik tetangga. Namun pikiran itu dia tepis jauh-jauh. Dia merasa tak sanggup melakukannya.
Dalam diri Diana, masih ada segunung cita-cita. Dia berharap untuk dapat melanjutkan pendidikannya. Minimal sampai tamat SMU. Diana pun mulai bimbang. Sudah beberapa bulan SPPnya menunggak. Dia membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam waktu yang singkat. Sedangkan bila ia berprofesi sebagai tukang cuci pakaian, mana bisa ia dapat uang banyak dengan cepat?
Begitulah kecamuk pikiran itu terus menindih di kepala Diana. Sementara dia tak memiliki ketrampilan apapun selain ia hanya bisa duduk di bangku sekolah saja.
Rupanya kegalauan Diana dibaca oleh Joko, teman sekolahnya. Pemuda itu dikenal sebagai security malam di salah satu diskotik ternama di Jakarta. Dengan meyakinkan, pemuda itu menawarkan pekerjaan yang mudah dapat uang. Apalagi kalau bukan menjadi wanita penghibur!
Yah, Diana ditawari untuk menjadi wanita malam. Pertama kali dirinya dijual kepada salah seorang pejawab legislatif. Setelah melalui rayuan gombal dan tawar menawar, akhirnya sang pejabat membuat surat perjanjian dengan Diana. Dua belah pihak mengadakan kesepakatan, transaksi berlangsung disebuah hotel dengan harga Rp. 3 juta.
Beberapa bulan kemudia, Diana Hamil. Padahal, dari sejumlah uang yang disepakati, Diana hanya menerima Rp. 350 ribu saja. Sisanya masuk ke kantong Joko.
Diana meminta tanggung jawab sang pejabat. Namun bapak wakil rakyat itu mungkir. Alasannya dalam surat perjanjian tidak tercantumkan harus bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi pada diri Diana nanti. Jadilah Diana menanggung malu dan pilu sepanjang waktu. Impian merampungkan sekolah pupuslah sudah.
Ukhti... Betapa kita miris dengan kisah ini. Begitu menyayat dan memilukan hati. Padahal, bisa jadi banyak kisah-kisah serupa lainnya yang terjadi pada saudari-saudari kita. Kisah itu ada dan nyata. Mungkin di sekitar kita, mungkin keluarga kita, atau mungkin menimpa orang-orang terdekat kita. Na’udzubillah.
Inilah kisah seorang gadis yang berusaha bangkit demi mempertahankan kelangsungan hidup. Namun dia harus menempuh segala cara dan usaha. Mengambil keputusan yang salah di tengah jeratan kebimbangan yang dihadapinya.
Era kapitalis dan hedonis saat ini, uang dan materi adalah barometer segalanya. Kondisi inilah terkadang memaksa orang untuk melakukan apa saja. Tanpa melihat halal-haram. Tak hanya seperti sosok Diana. Malah banyak gadis-gadis secara sadar menekuni profesi “wanita cepat saji” tersebut. Padahal hal itu menjatuhkan martabatnya sebagai perempuan. Seperti menjadi foto model sampul majalah yang mengumbar maksiat, peragawati pakaian minim, penyanyi erotis, tukang pijat plus, model iklan yang mengeksploitasi tubuh, atau malah menjadi wanita penghibur.
Ukhti... Seberat apapun tantangan hidup ini, hendaknya kita tetap berbekal iman. Karena hanya iman yang kuat yang dapat membentengi serta menjadi filter dalam hidup kita.
Keimanan dapat tumbuh kokoh dalam diri, tatkala kita rajin menyiraminya. Yaitu dengan mengikuti kajian keislaman, bergaul dengan orang-orang sholeh dan sholehah, banyak berdzikir, berupaya memahami makna yang terkandung dalam kitab suci al-Qur’an, serta rajin melaksanakan shalat malam.
Sementara itu, guna mencukupi kebutuhan hidup ini, hendaknya kita kembali kepada konsep yang telah diajarkan Baginda Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda:
اسْتَعِيْنُوْا حَوَائِجَكُمْ بِعِزَّةِ النَّفْسِ، فَإِنَّ اْلأُمُوْرَ تَجْرِي بِالْمَقَادِرِ
”Penuhilah kebutuhan kalian dengan menjaga kehormatan diri, karena sesungguhnya semua perkara itu berjalan sesuai dengan ketentuannya.”
Untuk itu, baik kiranya apabila ukhti mengembangkan potensi yang memang di berikan Allah sejak lahir kepada kita. Seperti menekuni dunia tata boga, jahit menjahit, menulis, dan sebagainya.
Dan jika kita harus mencari karunia Allah (nafkah) di luar rumah, maka carilah pekerjaan yang halal serta tanpa harus mengorbankan martabat sebagai perempuan. Juga senantiasa tetap istiqamah di jalan Allah SWT. Sebab hal inilah yang akan mendatangkan keberkahan pada nafkah yang kita peroleh nantinya.
Nah, jika keberkahan telah didapat, maka perjalanan hidup yang kita jalani akan terasa tenteram dan damai. Semoga. Amin.
Tiga bulan berlalu. Kesedihan yang menggelayut itu tak kunjung pula berlarut. Kepiluan itu kian bertahta dalam diri gadis asal Sukabumi itu. Apalagi Diana sadar, dirinya tak memiliki sepeser uangpun untuk melanjutkan perjuangan hidup. Tanpa ibu.
Memang, ada beberapa karung beras dari hasil subsidi para pelayat. Bahan makanan pokok utama masih tersedia. Setidaknya dapat meringankan bebannya. Minimal untuk tiga bulan ke depan.
Sejak usia lima tahun, Diana sudah ditinggal oleh ayahnya. Kini ibunya pun telah pergi untuk selamanya. Dia harus memutar otak mencari cara untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup.
Sempat terlintas dibenak Diana untuk meneruskan profesi almarhumah ibunya. Yaitu menjadi tukang cuci pakaian milik tetangga. Namun pikiran itu dia tepis jauh-jauh. Dia merasa tak sanggup melakukannya.
Dalam diri Diana, masih ada segunung cita-cita. Dia berharap untuk dapat melanjutkan pendidikannya. Minimal sampai tamat SMU. Diana pun mulai bimbang. Sudah beberapa bulan SPPnya menunggak. Dia membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam waktu yang singkat. Sedangkan bila ia berprofesi sebagai tukang cuci pakaian, mana bisa ia dapat uang banyak dengan cepat?
Begitulah kecamuk pikiran itu terus menindih di kepala Diana. Sementara dia tak memiliki ketrampilan apapun selain ia hanya bisa duduk di bangku sekolah saja.
Rupanya kegalauan Diana dibaca oleh Joko, teman sekolahnya. Pemuda itu dikenal sebagai security malam di salah satu diskotik ternama di Jakarta. Dengan meyakinkan, pemuda itu menawarkan pekerjaan yang mudah dapat uang. Apalagi kalau bukan menjadi wanita penghibur!
Yah, Diana ditawari untuk menjadi wanita malam. Pertama kali dirinya dijual kepada salah seorang pejawab legislatif. Setelah melalui rayuan gombal dan tawar menawar, akhirnya sang pejabat membuat surat perjanjian dengan Diana. Dua belah pihak mengadakan kesepakatan, transaksi berlangsung disebuah hotel dengan harga Rp. 3 juta.
Beberapa bulan kemudia, Diana Hamil. Padahal, dari sejumlah uang yang disepakati, Diana hanya menerima Rp. 350 ribu saja. Sisanya masuk ke kantong Joko.
Diana meminta tanggung jawab sang pejabat. Namun bapak wakil rakyat itu mungkir. Alasannya dalam surat perjanjian tidak tercantumkan harus bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi pada diri Diana nanti. Jadilah Diana menanggung malu dan pilu sepanjang waktu. Impian merampungkan sekolah pupuslah sudah.
Ukhti... Betapa kita miris dengan kisah ini. Begitu menyayat dan memilukan hati. Padahal, bisa jadi banyak kisah-kisah serupa lainnya yang terjadi pada saudari-saudari kita. Kisah itu ada dan nyata. Mungkin di sekitar kita, mungkin keluarga kita, atau mungkin menimpa orang-orang terdekat kita. Na’udzubillah.
Inilah kisah seorang gadis yang berusaha bangkit demi mempertahankan kelangsungan hidup. Namun dia harus menempuh segala cara dan usaha. Mengambil keputusan yang salah di tengah jeratan kebimbangan yang dihadapinya.
Era kapitalis dan hedonis saat ini, uang dan materi adalah barometer segalanya. Kondisi inilah terkadang memaksa orang untuk melakukan apa saja. Tanpa melihat halal-haram. Tak hanya seperti sosok Diana. Malah banyak gadis-gadis secara sadar menekuni profesi “wanita cepat saji” tersebut. Padahal hal itu menjatuhkan martabatnya sebagai perempuan. Seperti menjadi foto model sampul majalah yang mengumbar maksiat, peragawati pakaian minim, penyanyi erotis, tukang pijat plus, model iklan yang mengeksploitasi tubuh, atau malah menjadi wanita penghibur.
Ukhti... Seberat apapun tantangan hidup ini, hendaknya kita tetap berbekal iman. Karena hanya iman yang kuat yang dapat membentengi serta menjadi filter dalam hidup kita.
Keimanan dapat tumbuh kokoh dalam diri, tatkala kita rajin menyiraminya. Yaitu dengan mengikuti kajian keislaman, bergaul dengan orang-orang sholeh dan sholehah, banyak berdzikir, berupaya memahami makna yang terkandung dalam kitab suci al-Qur’an, serta rajin melaksanakan shalat malam.
Sementara itu, guna mencukupi kebutuhan hidup ini, hendaknya kita kembali kepada konsep yang telah diajarkan Baginda Nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda:
اسْتَعِيْنُوْا حَوَائِجَكُمْ بِعِزَّةِ النَّفْسِ، فَإِنَّ اْلأُمُوْرَ تَجْرِي بِالْمَقَادِرِ
”Penuhilah kebutuhan kalian dengan menjaga kehormatan diri, karena sesungguhnya semua perkara itu berjalan sesuai dengan ketentuannya.”
Untuk itu, baik kiranya apabila ukhti mengembangkan potensi yang memang di berikan Allah sejak lahir kepada kita. Seperti menekuni dunia tata boga, jahit menjahit, menulis, dan sebagainya.
Dan jika kita harus mencari karunia Allah (nafkah) di luar rumah, maka carilah pekerjaan yang halal serta tanpa harus mengorbankan martabat sebagai perempuan. Juga senantiasa tetap istiqamah di jalan Allah SWT. Sebab hal inilah yang akan mendatangkan keberkahan pada nafkah yang kita peroleh nantinya.
Nah, jika keberkahan telah didapat, maka perjalanan hidup yang kita jalani akan terasa tenteram dan damai. Semoga. Amin.
Keutamaan Haji
Haji, sebagaimana ibadah yang lainnya (salat, zakat, puasa dan sebagainya), adalah ibarat sebuah tembok yang memiliki dua sisi. Satu sisi menghadap ke dalam, sisi satunya lagi menghadap ke luar. Pada sisi yang pertama, haji meningkatkan kadar kesalehan individual (mu’amallah ma’allah) sedangkan pada sisi yang kedua haji menggoreskan pengalaman keagamaan yang mendorong pada peningkatan kualitas kesalehan sosial (mu’amalah ma’annas).
Dalil-dali syar’i tentang wajibnya haji sebagai rukun Islam yang ke lima, antara lain:
Oleh: Ust. Kamaludin
Haji, sebagaimana ibadah yang lainnya (salat, zakat, puasa dan sebagainya), adalah ibarat sebuah tembok yang memiliki dua sisi. Satu sisi menghadap ke dalam, sisi satunya lagi menghadap ke luar. Pada sisi yang pertama, haji meningkatkan kadar kesalehan individual (mu’amallah ma’allah) sedangkan pada sisi yang kedua haji menggoreskan pengalaman keagamaan yang mendorong pada peningkatan kualitas kesalehan sosial (mu’amalah ma’annas).
Dalil-dali syar’i tentang wajibnya haji sebagai rukun Islam yang ke lima, antara lain:
Firman Allah
الحج أشهر معلومات
Dalam ayat lain Allah telah berfirman :
و لله على الناس حج البيت من استطاع اليه سبيلا
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah
Dalam beberapa riwayat hadis, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk melakukan ibadah haji karena beberapa keutamaan, diantaranya dengan mengerjakan Ibadah haji secara otomatis akan menjadi tamu Allah sebagaimana sabda Baginda Rasulullah :
الحجاج و العمار وفد الله إن سألوا أُعطُوا و إن دَعَوا أُجِيبوا وإن أنفقوا أُخلِف عليهم
Orang –orang yang mengerjakan ibadah haji dan umroh mereka adalah tamu Allah , apabila mereka meminta pasti akan diberi, apabila mereka memohon pasti akan dikabulkan , apabila mereka mengeluarkan sedekah pasti akan diganti
Sebagai tamu Allah, seyogyanya umat Rasulullah yang menunaikan ibadah haji harus mengetahui bagaimana cara menjadi tamu yang baik agar ibadah haji yang dikerjakan diterima Allah, juga mereka harus selalu lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah dari Shalat baik yang hukum sunnah apalagi yang wajib ketika menjadi tamu Allah.
Rasulullah bersabda:
فضل الصلاة فى المسجد الحرام على غيره بمائة الف صلاةٍ و فى مسجدى ألف صلاة و فى بيت المقدس خمسمائة صلاة
Keutamaan shalat di masjidil haram atas yang lainnya dengan 100 ribu solat , dan di masjid saya ( Masjid Nabawi ) dengan 1000 solat, dan di Baitil maqdis ( Masjidil Aqso) dengan 500 solat
Disamping di anjurkan supaya memperbanyak shalat, hujjaj hendaknya juga memperbanyak tawaf, i’tikaf dan melihat Ka’bah.
Rasulullah bersabda :
ينزل على هذا البيت كل يوم و ليلة عشرون و مائة رحمةٍ : ستون منها للطائفين, و أربعون للعاكفين حول البيت , و عشرون للناظرين الى البيت
Akan turun kepada rumah ini ( ka’bah ) setiap hari dan malam 120 rahma : 60 rahmat bagi mereka yang mengerjakan tawaf , 40 rohmat bagi mereka yang i’tikaf di sekeliling ka’bah , 20 rahmat bagi mereka yang melihat ka’bah “
Dan juga ketika berada di Madinah supaya sering-sering ziarah kepada baginda Rasulullah karena orang yang ziarah ke makam beliau maka pasti akan mendapat syafa’atnya besok pada hari kiamat .
Sabda Rasulullah.
من زار قبري وجبت له شفاعتي
Bukan saja yang harus diperhatikan amal kebaikan ketika mereka menjadi tamu Allah untuk dikerjakan , tapi juga kemaksiatan juga harus betul-betul diperhatikan untuk selau dijauhi dan dihindari.
Firman Allah :
فمن فرض فيهن الحج فلا رفث و لا فسوق ولا جدال فى الحج
Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu untuk mengerjakan ibadah haji maka tidak boleh mengeluarkan perkataan yang kotor dan tidak boleh berbuat fasik serta berbantah bantahan
Dalam ayat yang lain Allah telah berfirman
و من يرد فيه بإلحاد بظلم نذقه من عذاب أليم
Dan barang siapa yang bermaksud di dalamnya (Mekkah) melakukan kejahatan secara dhAlim niscaya akan kami rasakan kepadanya dari siksa yang pedih
Al-magfur lah guru kami Abuya Assayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Hasani dalam kitabnya الحج فضائل و أحكام ,beliau mengatakan :
Diantara faedah dan keutamaan orang yg mengerjakan ibadah haji:
Pertama, sesungguhnya orang yang mengerjakan ibadah haji, maka hajinya akan melebur dan menghilangkan dosa-dosa yang telah diperbuat dalam arti dosa mereka yang berhubungan dengan Allah bukan yang berhubungan dengan mahluk sebagaimana Rasulullah bersabda kepada sahabat Abullah bin Amer bin Ash:
أما علمت أن الإسلام يهدم ماكان قبله و أن الهجرة تهدم ماكان قبلها و أن الحج يهدم ماكان قبله
Apa kamu tidak mengetahui , bahwa masuknya seseorang ke dalam agama Islam itu bisa melebur semua dosa-dosanya?juga hijrahnya seseorang ke kota Madinah juga bisa menghapus semua dosa-dosanya?begitu pula dengan ibadah haji yang dikerjakan seseorang itu bisa menghilangkan dosa-dosanya “
Kedua, pahala orang yang mengerjakan ibadah haji seperti pahala orang yang ikut perang menegakkan kalimat Allah dalam medan pertempuran .
Rasulullah bersabda ;
جهاد الكبير و الضعيف و المرأة الحج و العمرة
“ Jihadnya orang yang sudah tua dan orang yang lemah serta orang perempuan adalah mengerjakan ibadah haji dan umrah “
Ketiga, doanya mereka pasti akan dikabulkan Allah.
Rasulullah bersabda ;
خمس دعوات لا تُرَدُّ : دعوة الحاج حتى يَصدُر و دعوة الغازي حتى يَرجع و دعوة المظلوم حتى يَنصُر و دعوة المريض حتى يَبرَأ و دعوة الأخ لأخيه الغيب
Lima doa’ yang tidak akan di tolak oleh Allah (1) doa’nya orang yang mengerjakan ibadah haji sampai selesai ibadahnya, (2) doa’nya orang yang berperang sampai pulang ke rumahnya, (3) doa’nya orang yang didholimi sampai menang, (4) doa’nya orang yang sakit sampai sembuh, (5) doa’nya orang untuk saudara yang jauh.
Keempat, dari pada keutamaan dan kemuliaan orang yang mengerjakan ibadah haji adalah harta yang dikeluarkan untuk mengerjakan ibadah haji baik untuk ongkos ataupun biaya hidup di tanah suci semuanya termasuk infaq fi sabilillah
Sebagaimana sabda Rasulullah ;
النفقة فى الحج كالنفقة فى سببيل الله , الدرهم بسعمائة ضعف
Nafaqah di dalam mengerjakan ibadah haji seperti nafaqah waktu perang menegakkan kalimat Allah , satu dirham dilipatgandakan menjadi 700 kali lipat.
Maka dari itu harta yang digunakan oleh orang yang mengerjakan haji kalau ingin hajinya diterima Allah haruslah harta yang halal bukan yang syubhat apalagi haram.
Kelima, orang yang mengerjakan ibadah haji bisa memberi syafa’at kepada 400 dari keluarganya , Rasulullah telah bersabda ;
الحاج يشفع فى أربعمائة من أهل بيته
Keenam, mereka akan selalu didoa’kan Rasulullah dengan diampuninya dosa-dosa mereka dan juga Rasulullah menyuruh umatnya yang tidak mengerjakan ibadah haji tahun ini supaya minta doa kepada mereka.
Sebagaimana doa’ Rasulullah kepada mereka :
اللهم اغفر للحاج و لمن استغفر له الحاج
Masih banyak lagi keutaman dan keistimewaan bagi mereka yang mendapatkan panggilan Nabi Ibrahim untuk menjadi tamu Allah yang belum disebutkan dalam tulisan ini, dengan harapan dan doa’ mudah-mudahan kita semua yang belum bisa melaksanakannya tahun ini bisa melaksanakannya pada tahun yang akan datang amin ya robbal alamin.
Dan jangan sampai kita termasuk sabda Rasulullah :
من ملك زادا و راحلة تُبَلِّغُه الى بيت الله و لم يحج فلا عليه أن يموت يهوديا أو نصرنيا .
Barang siapa yang memiliki kemampuan harta dan kendaraan yang bisa menyampaikannya ke Baitullah dan dia tidak mengerjakannya, maka ditakutkan matinya dalam keadaan yahudi atau nasrani.
Sesat Karena Takabur
Mengelola hati membutuhkan perangkat-perangkat ilmu. Seorang muslim yang kehilangan perangkat tersebut, bisa dipastikan terjebak dalam persepsi yang menyesatkan. Salah satunya bangga diri (ujub) dan sombong (kibr). Seseorang yang terperangkap dalam kubangan ini akan sulit menerima kebenaran, walau al-haq itu bagaikan terangnya sinar matahari di siang bolong. Untuk itu, setiap muslim wajib mempelajari trik mengelola hati. Lebih-lebih pemimpin, yang menjadi teladan umat.
Ujub dan Kibr, adalah dua sifat iblis yang saling berkorelasi. Seseorang yang sombong, pada mulanya berawal dari bangga diri. Orang yang merasa dirinya suci, dan bersih dari segala kekurangan, memandang orang lain dengan pandangan hina.
Mengelola hati membutuhkan perangkat-perangkat ilmu. Seorang muslim yang kehilangan perangkat tersebut, bisa dipastikan terjebak dalam persepsi yang menyesatkan. Salah satunya bangga diri (ujub) dan sombong (kibr). Seseorang yang terperangkap dalam kubangan ini akan sulit menerima kebenaran, walau al-haq itu bagaikan terangnya sinar matahari di siang bolong. Untuk itu, setiap muslim wajib mempelajari trik mengelola hati. Lebih-lebih pemimpin, yang menjadi teladan umat.
Ujub dan Kibr, adalah dua sifat iblis yang saling berkorelasi. Seseorang yang sombong, pada mulanya berawal dari bangga diri. Orang yang merasa dirinya suci, dan bersih dari segala kekurangan, memandang orang lain dengan pandangan hina.
Sombong dan bangga diri disebut sifat iblis, karena iblislah makhluk Allah yang pertama kali menurunkan sifat tercela ini. Iblis awalnya makhluk Allah yang taat menghamba pada-Nya dalam waktu yang cukup lama. Namun, mengapa Allah akhirnya melaknat, mengusir dari sorga dan menyumpahinya menjadi penghuni neraka? Iblis adalah tipe makhluk yang sombong, merasa lebih mulia dari Adam as.
Manusia yang bertipikal seperti Iblis, sangat rentan pada kesesatan. Iblis sebenarnya ahli ibadah, tapi ia adalah makhluk yang sombong tapi dangkal ilmunya. Orang yang sombong pasti ilmunya tidak akan mengalami kemajuan berarti, karena sudah merasa ilmunya sudah mencapai puncak paling tinggi (top of the top). Ilmu yang hakikatnya masih pada level taman kanak-kanak, tapi dirasa sudah mencapai tingkat doktor. Akibatnya, 'nyanyian' orang disekitarnya tak dihiraukan.
وهم يحسبون أنهم يحسنون صنعا
(Mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya) (QS.Al-Kahfi: 104). Oleh karena itulah Rasulullah mendefinisikan Kibr dengan Bathorul haq wa ghomtu an-Nas (HR. Muslim). (menolak kebenaran dan meremehkan orang lain).
Kebenaran, apapun bentuknya dan siapapun yang menyampaikan wajib diterima dengan lapang hati. Kelapangan hati ini perlu ditanamkan dalam-dalam pada diri pemimpin, da'i atau thalibul 'ilm. Sebab, ujub dan takabur ini biasanya menghinggapi mereka, walau sekecil apapun.
Seseorang yang baru saja mempelajari ilmu, perlu memahami isi hati kecilnya. Suatu saat kadang terbesit dalam hati bahwa ia sudah 'alim, pandai berdalil dan menantang debat. Ibarat orang yang baru mempelajari beberapa jurus bela diri, biasanya ia menantang siapa saja untuk beradu fisik. Padalah masih kelas sabuk putih, yang masih perlu pembenahan di sana-sini.
Belajar ilmu agama juga demikian, pada fase-fase awal, sering terjatuh pada kekeliruan. Hal ini adalah wajar. Sikap yang tidak sehat adalah, menolak kritikan dan nasehat saat ia melakukan kesalahan. Oleh karenanya ia harus siap menerima masukan dan peringatan orang lain – yang kadangkala masukan itu terasa pahit tapi sebenarnya manis bila sudah merasuk hati.
Setan tidak akan diam melihat seorang awam belajar agama. Ia tida rela ilmu dan imannya setiap waktu meningkat. Salah satu caranya, membisikkan bahwa si awam telah menjadi 'alim, tidak perlu belajar banyak lagi, dan tidak butuh nasehat orang lain.
Setan memang selalu menggiring manusia kepada hal-hal yang berbau instan, membisikkan mimpi-mimpi indah. Menjadi orang 'alim dalam waktu yang singkat., meraih gelar ustadz atau kiai dengan mudah dan cepat. Tidak perlu belajar itu Minal mahdi ila al-lahdi . Tapi cukup mengikuti traning singkat dan audisi. Setelah lolos audisi, orang-orang memanggilnya ustadz atau kyai.
Akibat dari cara-cara yang instan ini, ia tidak sempat mempelajari ilmu dan penyakit hati. Tidak akan ada masalah bila, sang da'i tadi terus belajar di tengah kesibukannya berdakwah. Yang menjadi problem adalah, bila sudah merasa menjadi juru dakwah ia enggan menyempurnakan ilmu, anti kritik, dan merasa sudah top. Imam al-Ghazali menyatakan, orang bodoh adalah orang yang merasa dirinya paling pintar.
Bagaimana bila ada orang yang ilmunya bertambah takaburnya menjadi-jadi? Salah satu sebabnya menurut al-Ghazali karena ia mendalami ilmu agama saat hatinya kotor. Rajin mengaji tapi maksiat jalan terus. Maka solusinya ia harus mujahadah, membersihkan kotoran-kotoran hati dan membenahi akhlak lebih dahulu. Atau niat awalnya sudah salah. Menuntut ilmu dengan niat mencari pengaruh, jabatan dan harta atau menjadi ustadz biar kaya. Dan fenomena ini agaknya sudah menjadi tren saat ini.
Lantas bagaimana menyembuhkan penyakit ujub dan takabur ini? Kesombongan dan ujub, biasanya disebabkan oleh faktor nasab, ketampanan, kekayaan dan ilmu. Untuk soal nasab, seorang muslim harus sadar bahwa semulia apapun nasab ayah atau kakek, semuanya berasal dari cairan yang hina dan dari tempat yang rendah yaitu tanah.
Sombong karena ilmu merupakan satu bentuk kesombongan yang paling dahsyat daya rusaknya – yang rumit untuk menyembuhkannya. Banyak kasus seorang 'alim jatuh pada kesesatan karena faktor ini. Model kesombongan seperti ini butuh usaha dan niat yang sungguh-sungguh. Maka orang yang berilmu mesti harus mengetahui dua hal; pertama, kesadaran bahwa tanggung jawab 'alim di hadapan Allah lebih berat. Seorang 'alim yang durhaka dengan ilmunya lebih buruk daripada orang bodoh yang maksiat. Seorang kiai dan orang bodoh yang sama-sama berzina, siksanya lebih pedih seorang kiai. Kedua, bahwa sifat sombong itu hanya milik Allah. Makhluk lainnya tidak berhak bertakabur. Bila seseorang itu bertakabur, maka sesungguhnya ia telah merampas hak Allah. Bagaimana Allah tidak murka dengan orang seperti ini?
Tapi secara umum, Imam al-Ghazali memberi beberapa petunjuk sebagai berikut; Yaitu, adanya sinergi atau kombinasi antara ilmu dan amal. Seorang muslim hendaknya menyadari hakikat diri dan hakikat Allah (ma'rifatullah). Hakikat manusia adalah makhluk hina. Ia dilahirkan dari sesuatu yang hina (QS. Al-Insan: 1-2). Saat lahir, ia sama sekali tidak memiliki apa-apa dan lemah. Semua kepandaian, kecerdasan dan keluasan ilmu semuanya dari Allah. Sedangkan Allah SWT adalah dzat yang serba sempurna. Dialah yang berhak sombong.
Adapun penyembuhan dengan amal dapat dilakukan dengan melatih diri menjadi orang tawadhu', setinggi apapun ilmunya. Rasulullah SAW telah memberi teladan yang luar biasa dalam hal ini. Beliau adalah manusia yang paling mulia. Tapi, Rasulullah SAW adalah tipe pemimpin yang merakyat. Ia tak segan bergumul dengan orang-orang miskin. Dalam satu riwayat beliau sampai-sampai pernah makan di atas tanah tanpa alas bersama sahabat. Seorang ulama' salaf pernah melatih diri dengan makan dan ngobrol bersama para penjual di emperan pasar. Padahal ia sangat terpandang di mata umat. Hal ini dilakukannya semata-mata demi menyingkirkan sifat kibr yang hinggap di hatinya.
Melatih hidup sederhana inilah yang kadang sulit dilakukan pemimpin. Membiasakan diri dengan sesuatu yang dipandang rendah ini akan melunturkan sifat sombong dan bangga diri dalam hatinya. Semuanya tergantung kesediaan diri, adakah kerelaan dari para pemimpin, dan juru dakwah untuk, bersahaja, terbuka menerima kebenaran (menerima kritik dan masukan), merakyat, dan dekat dengan umat. Sebaliknya orang yang menutup diri, tidak jujur dan egois biasanya mudah diombang-ambingkan oleh kesesatan, dan mudah tergoda oleh harta, jabatan dan prestasi. KH
Ujub dan Kibr, adalah dua sifat iblis yang saling berkorelasi. Seseorang yang sombong, pada mulanya berawal dari bangga diri. Orang yang merasa dirinya suci, dan bersih dari segala kekurangan, memandang orang lain dengan pandangan hina.
Mengelola hati membutuhkan perangkat-perangkat ilmu. Seorang muslim yang kehilangan perangkat tersebut, bisa dipastikan terjebak dalam persepsi yang menyesatkan. Salah satunya bangga diri (ujub) dan sombong (kibr). Seseorang yang terperangkap dalam kubangan ini akan sulit menerima kebenaran, walau al-haq itu bagaikan terangnya sinar matahari di siang bolong. Untuk itu, setiap muslim wajib mempelajari trik mengelola hati. Lebih-lebih pemimpin, yang menjadi teladan umat.
Ujub dan Kibr, adalah dua sifat iblis yang saling berkorelasi. Seseorang yang sombong, pada mulanya berawal dari bangga diri. Orang yang merasa dirinya suci, dan bersih dari segala kekurangan, memandang orang lain dengan pandangan hina.
Sombong dan bangga diri disebut sifat iblis, karena iblislah makhluk Allah yang pertama kali menurunkan sifat tercela ini. Iblis awalnya makhluk Allah yang taat menghamba pada-Nya dalam waktu yang cukup lama. Namun, mengapa Allah akhirnya melaknat, mengusir dari sorga dan menyumpahinya menjadi penghuni neraka? Iblis adalah tipe makhluk yang sombong, merasa lebih mulia dari Adam as.
Manusia yang bertipikal seperti Iblis, sangat rentan pada kesesatan. Iblis sebenarnya ahli ibadah, tapi ia adalah makhluk yang sombong tapi dangkal ilmunya. Orang yang sombong pasti ilmunya tidak akan mengalami kemajuan berarti, karena sudah merasa ilmunya sudah mencapai puncak paling tinggi (top of the top). Ilmu yang hakikatnya masih pada level taman kanak-kanak, tapi dirasa sudah mencapai tingkat doktor. Akibatnya, 'nyanyian' orang disekitarnya tak dihiraukan.
وهم يحسبون أنهم يحسنون صنعا
(Mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya) (QS.Al-Kahfi: 104). Oleh karena itulah Rasulullah mendefinisikan Kibr dengan Bathorul haq wa ghomtu an-Nas (HR. Muslim). (menolak kebenaran dan meremehkan orang lain).
Kebenaran, apapun bentuknya dan siapapun yang menyampaikan wajib diterima dengan lapang hati. Kelapangan hati ini perlu ditanamkan dalam-dalam pada diri pemimpin, da'i atau thalibul 'ilm. Sebab, ujub dan takabur ini biasanya menghinggapi mereka, walau sekecil apapun.
Seseorang yang baru saja mempelajari ilmu, perlu memahami isi hati kecilnya. Suatu saat kadang terbesit dalam hati bahwa ia sudah 'alim, pandai berdalil dan menantang debat. Ibarat orang yang baru mempelajari beberapa jurus bela diri, biasanya ia menantang siapa saja untuk beradu fisik. Padalah masih kelas sabuk putih, yang masih perlu pembenahan di sana-sini.
Belajar ilmu agama juga demikian, pada fase-fase awal, sering terjatuh pada kekeliruan. Hal ini adalah wajar. Sikap yang tidak sehat adalah, menolak kritikan dan nasehat saat ia melakukan kesalahan. Oleh karenanya ia harus siap menerima masukan dan peringatan orang lain – yang kadangkala masukan itu terasa pahit tapi sebenarnya manis bila sudah merasuk hati.
Setan tidak akan diam melihat seorang awam belajar agama. Ia tida rela ilmu dan imannya setiap waktu meningkat. Salah satu caranya, membisikkan bahwa si awam telah menjadi 'alim, tidak perlu belajar banyak lagi, dan tidak butuh nasehat orang lain.
Setan memang selalu menggiring manusia kepada hal-hal yang berbau instan, membisikkan mimpi-mimpi indah. Menjadi orang 'alim dalam waktu yang singkat., meraih gelar ustadz atau kiai dengan mudah dan cepat. Tidak perlu belajar itu Minal mahdi ila al-lahdi . Tapi cukup mengikuti traning singkat dan audisi. Setelah lolos audisi, orang-orang memanggilnya ustadz atau kyai.
Akibat dari cara-cara yang instan ini, ia tidak sempat mempelajari ilmu dan penyakit hati. Tidak akan ada masalah bila, sang da'i tadi terus belajar di tengah kesibukannya berdakwah. Yang menjadi problem adalah, bila sudah merasa menjadi juru dakwah ia enggan menyempurnakan ilmu, anti kritik, dan merasa sudah top. Imam al-Ghazali menyatakan, orang bodoh adalah orang yang merasa dirinya paling pintar.
Bagaimana bila ada orang yang ilmunya bertambah takaburnya menjadi-jadi? Salah satu sebabnya menurut al-Ghazali karena ia mendalami ilmu agama saat hatinya kotor. Rajin mengaji tapi maksiat jalan terus. Maka solusinya ia harus mujahadah, membersihkan kotoran-kotoran hati dan membenahi akhlak lebih dahulu. Atau niat awalnya sudah salah. Menuntut ilmu dengan niat mencari pengaruh, jabatan dan harta atau menjadi ustadz biar kaya. Dan fenomena ini agaknya sudah menjadi tren saat ini.
Lantas bagaimana menyembuhkan penyakit ujub dan takabur ini? Kesombongan dan ujub, biasanya disebabkan oleh faktor nasab, ketampanan, kekayaan dan ilmu. Untuk soal nasab, seorang muslim harus sadar bahwa semulia apapun nasab ayah atau kakek, semuanya berasal dari cairan yang hina dan dari tempat yang rendah yaitu tanah.
Sombong karena ilmu merupakan satu bentuk kesombongan yang paling dahsyat daya rusaknya – yang rumit untuk menyembuhkannya. Banyak kasus seorang 'alim jatuh pada kesesatan karena faktor ini. Model kesombongan seperti ini butuh usaha dan niat yang sungguh-sungguh. Maka orang yang berilmu mesti harus mengetahui dua hal; pertama, kesadaran bahwa tanggung jawab 'alim di hadapan Allah lebih berat. Seorang 'alim yang durhaka dengan ilmunya lebih buruk daripada orang bodoh yang maksiat. Seorang kiai dan orang bodoh yang sama-sama berzina, siksanya lebih pedih seorang kiai. Kedua, bahwa sifat sombong itu hanya milik Allah. Makhluk lainnya tidak berhak bertakabur. Bila seseorang itu bertakabur, maka sesungguhnya ia telah merampas hak Allah. Bagaimana Allah tidak murka dengan orang seperti ini?
Tapi secara umum, Imam al-Ghazali memberi beberapa petunjuk sebagai berikut; Yaitu, adanya sinergi atau kombinasi antara ilmu dan amal. Seorang muslim hendaknya menyadari hakikat diri dan hakikat Allah (ma'rifatullah). Hakikat manusia adalah makhluk hina. Ia dilahirkan dari sesuatu yang hina (QS. Al-Insan: 1-2). Saat lahir, ia sama sekali tidak memiliki apa-apa dan lemah. Semua kepandaian, kecerdasan dan keluasan ilmu semuanya dari Allah. Sedangkan Allah SWT adalah dzat yang serba sempurna. Dialah yang berhak sombong.
Adapun penyembuhan dengan amal dapat dilakukan dengan melatih diri menjadi orang tawadhu', setinggi apapun ilmunya. Rasulullah SAW telah memberi teladan yang luar biasa dalam hal ini. Beliau adalah manusia yang paling mulia. Tapi, Rasulullah SAW adalah tipe pemimpin yang merakyat. Ia tak segan bergumul dengan orang-orang miskin. Dalam satu riwayat beliau sampai-sampai pernah makan di atas tanah tanpa alas bersama sahabat. Seorang ulama' salaf pernah melatih diri dengan makan dan ngobrol bersama para penjual di emperan pasar. Padahal ia sangat terpandang di mata umat. Hal ini dilakukannya semata-mata demi menyingkirkan sifat kibr yang hinggap di hatinya.
Melatih hidup sederhana inilah yang kadang sulit dilakukan pemimpin. Membiasakan diri dengan sesuatu yang dipandang rendah ini akan melunturkan sifat sombong dan bangga diri dalam hatinya. Semuanya tergantung kesediaan diri, adakah kerelaan dari para pemimpin, dan juru dakwah untuk, bersahaja, terbuka menerima kebenaran (menerima kritik dan masukan), merakyat, dan dekat dengan umat. Sebaliknya orang yang menutup diri, tidak jujur dan egois biasanya mudah diombang-ambingkan oleh kesesatan, dan mudah tergoda oleh harta, jabatan dan prestasi. KH
Tinjauan Hukum Mencela Sahabat
Dalam sebuah majelis jamuan makan, berjalan sebuah diskusi yang cukup menarik tentang peradaban Islam. Tiba-tiba salah satu peserta diskusi berkata: “Abu Bakar, Umar dan Usman itu adalah pengkhianat kekhalifahan setelah Rasulullah. Mereka merebut tampuk kekhalifahan dari Sayyidina Ali ra. Laknat atas mereka!” Demikian, cacian, makian dan laknat terhadap sahabat itu kerap ditemukan di beberapa majelis yang mengatasnamakan pengajian pecinta ahlul bait.
Dalam akidah Islam yang benar, membenci sesama muslim bahkan memutuskan hubungan dengannya adalah aktifitas yang diharamkan. Mencela seorang muslim adalah sebuah perbuatan fasik dan menghalalkan peperangan dengan mereka adalah perbuatan kafir.
Dalam sebuah majelis jamuan makan, berjalan sebuah diskusi yang cukup menarik tentang peradaban Islam. Tiba-tiba salah satu peserta diskusi berkata: “Abu Bakar, Umar dan Usman itu adalah pengkhianat kekhalifahan setelah Rasulullah. Mereka merebut tampuk kekhalifahan dari Sayyidina Ali ra. Laknat atas mereka!” Demikian, cacian, makian dan laknat terhadap sahabat itu kerap ditemukan di beberapa majelis yang mengatasnamakan pengajian pecinta ahlul bait.
Dalam akidah Islam yang benar, membenci sesama muslim bahkan memutuskan hubungan dengannya adalah aktifitas yang diharamkan. Mencela seorang muslim adalah sebuah perbuatan fasik dan menghalalkan peperangan dengan mereka adalah perbuatan kafir.
Hadis yang cukup menjelaskan topik tersebut adalah hadis yang menceritakan Sayyidina Khalid bin Walid ra ketika bersama Sariyyah (pasukan perang yang dipimpin Rasulullah SAW untuk mendakwahkan Bani Judzaimah ke jalan Islam. Tatkala Khalid sampai pada Bani Judaimah, mereka menyambut kedatangan Khalid, maka berkatalah Khalid kepada mereka: "Berislamlah kalian!". Mereka menjawab: "Kami ini adalah orang muslim". Kemudian Khalid berkata: "(kalau begitu) lemparkan senjata-senjata kalian!". Mereka menjawab lagi,"Tidak! Demi Allah kalau kami meletakkan senjata, nanti akan terjadi pembunuhan (pada kami). Dan kami tidak percaya kepadamu dan juga pada pasukanmu".
Dengan dialog tersebut akhirnya Khalid memtuskan untuk berkata: "(Jika demikian), maka tidak ada jaminan bagi kalian (untuk tidak kami perangi), kecuali kalian bersedia melucuti senjata kalian". Akhirnya sebagian dari mereka mau melucuti senjata, dan sebagian lagi bercerai-berai.
Dalam riwayat yang lain disebutkan sebagai berikut; telah sampai Khalid pada kaum itu, dan mereka menyambutnya (sambil bersenjata). Maka Khalid berkata: "Siapa kalian?". Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang muslim, kami telah melaksanakan shalat dan kami benarkan Muhammad SAW. Kami juga membangun masjid-masjid di tempat kami, dan juga beradzan untuk memanggil orang untuk shalat". Ketika Khalid mengucapkan pertanyaan dengan kasar, "Kalian ini muslim atau kafir?", maka akhirnya mereka tidak berbuat baik terhadap ucapan keislaman mereka dan berkata: "Kalau demikian, kami keluar saja dari Islam". Khalid menimpali "Untuk apa kalian membawa senjata"? Mereka menjawab: "Sesungguhnya antara kami dengan kaum yang lain dari kalangan bangsa Arab memiliki permusuhan dan kami khawatir bahwa engkau termasuk dari mereka (bangsa Arab). Oleh karena itu kami sekarang memegang senjata".
"Jika demikian, letakkan senjata kalian", perintah Khalid. Akhirnya mereka meletakkan senjata tersebut. Kemudian Khalid berkata: "Menyerahlah kalian untuk menjadi tawanan kami". Latas sebagian mereka menyerahkan diri seraya meletakkan tangan-tangan mereka di pundaknya (sehingga perasaan jengkel terhdap Khalid bertambah kuat).
Akhirnya Khalid membagi tawanan kepada para sahabat yang ikut dengannya. Ketika waktu menjelang subuh tiba, berserulah ajudan Khalid, "Barang siapa yang membawa tawanan, supaya membunuhnya". Maka Bani Sulaim yang ikut rombongan perang Khalid membunuh tawanan yang ikut bersamanya. Sedangkan orang-orang Muhajirin dan Anshar melepaskan tawanan tersebut (tidak membunuh). Ketika kejadian tersebut sampai pada Rasulullah SAW, beliau bersabda: "Ya Allah, sesungguhnya saya berlepas tangan pada-Mu dari perbuatan Khalid tersebut". Beliau mengulanginya sampai tiga kali.
Ada yang berpendapat (terhadap peristiwa Khalid tersebut) dengan mengatakan bahwa menurut pemahaman Khalid, perkataan mereka yang berbunyi ”Kalau begitu kami keluar dari Islam" adalah suatu kesombongan bagi mereka yang menganggap diri mereka sudah besar dan kuat. Serta tidak adanya ketundukan terhadap Islam (sehingga akhirnya Khalid memutuskan untuk menawan mereka).
Sedangkan pengingkaran Rasulullah SAW terhadap kejadian tersebut disebabkan karena ketergese-gesaan Khalid dalam mengambil keputusan tanpa ada penelitian terlebih dahulu terhadap perkara yang dialaminya. Padahal pada kesempatan lain, Rasul pernah memuji Khalid dengan mengatakan; "Sebagus-bagusnya hamba Allah dari rumpun Arab Khalid bin Walid, dia adalah pedang dari sekian pedang-pedang Allah, yang Allah menghunusnya terhadap orang-orang kafir dan munafik".
Maksud keterangan tersebut adalah, bahwa kesalahan yang dilakukan Khalid bukan merupakan kesalahan fatal, tetapi kesalahan dalam menentukan prioritas. Mana yang terbaik yang seharusnya dilakukan oleh Khalid, dengan indikasi perkataan Rasulullah, bahwa Khalid adalah sebagus-bagus hamba Allah. Sehingga tidak mungkin akan melakukan aktifitas yang kesalahannya fatal dan mengakibatkan ia kufur.
Demikian juga kisah Sayyidina Usamah bin Zaid, seorang yang dicintai Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, dan anak dari sahabat yang dicintai Rasulullah yaitu Zaid bin Haritsah. Seperti yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Sofyan, ia berkata: "Saya mendengar Usamah bin Zaid berkata; Rasulullah mengutus kami ke Huraqah. Kemudian kami menyerang kaum itu pagi-pagi sekali, sehingga bisa mengalahkan mereka. (Ketika itu) saya dan seorang laki-laki dari kalangan Anshar mengejar laki-laki kaum itu. Tatkala kami bisa menyergapnya maka ia berkata, Laa ilaha illallah kemudian ia mencegah/menahan supaya laki-laki Huraqah tersebut tidak dibunuh, karena sudah mengucapkan tahlil. Namun saat itu juga saya menusuknya dengan tombak sehingga ia mati.
Ketika berita tersebut sampai pada Rasulullah SAW, beliau bersabda:"Wahai Usamah, adakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa ilaha illah?", saya jawab, "Ia hanya berlindung dari ucapan itu". Namun Rasulullah selalu mengulang terus pertanyaan tersebut, sehingga saya menganggap bahwa pada hari itu saya bukan Islam lagi (karena melakukan kesalahan).
Dan dalam riwayat yang lain, Rasul bersabda kepadanya, ”Mengapa tidak kamu bedah saja hatinya, sehingga engkau bisa mengetahui apakah ia jujur atau bohong (terhadap ucapan itu). Maka Usamah berkata: "Saya tidak akan memerangi orang-orang yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah".
Riwayat yang juga termasuk menjelaskan topik ini adalah jawaban Ali radhiallahu ‘anhu. Ketika ditanya tentang orang-orang yang menentangnya, apakah kelompok mereka disebut kufur? Ali menjawab, "Tidak". Karena mereka jauh dan berlari dari sifat kufur". Apakah mereka munafik? Ali menjawab, "Juga tidak". Karena orang-orang munafik tidak berdzikir sangat banyak pada Allah". Kalau begitu, apa posisi mereka?, maka Ali menjawab, "Mereka adalah kaum yang tertimpa fitnah, sehingga mereka buta dan tuli dari kebenaran".
Taudhih (Penjelasan)
Mencela seseorang muslim adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah. Karena perbuatan tersebut mampu memecah belah ukhuwah Islamiyah yang seharusnya dibangun oleh Abnaul Islam, agar kekuatan Islam bisa menyingkirkan ideologi-ideologi selain Islam, seperti sosialis dan kapitalis.
Ukhuwah yang telah menjadi kekuatan umat Islam tersebut diketahui oleh dunia Barat (sosialis dan kapitalis) dan sekaligus mereka paham akan kelemahan umat Islam. Yaitu, kerapuhan pemikiran umat Islam, sehingga dapat mempengaruhi kerapuhan ukhuwah Islamiyah. Dari kelemahan umat Islam ini akhirnya mereka mengadu-domba dengan berbagai macam dalih. Apakah untuk menjaga perdamaian dunia atau dengan dalih memerangi teroris dan penjahat-penjahat dunia yang kesemuanya itu diarahkan pada negeri-negeri muslim yang tidak bersedia tunduk pada "dajjal modern", yaitu Amerika. Maka lahirlah peperangan antara negeri-negeri muslim yang semuanya didalangi oleh Amerika dan sekutunya. Penjajahan di Irak, Afghanistan, dan hegemoni Barat hampir mencakup seluruh dunia Islam saat ini.
Mereka menebar benih permusuhan antara negeri-negeri yang ada di Timur Tengah dengan dalih menjadi juru damai antara Palestina dan Israel. Yang berakibat semakin merenggangnya hubungan negara-negara Islam di Timur Tengah.
Demikianlah, makar-makar Yahudi dan Nasrani yang berusaha menghapus ide-ide Islam di dunia internasional ini diawali dengan menghancurkan puing-puing ukhuwah islamiyah. Namun jika umat Islam sadar akan kesalahannya, dan bersedia untuk membangun kembali puing-puing ukhuwah islamiyah tersebut, dan bersungguh-sungguh maka Allah akan menghancurkan makar-makar mereka. Karena Dialah sebaik-baik pembuat makar. Sebagaimana firman-Nya dalam QS.Ali Imran: 54:
"Mereka itu membuat makar, dan Allah (membalasnya) dengan makar-Nya, dan Allah lah sebaik-baik pembuat makar".
Allah sendiri telah memberi jalan kepada manusia untuk membangun puing-puing ukhuwah Islamiyah, dengan jalan berikut:
Pertama, Mengadakan Islah, perbaikan di antara yang bertikai, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Hujarat ayat 10:
Sesungguhnya hanya orang-orang yang beriman saja yang bersaudara, maka damaikanlah di antara saudara-saudaramu.
Sedangkan Islah atau perdamaian tidak akan mungkin bisa terjadi, kecuali mengikuti aturan berikut: Perdamaian itu harus berprinsip adil. Yang dimaksud adil di sini adalah sesuai dengan tuntutan syara' yang di dalamnya pasti mengandung maslahat, sebab di mana ada syara' di situ ada maslahat. Allah telah berfirman dalam surat al-Hujarat: 9
"Hendaklah kamu damaikan keduanya dengan prinsip adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil". Dan Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di dunia akan berada di mimbar-mimbar yang terbuat dari permata di hadapan Allah, karena aktifitas adilnya yang dilakukan di dunia"(HR. Ibnu Hasim dan an-Nasa'i).
Kedua, membangun kesamaan dalam pemikiran (konsep-konsep) Islam yang mendasar, sehingga bisa melahirkan kesamaan akan perasaan berislam, dan juga melahirkan kesamaan perasaan cemburu jika Islam dihina. Sehingga yang terjadi adalah tolong-menolong dalam kebaikan pada diri umat Islam. Inilah yang akan memperkuat ukhuwah islamiyah. Lihat QS. Al-Maidah:2.
Ketiga, meningkatkan rasa takwa pada Allah, sebab dengan demikian akan membuat manusia (umat Islam) takut untuk melanggar aturan-aturan Allah. Yang akhirnya akan dapat membedakan mana yang seharusnya sebagai lawan dan sebagai saudara. Lihat QS. Al-hujarat:10.
Ketiga, tidak melakukan hal-hal yang bersifat mencela/meremehkan kelompok lain sesama Islam, dan tidak memanggil dengan sebutan yang tidak disenangi, sebab bisa jadi yang meremehkan itu lebih tercela dari pada yang dicela. Lihat QS. Al-Hujarat: 11.
Keempat, menjauhi sifat su'udzan, ghibah, fitnah, memata-matai untuk mencari kelemahan pada orang lain. Lihat QS. Al-Hujarat:13.
Dari uraian tersebut, bisa disimpulkan bahwa:
a.Orang yang mengucap kalimat syahadat tidak boleh diperangi.
b.Orang yang mengucapkan kalimah syahadat (asalkan tidak merusak akidahnya dengan keyakinan lain) dengan keyakinan dan pembenaran yang pasti, maka ia akan masuk surga, meskipun mengerjakan perbuatan maksiat (walau masih 'mampir' ke neraka) untuk membersihkan maksiat yang dilakukan karena lalai, lupa atau kebodohannya tentang hukum Allah.
Hal ini berdasarkan hujjah sebagai berikut: Bahwa Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda: "Dzalim itu ada tiga, yaitu dzalim yang tidak diampuni Allah, dzalim yang diampuni-Nya, serta dzalim yang tidak meninggalkan darinya pada sesuatu apapun".
Dzalim yang tidak diampuni oleh Allah adalah syirik, menyekutukan Allah dengan yang lain, sesuai firman-Nya Surat Lukman:13:
"Sesungguhnya syirik itu adalah kedzaliman yang besar". Dan termasuk dalam kategori dzalim di atas adalah bertahkim pada hukum-hukum selain yang dibuat Allah, mencampur sebagian dan membuang sebagian yang lain dari hukum Allah. Dalam kondisi ini tidak diampuni dosa-dosa mereka meskipun mereka shalat, puasa dan haji. Karena mereka telah mensyirikkan dan menentang hukum Allah, Allah SWT berfirman: "Barang siapa yang tidak bertahkim dengan hukum Allah maka mereka termasuk orang-orang kafir".(QS. Al-Ma'idah: 44).
Dalam surat an-Nisa': 60 Allah berfirman: ”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim kepada taghut (selain hukum Islam). Padahal mereka diperintah untuk mengikarinya". Dalam surat an-Nisa': 150-151 Allah azza wa jalla berfirman: "…Mereka berkata, kami beriman kepada yang sebagian dan kafir kepada sebagian yang lain…" "Mereka itu adalah orang-orang kafir yang sebenarnya…".
Dzalim yang bisa diampuni Allah adalah dzalimnya hamba terhadap Allah dengan melakukan maksiat karena lalai dan kealpaan atau kebodohannya. Selama tidak menggunakan keyakiannnya pada kalimat Laa ilaha illallah. Maka dzalim seperti ini masih termasuk ahli surga, meskipun harus 'mampir dulu di neraka dahulu. Diriwayatkan Syaikhan dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah bersabda: "Tidak seorang hamba pun yang berkata Laa ilaha illallah, kemudian ia mati tetap pada perkataan tersebut, kecuali ia masuk surga. Saya berkata:Meskipun berzina dan mencuri? Rasulullah menjawab: Meskipun berzina dan mencuri. Saya berkata lagi: meskipun berzina dan mencuri? Rasulullah menjawab:meskipun berzina dan mencuri (sampai tiga kali). Dan berkata Rasulullah yang keempat kalinya: meskipun Abu Dzar terpaksa yang demikian itu.. Dalam riwayat lain disebutkan: "Barang siapa yang mati dan dia tahu bahwa tiada tuhan kecuali Allah, maka ia masuk surga" (HR.Muslim).
Oleh karena itu, seorang muslim yang sejati harus mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya secara menyeluruh, sehingga bisa masuk surga tanpa 'mampir' ke neraka.
Dzalim yang ketiga adalah berkaitan dengan kedzaliman hamba yang satu dengan hamba yang lain. Sehingga saling menghinakan satu sama lain. Dalam kondisi ini saling memaafkan dan saling menghormati akan menghilangkan dosa dzalim tersebut.
Demikianlah hujjah dari kesimpulan di atas, bahwa tidak diperkenankan bagi kita untuk memerangi orang-orang Islam yang masih meyakini Laa ilaha illallah. Namun jika melihat fakta yang ada sekarang ini, banyak sekali orang-orang yang mengaku Islam, meskipun ideologi mereka adalah ideologi kapitalis dan sosialis atau dicampurkan dengan lainnya. Maka sikap kita pada mereka adalah memastikan mereka sebagai orang kufur, karena telah menafikan hukum-hukum Allah serta mencampur dengan hukum mereka. Sebagai hamlud da'wah hendaknya kita berusaha untuk berjidal dengan mereka guna mematikan argumentasi-argumentasinya dan membuat argumentasi yang kuat yang berdasarkan syari'at Islam. Dan tidak melakukan peperangan kecuali:
Diperintah oleh Amirul Mu'minin (Penguasa Islam). Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar untuk memerangi pembangkang-pembangkang yang tidak mau membayar zakat.
Jika mereka menyerang kita, maka kita wajib mempertahankan diri dan menyerang balik kepada mereka.
Adapun peperangan yang dilakukan oleh para sahabat (Ali dan Mu'awiyah, Ali dengan 'Aisyah) maka dalam hal ini ulama-ulama' Sunni berpendapat agar tidak mengomentari peperangan mereka, sebagaimana yang telah dikatakan Imam Abu Hanifah, Hasan al-Bashri dan Umar bin Abdul Aziz, di antara mereka berkata: "Itulah darah-darah yang telah tertumpah yang Allah membersihkan tanganku dari pada percikannya, maka tidaklah aku suka darah itu melumuri lidahku". Dan juga ahli hikmah mengatakan: "Dan apa yang terjadi diantara sahabat, kami memilih sikap diam". KH
Sumber: CD ceramah Posisi dan Peran Sahabat Nabi SAW oleh Prof. DR. Sayid Muhammad Al-Maliki & Jurnal Keislaman Bayan,
Dalam akidah Islam yang benar, membenci sesama muslim bahkan memutuskan hubungan dengannya adalah aktifitas yang diharamkan. Mencela seorang muslim adalah sebuah perbuatan fasik dan menghalalkan peperangan dengan mereka adalah perbuatan kafir.
Dalam sebuah majelis jamuan makan, berjalan sebuah diskusi yang cukup menarik tentang peradaban Islam. Tiba-tiba salah satu peserta diskusi berkata: “Abu Bakar, Umar dan Usman itu adalah pengkhianat kekhalifahan setelah Rasulullah. Mereka merebut tampuk kekhalifahan dari Sayyidina Ali ra. Laknat atas mereka!” Demikian, cacian, makian dan laknat terhadap sahabat itu kerap ditemukan di beberapa majelis yang mengatasnamakan pengajian pecinta ahlul bait.
Dalam akidah Islam yang benar, membenci sesama muslim bahkan memutuskan hubungan dengannya adalah aktifitas yang diharamkan. Mencela seorang muslim adalah sebuah perbuatan fasik dan menghalalkan peperangan dengan mereka adalah perbuatan kafir.
Hadis yang cukup menjelaskan topik tersebut adalah hadis yang menceritakan Sayyidina Khalid bin Walid ra ketika bersama Sariyyah (pasukan perang yang dipimpin Rasulullah SAW untuk mendakwahkan Bani Judzaimah ke jalan Islam. Tatkala Khalid sampai pada Bani Judaimah, mereka menyambut kedatangan Khalid, maka berkatalah Khalid kepada mereka: "Berislamlah kalian!". Mereka menjawab: "Kami ini adalah orang muslim". Kemudian Khalid berkata: "(kalau begitu) lemparkan senjata-senjata kalian!". Mereka menjawab lagi,"Tidak! Demi Allah kalau kami meletakkan senjata, nanti akan terjadi pembunuhan (pada kami). Dan kami tidak percaya kepadamu dan juga pada pasukanmu".
Dengan dialog tersebut akhirnya Khalid memtuskan untuk berkata: "(Jika demikian), maka tidak ada jaminan bagi kalian (untuk tidak kami perangi), kecuali kalian bersedia melucuti senjata kalian". Akhirnya sebagian dari mereka mau melucuti senjata, dan sebagian lagi bercerai-berai.
Dalam riwayat yang lain disebutkan sebagai berikut; telah sampai Khalid pada kaum itu, dan mereka menyambutnya (sambil bersenjata). Maka Khalid berkata: "Siapa kalian?". Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang muslim, kami telah melaksanakan shalat dan kami benarkan Muhammad SAW. Kami juga membangun masjid-masjid di tempat kami, dan juga beradzan untuk memanggil orang untuk shalat". Ketika Khalid mengucapkan pertanyaan dengan kasar, "Kalian ini muslim atau kafir?", maka akhirnya mereka tidak berbuat baik terhadap ucapan keislaman mereka dan berkata: "Kalau demikian, kami keluar saja dari Islam". Khalid menimpali "Untuk apa kalian membawa senjata"? Mereka menjawab: "Sesungguhnya antara kami dengan kaum yang lain dari kalangan bangsa Arab memiliki permusuhan dan kami khawatir bahwa engkau termasuk dari mereka (bangsa Arab). Oleh karena itu kami sekarang memegang senjata".
"Jika demikian, letakkan senjata kalian", perintah Khalid. Akhirnya mereka meletakkan senjata tersebut. Kemudian Khalid berkata: "Menyerahlah kalian untuk menjadi tawanan kami". Latas sebagian mereka menyerahkan diri seraya meletakkan tangan-tangan mereka di pundaknya (sehingga perasaan jengkel terhdap Khalid bertambah kuat).
Akhirnya Khalid membagi tawanan kepada para sahabat yang ikut dengannya. Ketika waktu menjelang subuh tiba, berserulah ajudan Khalid, "Barang siapa yang membawa tawanan, supaya membunuhnya". Maka Bani Sulaim yang ikut rombongan perang Khalid membunuh tawanan yang ikut bersamanya. Sedangkan orang-orang Muhajirin dan Anshar melepaskan tawanan tersebut (tidak membunuh). Ketika kejadian tersebut sampai pada Rasulullah SAW, beliau bersabda: "Ya Allah, sesungguhnya saya berlepas tangan pada-Mu dari perbuatan Khalid tersebut". Beliau mengulanginya sampai tiga kali.
Ada yang berpendapat (terhadap peristiwa Khalid tersebut) dengan mengatakan bahwa menurut pemahaman Khalid, perkataan mereka yang berbunyi ”Kalau begitu kami keluar dari Islam" adalah suatu kesombongan bagi mereka yang menganggap diri mereka sudah besar dan kuat. Serta tidak adanya ketundukan terhadap Islam (sehingga akhirnya Khalid memutuskan untuk menawan mereka).
Sedangkan pengingkaran Rasulullah SAW terhadap kejadian tersebut disebabkan karena ketergese-gesaan Khalid dalam mengambil keputusan tanpa ada penelitian terlebih dahulu terhadap perkara yang dialaminya. Padahal pada kesempatan lain, Rasul pernah memuji Khalid dengan mengatakan; "Sebagus-bagusnya hamba Allah dari rumpun Arab Khalid bin Walid, dia adalah pedang dari sekian pedang-pedang Allah, yang Allah menghunusnya terhadap orang-orang kafir dan munafik".
Maksud keterangan tersebut adalah, bahwa kesalahan yang dilakukan Khalid bukan merupakan kesalahan fatal, tetapi kesalahan dalam menentukan prioritas. Mana yang terbaik yang seharusnya dilakukan oleh Khalid, dengan indikasi perkataan Rasulullah, bahwa Khalid adalah sebagus-bagus hamba Allah. Sehingga tidak mungkin akan melakukan aktifitas yang kesalahannya fatal dan mengakibatkan ia kufur.
Demikian juga kisah Sayyidina Usamah bin Zaid, seorang yang dicintai Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, dan anak dari sahabat yang dicintai Rasulullah yaitu Zaid bin Haritsah. Seperti yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Sofyan, ia berkata: "Saya mendengar Usamah bin Zaid berkata; Rasulullah mengutus kami ke Huraqah. Kemudian kami menyerang kaum itu pagi-pagi sekali, sehingga bisa mengalahkan mereka. (Ketika itu) saya dan seorang laki-laki dari kalangan Anshar mengejar laki-laki kaum itu. Tatkala kami bisa menyergapnya maka ia berkata, Laa ilaha illallah kemudian ia mencegah/menahan supaya laki-laki Huraqah tersebut tidak dibunuh, karena sudah mengucapkan tahlil. Namun saat itu juga saya menusuknya dengan tombak sehingga ia mati.
Ketika berita tersebut sampai pada Rasulullah SAW, beliau bersabda:"Wahai Usamah, adakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa ilaha illah?", saya jawab, "Ia hanya berlindung dari ucapan itu". Namun Rasulullah selalu mengulang terus pertanyaan tersebut, sehingga saya menganggap bahwa pada hari itu saya bukan Islam lagi (karena melakukan kesalahan).
Dan dalam riwayat yang lain, Rasul bersabda kepadanya, ”Mengapa tidak kamu bedah saja hatinya, sehingga engkau bisa mengetahui apakah ia jujur atau bohong (terhadap ucapan itu). Maka Usamah berkata: "Saya tidak akan memerangi orang-orang yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah".
Riwayat yang juga termasuk menjelaskan topik ini adalah jawaban Ali radhiallahu ‘anhu. Ketika ditanya tentang orang-orang yang menentangnya, apakah kelompok mereka disebut kufur? Ali menjawab, "Tidak". Karena mereka jauh dan berlari dari sifat kufur". Apakah mereka munafik? Ali menjawab, "Juga tidak". Karena orang-orang munafik tidak berdzikir sangat banyak pada Allah". Kalau begitu, apa posisi mereka?, maka Ali menjawab, "Mereka adalah kaum yang tertimpa fitnah, sehingga mereka buta dan tuli dari kebenaran".
Taudhih (Penjelasan)
Mencela seseorang muslim adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah. Karena perbuatan tersebut mampu memecah belah ukhuwah Islamiyah yang seharusnya dibangun oleh Abnaul Islam, agar kekuatan Islam bisa menyingkirkan ideologi-ideologi selain Islam, seperti sosialis dan kapitalis.
Ukhuwah yang telah menjadi kekuatan umat Islam tersebut diketahui oleh dunia Barat (sosialis dan kapitalis) dan sekaligus mereka paham akan kelemahan umat Islam. Yaitu, kerapuhan pemikiran umat Islam, sehingga dapat mempengaruhi kerapuhan ukhuwah Islamiyah. Dari kelemahan umat Islam ini akhirnya mereka mengadu-domba dengan berbagai macam dalih. Apakah untuk menjaga perdamaian dunia atau dengan dalih memerangi teroris dan penjahat-penjahat dunia yang kesemuanya itu diarahkan pada negeri-negeri muslim yang tidak bersedia tunduk pada "dajjal modern", yaitu Amerika. Maka lahirlah peperangan antara negeri-negeri muslim yang semuanya didalangi oleh Amerika dan sekutunya. Penjajahan di Irak, Afghanistan, dan hegemoni Barat hampir mencakup seluruh dunia Islam saat ini.
Mereka menebar benih permusuhan antara negeri-negeri yang ada di Timur Tengah dengan dalih menjadi juru damai antara Palestina dan Israel. Yang berakibat semakin merenggangnya hubungan negara-negara Islam di Timur Tengah.
Demikianlah, makar-makar Yahudi dan Nasrani yang berusaha menghapus ide-ide Islam di dunia internasional ini diawali dengan menghancurkan puing-puing ukhuwah islamiyah. Namun jika umat Islam sadar akan kesalahannya, dan bersedia untuk membangun kembali puing-puing ukhuwah islamiyah tersebut, dan bersungguh-sungguh maka Allah akan menghancurkan makar-makar mereka. Karena Dialah sebaik-baik pembuat makar. Sebagaimana firman-Nya dalam QS.Ali Imran: 54:
"Mereka itu membuat makar, dan Allah (membalasnya) dengan makar-Nya, dan Allah lah sebaik-baik pembuat makar".
Allah sendiri telah memberi jalan kepada manusia untuk membangun puing-puing ukhuwah Islamiyah, dengan jalan berikut:
Pertama, Mengadakan Islah, perbaikan di antara yang bertikai, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Hujarat ayat 10:
Sesungguhnya hanya orang-orang yang beriman saja yang bersaudara, maka damaikanlah di antara saudara-saudaramu.
Sedangkan Islah atau perdamaian tidak akan mungkin bisa terjadi, kecuali mengikuti aturan berikut: Perdamaian itu harus berprinsip adil. Yang dimaksud adil di sini adalah sesuai dengan tuntutan syara' yang di dalamnya pasti mengandung maslahat, sebab di mana ada syara' di situ ada maslahat. Allah telah berfirman dalam surat al-Hujarat: 9
"Hendaklah kamu damaikan keduanya dengan prinsip adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil". Dan Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di dunia akan berada di mimbar-mimbar yang terbuat dari permata di hadapan Allah, karena aktifitas adilnya yang dilakukan di dunia"(HR. Ibnu Hasim dan an-Nasa'i).
Kedua, membangun kesamaan dalam pemikiran (konsep-konsep) Islam yang mendasar, sehingga bisa melahirkan kesamaan akan perasaan berislam, dan juga melahirkan kesamaan perasaan cemburu jika Islam dihina. Sehingga yang terjadi adalah tolong-menolong dalam kebaikan pada diri umat Islam. Inilah yang akan memperkuat ukhuwah islamiyah. Lihat QS. Al-Maidah:2.
Ketiga, meningkatkan rasa takwa pada Allah, sebab dengan demikian akan membuat manusia (umat Islam) takut untuk melanggar aturan-aturan Allah. Yang akhirnya akan dapat membedakan mana yang seharusnya sebagai lawan dan sebagai saudara. Lihat QS. Al-hujarat:10.
Ketiga, tidak melakukan hal-hal yang bersifat mencela/meremehkan kelompok lain sesama Islam, dan tidak memanggil dengan sebutan yang tidak disenangi, sebab bisa jadi yang meremehkan itu lebih tercela dari pada yang dicela. Lihat QS. Al-Hujarat: 11.
Keempat, menjauhi sifat su'udzan, ghibah, fitnah, memata-matai untuk mencari kelemahan pada orang lain. Lihat QS. Al-Hujarat:13.
Dari uraian tersebut, bisa disimpulkan bahwa:
a.Orang yang mengucap kalimat syahadat tidak boleh diperangi.
b.Orang yang mengucapkan kalimah syahadat (asalkan tidak merusak akidahnya dengan keyakinan lain) dengan keyakinan dan pembenaran yang pasti, maka ia akan masuk surga, meskipun mengerjakan perbuatan maksiat (walau masih 'mampir' ke neraka) untuk membersihkan maksiat yang dilakukan karena lalai, lupa atau kebodohannya tentang hukum Allah.
Hal ini berdasarkan hujjah sebagai berikut: Bahwa Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda: "Dzalim itu ada tiga, yaitu dzalim yang tidak diampuni Allah, dzalim yang diampuni-Nya, serta dzalim yang tidak meninggalkan darinya pada sesuatu apapun".
Dzalim yang tidak diampuni oleh Allah adalah syirik, menyekutukan Allah dengan yang lain, sesuai firman-Nya Surat Lukman:13:
"Sesungguhnya syirik itu adalah kedzaliman yang besar". Dan termasuk dalam kategori dzalim di atas adalah bertahkim pada hukum-hukum selain yang dibuat Allah, mencampur sebagian dan membuang sebagian yang lain dari hukum Allah. Dalam kondisi ini tidak diampuni dosa-dosa mereka meskipun mereka shalat, puasa dan haji. Karena mereka telah mensyirikkan dan menentang hukum Allah, Allah SWT berfirman: "Barang siapa yang tidak bertahkim dengan hukum Allah maka mereka termasuk orang-orang kafir".(QS. Al-Ma'idah: 44).
Dalam surat an-Nisa': 60 Allah berfirman: ”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim kepada taghut (selain hukum Islam). Padahal mereka diperintah untuk mengikarinya". Dalam surat an-Nisa': 150-151 Allah azza wa jalla berfirman: "…Mereka berkata, kami beriman kepada yang sebagian dan kafir kepada sebagian yang lain…" "Mereka itu adalah orang-orang kafir yang sebenarnya…".
Dzalim yang bisa diampuni Allah adalah dzalimnya hamba terhadap Allah dengan melakukan maksiat karena lalai dan kealpaan atau kebodohannya. Selama tidak menggunakan keyakiannnya pada kalimat Laa ilaha illallah. Maka dzalim seperti ini masih termasuk ahli surga, meskipun harus 'mampir dulu di neraka dahulu. Diriwayatkan Syaikhan dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah bersabda: "Tidak seorang hamba pun yang berkata Laa ilaha illallah, kemudian ia mati tetap pada perkataan tersebut, kecuali ia masuk surga. Saya berkata:Meskipun berzina dan mencuri? Rasulullah menjawab: Meskipun berzina dan mencuri. Saya berkata lagi: meskipun berzina dan mencuri? Rasulullah menjawab:meskipun berzina dan mencuri (sampai tiga kali). Dan berkata Rasulullah yang keempat kalinya: meskipun Abu Dzar terpaksa yang demikian itu.. Dalam riwayat lain disebutkan: "Barang siapa yang mati dan dia tahu bahwa tiada tuhan kecuali Allah, maka ia masuk surga" (HR.Muslim).
Oleh karena itu, seorang muslim yang sejati harus mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya secara menyeluruh, sehingga bisa masuk surga tanpa 'mampir' ke neraka.
Dzalim yang ketiga adalah berkaitan dengan kedzaliman hamba yang satu dengan hamba yang lain. Sehingga saling menghinakan satu sama lain. Dalam kondisi ini saling memaafkan dan saling menghormati akan menghilangkan dosa dzalim tersebut.
Demikianlah hujjah dari kesimpulan di atas, bahwa tidak diperkenankan bagi kita untuk memerangi orang-orang Islam yang masih meyakini Laa ilaha illallah. Namun jika melihat fakta yang ada sekarang ini, banyak sekali orang-orang yang mengaku Islam, meskipun ideologi mereka adalah ideologi kapitalis dan sosialis atau dicampurkan dengan lainnya. Maka sikap kita pada mereka adalah memastikan mereka sebagai orang kufur, karena telah menafikan hukum-hukum Allah serta mencampur dengan hukum mereka. Sebagai hamlud da'wah hendaknya kita berusaha untuk berjidal dengan mereka guna mematikan argumentasi-argumentasinya dan membuat argumentasi yang kuat yang berdasarkan syari'at Islam. Dan tidak melakukan peperangan kecuali:
Diperintah oleh Amirul Mu'minin (Penguasa Islam). Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar untuk memerangi pembangkang-pembangkang yang tidak mau membayar zakat.
Jika mereka menyerang kita, maka kita wajib mempertahankan diri dan menyerang balik kepada mereka.
Adapun peperangan yang dilakukan oleh para sahabat (Ali dan Mu'awiyah, Ali dengan 'Aisyah) maka dalam hal ini ulama-ulama' Sunni berpendapat agar tidak mengomentari peperangan mereka, sebagaimana yang telah dikatakan Imam Abu Hanifah, Hasan al-Bashri dan Umar bin Abdul Aziz, di antara mereka berkata: "Itulah darah-darah yang telah tertumpah yang Allah membersihkan tanganku dari pada percikannya, maka tidaklah aku suka darah itu melumuri lidahku". Dan juga ahli hikmah mengatakan: "Dan apa yang terjadi diantara sahabat, kami memilih sikap diam". KH
Sumber: CD ceramah Posisi dan Peran Sahabat Nabi SAW oleh Prof. DR. Sayid Muhammad Al-Maliki & Jurnal Keislaman Bayan,
PILKADAL DAN “KADAL POLITIK” ITU
Secara sengaja saya gunakan istilah PILKADAL (pemilihan langsung oleh rakyat), untuk membedakan dengan PILKADA yang dilaksanakan secara tidak langsung dan proses pemilihannya dilakukan oleh wakil rakyat di DPRD selama itu.
PILKADAL (PemILihan KepAla DAerah Langsung) sejak dua tahun terakhir marak di mana-mana. Ia akhirnya jadi semacam sumber baru bagi perekonomian masyarakat. Agen-agen reklame mendapat order besar untuk keperluan propaganda dan kampanye. Foto-foto mejeng para kandidat terpajang di lokasi-lokasi strategis jalan raya, mengalahkan gambar model iklan maupun bintang sinetron dan film. Ada job dadakan berupa pemasangan banner, spanduk, umbul-umbul dan selebaran bagi remaja dan mereka yang tak punya pekerjaan tetap. Kantor partaipun – di musim-musim Pilkadal ini berubah jadi seperti “kantor bisnis pemasaran”. Sekecil apapaun bentuk proposal dukungan, ada nilai finansial bagi mereka yang mengajukan.
Secara sengaja saya gunakan istilah PILKADAL (pemilihan langsung oleh rakyat), untuk membedakan dengan PILKADA yang dilaksanakan secara tidak langsung dan proses pemilihannya dilakukan oleh wakil rakyat di DPRD selama itu.
PILKADAL (PemILihan KepAla DAerah Langsung) sejak dua tahun terakhir marak di mana-mana. Ia akhirnya jadi semacam sumber baru bagi perekonomian masyarakat. Agen-agen reklame mendapat order besar untuk keperluan propaganda dan kampanye. Foto-foto mejeng para kandidat terpajang di lokasi-lokasi strategis jalan raya, mengalahkan gambar model iklan maupun bintang sinetron dan film. Ada job dadakan berupa pemasangan banner, spanduk, umbul-umbul dan selebaran bagi remaja dan mereka yang tak punya pekerjaan tetap. Kantor partaipun – di musim-musim Pilkadal ini berubah jadi seperti “kantor bisnis pemasaran”. Sekecil apapaun bentuk proposal dukungan, ada nilai finansial bagi mereka yang mengajukan.
Walhasil, perhelatan yang satu ini tidak saja membuat sibuk banyak orang, tapi sekaligus memberikan tambahan pekerjaan. Dalam situasi resesi ekonomi seperti ini, maka PILKADAL untuk sementara menjadi alternatif usaha. Belum lagi ketika kampanye digelar, minimal ongkos hadir di gedung maupun lapangan juga ada tarifnya tersendiri. Konon isi amplop yang dibagi berkisar antara Rp. 20 ribu sampai Rp. 50 ribu per orang. Biaya itu tentu tidak termasuk transportasi dan konsumsi yang disediakan panitia.
Bayangkan: berapa ratus juta atau bahkan puluh milyar rupiah yang dihamburkan untuk hura-hura dan pesta kampanye PILKADAL ini! Seandainya uang sebesar itu untuk menanggulangi kemiskinan dan kebodohan di daerah, sudah pasti akan mengubah keadaan warga dan masyarakat. Mereka akan meningkat kesejahteraannya, walau tidak secara maksimal. Tapi tentu upaya tersebut akan mengurangi penderitaan kaum dhu’afa (yang melanda masyoritas warga) itu.
Hitung-hitungan di atas belum termasuk ongkos yang harus dikeluarkan oleh calon yang mengikuti PILKADAL untuk lolos dalam seleksi. Ada biaya yang harus dilunasi untuk pencalonan melalui partai. Ada juga cost untuk melobi petinggi partai ataupun pemuka agama, yang diharapkan dapat menghimpun suara. Di pihak lain, petinggi dan pemuka masyarakat itu mengklaim sebagai punya pengaruh di tengah rakyat dan umat. Sebab jika namanya semakin dikenal, maka cost untuk dukungan itupun tentu semakin mahal pula nilai rupiahnya.
Akhirnya perilaku para petinggi dan pemuka agama itupun berubah. Di mana-mana ia menebar pesona: merasa paling kharismatik dan punya pengaruh kuat. Tujuannya hanya satu: agar nilai bargaining dengan kandidat dalam PILKADAL itu besar. Janji-janji (dukungan) tidak tertulis pun berhamburan saat lobbying berlangsung. Sang calon, karena sudah ”mabuk” kekuasaan, selalu oke saja dengan berbagai tawaran asalkan dapat dukungan sebesar-besarnya. Padahal tidak semua yang dijanjikan itu benar. Mereka tidak merasa kalau dikadalin (dari kata kadal yakni hewan melata yang bisa mengelabui pemburunya. Yang dimaksudkan dari istilah itu adalah dibohongi/diakalin). Ada yang menyebut, mereka yang jadi makelar PILKADAL itu adalah ”kadal politik”.
Oleh karena itu, jika calon tadi tidak jadi, mereka bisa stress berat. Pertama, ia harus kehilangan biaya yang besar tanpa hasil kecuali kekecewaan dan keletihan. Kedua, jika biaya itu hasil utang, maka mereka harus kerja keras untuk mengembalikannya. Bisa-bisa jual rumah, tanah dan kendaraan yang ada untuk menutup kerugian. Konon ada yang kalah dalam pencalonan akhirnya mereka jadi kere (jatuh miskin). Ketiga, mereka yang tak tahan akhirnya menderita sakit keras. Itu berarti tambahan biaya pasca kekalahan PILKADAL. Sungguh tragis permainan politik yang tak dilandasi keimanan dan keikhlasan ini.
Bagi yang berhasil dalam PILKADAL memang sementara mereka bersorak gembira. Sedangkan ambisi berikutnya bisa jadi makin liar dan tidak terkendali: mencari proyek untuk mengembalikan ”modal” PILKADAL yang begitu besar sudah mereka keluarkan. Korupsi jadi pilihan paling pasti untuk dijalani. Bahkan jabatan lain pun harus diraih, yaitu sebagai petinggi partai politik atau lembaga lain yang diharapkan bisa menambah “wibawa” mereka untuk berbuat seenaknya.
Padahal ada satu hal yang mereka lupakan: bahwa kepemimpinan itu tidak bisa diminta apalagi dipaksakan, namun oleh umat diberikan sebagai amanat. Lagi pula pertanggung-jawabannya berat di sisi masyarakat maupun di hadapan Allah SWT kelak. Tapi mengapa orang berebut dengan “tantangan” yang membahayakan (bagi orang tak beriman) itu? Ada yang bilang semua tadi bersumber dari dorongan ambisi kedudukan dan kekayaan yang tidak dilandasi rasa iman yang memadai. Jika sudah begini, kapan pemimpin dan calon pemimpin kita menginsyafi hal ini? Abu Muhsin
Mengusir Bala', Menepis Kekalutan
Pada edisi lalu telah kami hadirkan do'a-do'a pemecah masalah dan kiat para salaf shalih menghilangkan kegelisahan hati, takut, gelisah dan rasa cemas. Dan pada edisi kali ini kami suguhkan do'a-do'a untuk menghindar dari bala', cobaan dan kesusahan – yang merupakan kelanjutan dari edisi lalu.
Pada edisi lalu telah kami hadirkan do'a-do'a pemecah masalah dan kiat para salaf shalih menghilangkan kegelisahan hati, takut, gelisah dan rasa cemas. Dan pada edisi kali ini kami suguhkan do'a-do'a untuk menghindar dari bala', cobaan dan kesusahan – yang merupakan kelanjutan dari edisi lalu.
Do'a ketika ditimpa masalah, kesusahan dan cobaan.
Dari Ibnu Abbas radiallahu 'anhu, dia berkata: “suatu saat Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam memegang kedua sisi daun pintu, sedangkan kami berada dalam rumah. Kemudian Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Wahai Bani Abdul Muthalib, jika suatu masalah, kesusahan dan coba'an menimpa kalian, maka bacalah:
الله الله ربنا لا نشرك به شيئا.
"Allah, Allah, wahai Tuhan kami, kami tidak menyekutukan Engkau dengan sesuatu apapun.” (HR. Thabrani dari kitab al-Ausath wa al-Kabir).
Riwayat lain menyebutkan, bahwa 'Aisyah radhiallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada sekelompok orang dari Bani Hasyim: "Apakah di antara kalian ada orang lain yang ikut bersamamu?". Mereka menjawab: "Tidak. Kecuali anak saudara perempuan kami (keponakan), (perawi mengatakan) atau anak perempuan tuan kami. Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam lantas bersabda: "Apabila di antar kalian ditimpa kegelisahan atau cobaan, maka berdoalah:
الله الله ربي لا أشرك به شيئا
"Allah, Allah, wahai Tuhanku, kami tidak menyekutukan Engkau dengan sesuatu apapun. (HR. Thabrani dari kitab al-Ausath wa al-Kabir).
Diriwayatkan dari Asma' binti 'Umais radhiallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidakkah aku telah mengajari kalian kalimat-kalimat yang dibaca ketika mendapatkan masalah, yang berbunyi:
الله الله ربي لا أشرك به شيئا
"Allah, Allah, wahai Tuhanku, kami tidak menyekutukan Engkau dengan sesuatu apapun." (HR. Abu Dawud).
Do'a Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam ketika ditimpa suatu masalah.
Dalam musnad al-Firdaus ada riwayat dari Ja'far bin Muhammad al-Shadiq. Dia berkata: Ayahku telah meriwayatkan hadis kepadaku dari kakekku (Nabi Muhammad), bahwasannya bila Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam ditimpa suatu masalah, beliau berdo'a seperti ini:
اللهم احرسني بعينك التي لا تنام، واكنفني بكنفك الذي لا يرام وارحمني بقدرتك علي فلا أهلك وأنت رجائي، فكم من نعمة أنعمت بها علي قلّ لك بها شكري، وكم من بلية ابتليتني بها قلّ بها صبري، فيا من قلّ عند نعمته شكري فلم يحرمني. ويا من قلّ عند بليته صبري فلم يخذلني، ويا من رآني على الخطايا فلم يفضحني، ياذا المعروف الذي لا ينقضي أبدا،وياذا النعمة التي لا تحصى عددا، أسألك أن تصلي على محمد وعلى آل محمد وبك أدرأ في نحور الأعداء والجبارين، اللهم أعنّي على ديني بالدنيا وعلى آخرتي بالتقوى، واحفظني فيما غبت عنه ولا تكلني إلى نفسي فيما حظرته علي يا من لاتضره الذنوب ولا ينقصه العفو، هب لي ما لا ينقصك واغفرلي ما يضرك أنك أنت الوهاب، أسألك فرجا قريبا وصبرا جميلا ورزقا واسعا والعافية من البلايا وشكر العافية.
"Ya Allah, jagalah aku dengan Mata Engkau yang tak pernah tidur, peliharalah aku dengan naungan Engkau yang tak dikehendaki. Belas kasihanilah aku, dengan takdirMu padaku maka aku tidak meninggal dan Engkau adalah pengharapanku. Betapa banyak nikmat yang Engkau berikan padaku tapi, syukurku kepada-Mu sangatlah sedikit. Betapa banyak cobaan yang Engkau timpakan kepadku, tapi sabarku sangatlah sedikit. Duhai Dzat… ketika memberi nikmat, rasa terimakasihku sedikit, tapi Dia tidak memutus nikmatku. Duhai Dzat…ketika menurunkan cobaan, sabarku sangatlah sedikit, tapi Dia tidak menelantarkanku. Wahai Dzat yang melihat kesalahan-kesalahanku, tapi Engkau tidak membuka aibku, Wahai Dzat yang memiliki pengetahuan yang tidak berkurang selama-lamanya, Wahai Dzat Yang memiliki nikmat yang tak terhitung banyaknya, aku memohon kepada Engkau untuk mencurahkan rahmat kepada Nabi Muhammad SAW dan kepada keluarga beliau. Berkat bantuanMu aku dapat menolak serangan musuh dan orang-orang jahat. Ya Allah, jagalah aku dari hal-hal yang tidak aku ketahui, janganlah engkau wakilkan diriku terhadap apa yang telah engkau beri. Wahai Dzat yang tidak akan tertimpa bahaya gara-gara dosa (manusia) dan tidak berkurang (sedikit pun) dikarenakan memberi ampunan, berilah aku sesuatu yang tidak mengurangi Engkau dan ampunilah aku terhadap dosa yang tidak akan membahayakanmu. Sesungguhnya engkau Maha Pemberi. Aku memohon kepada-Mu jalan keluar yang cepat, kesabaran yang baik, rizki yang luas, pertolongan dari bencana dan syukur terhadap pertolongan.”
Dalam riwayat lain :
وأسألك الشكر على العافية وأسألك الغنى عن الناس ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
Dan aku memohon kepada-Mu rasa syukur atas kebaikan-Mu, dan aku memohon kepada-Mu agar menjadi kaya di kalangan manusia, dan tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali milik Allah yang Maha Tinggi nan Agung.
Peran Ulama Dalam Bernegara
“Lisanul” Ahlussunnah wal Jama’ah (Penyambung Lidah Ahlussunnah wal Jama’ah) Demikian Prof. DR. HM. Baharun menyebut sosok KH Ma'ruf Amien, dalam kesempatan “duet” pada dialog ahlusunnah wal jama’ah beberapa waktu lalu. Betapa tidak, dalam setiap kemunculan sosok Kiai Ma’ruf di televisi maupun media cetak beliau tetap istiqamah menyuarakan kebenaran dan pembelaan terhadap ahlusunnah ‘ala qadri istita’atih. Secara defacto beliau adalah lisanul ahlussunnah wal jama’ah. Sebagai Ketua komisi Fatwa MUI Pusat, ia termasuk tokoh yang berada di balik fatwa MUI yang memberi sertifikat sesat paham “Sipilis” (sekulerisme-pluralisme-liberalisme).
“Lisanul” Ahlussunnah wal Jama’ah (Penyambung Lidah Ahlussunnah wal Jama’ah) Demikian Prof. DR. HM. Baharun menyebut sosok KH Ma'ruf Amien, dalam kesempatan “duet” pada dialog ahlusunnah wal jama’ah beberapa waktu lalu. Betapa tidak, dalam setiap kemunculan sosok Kiai Ma’ruf di televisi maupun media cetak beliau tetap istiqamah menyuarakan kebenaran dan pembelaan terhadap ahlusunnah ‘ala qadri istita’atih. Secara defacto beliau adalah lisanul ahlussunnah wal jama’ah. Sebagai Ketua komisi Fatwa MUI Pusat, ia termasuk tokoh yang berada di balik fatwa MUI yang memberi sertifikat sesat paham “Sipilis” (sekulerisme-pluralisme-liberalisme).
Pada acara dialog yang merupakan rangkaian kegiatan memperingati Harlah NU ke 82 di PCNU Sumenep itu, Kiai Ma’ruf mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) itu adalah manhajul fikr, harakatu Islah dan Fitrah. Sebagai manhajul fikr (cara berfikir), NU lahir dari upaya untuk menyelamatkan umat dari cara-cara berfikir destruktif. Dan manhaj fikir inilah yang kemudian dirumuskan oleh sesepuh NU sebagai manhaj fikr NU, yaitu ma ana ‘alaih wa ashabih. Atau manhaj fikr ahlussunnah wal jama’ah maa ana ‘alaih wa ashabih. “Karena itu, NU yang tidak berfikir menurut manhaj fikirnya NU menurut saya, itu adalah NU ‘kesurupan’, tutur Mustasyar PBNU itu.
NU sebagai organisasi merupakan sebuah organisasi pergerakan ulama untuk mengadakan perbaikan agama dan kemasyarakatan, dengan meneladani para pendirinya dari segi perkataan, perbuatan dan mu’amalah. “Oleh karena itu apabila NU tidak bergerak, itu namanya NU mabniyun alas sukun”, kata Kiai Ma’ruf. Sebagai fitrah NU mengacu pada jiwa ketulusan/kemurnian. Yang implementasinya di dalam masalah kepemimpinan kiai saling mendorong dan berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dalam perjalanan Fikrah Nahdliyah, NU menghadapi dua tantangan, yaitu internal dan eksternal. Bentuk tantangan internalnya menurut Kiai Ma’ruf adalah kecenderungan sebagian kalangan ahlussunnah yang menjadi konservatif atau mengarah pada jumud. Tidak dinamis, padahal ulama mengatakan bahwa jumud di dalam teks-teks saja itu merupakan kesesatan dalam beragama dan satu kebodohan terhadap apa yang dikehendaki oleh ulama-ulama terdahulu. Sedangkan bentuk tantangan luar NU adalah sekularisme, liberalisasi dan pluralisasi. Sedangkan NU itu sendiri menurutnya, adalah moderat tidak liberalis dan tidak fundamentalis.
Isu-isu yang dibangun oleh kaum liberalis untuk menarik kalangan ahlussunnah dan warga Nahdliyin khususnya adalah seputar permasalahan HAM, kesetaraan gender, pluralisme, kemanusiaan tanpa batas. Kecenderungan dari sekularisme mengajak umat Islam berpikir keluar dari agama. “Buat mereka (kaum liberalis), orang sesat dan murtad itu bagian dari kebebasan, hak asasi. Mereka mengajak supaya agama jangan masuk menjadi hukum ketatanegaraan menjadi undang-undang dengan alasan itu sejalan dengan kemajemukan.”ungkap kiai asal Banten ini.
Nahdatul Ulama’, sebagaimana yang diperjuangkan oleh para pendahulunya memperjuangkan penerapan syari’at Islam dalam masyarakat dan konteks undang-Undang (UU). Karena itu kita menyikapi UU itu minimal tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan menjadi kewajiban para ulama untuk mengawalnya. “Ajaran Islam harus terus kita perjuangkan untuk bisa menjadi undang-undang. Sepanjang tidak dilakukan dengan cara pemaksaan, tapi dengan cara konstitusional dan demokratis. Kita sudah berhasil melahirkan undang-undang perkawinan, undang-undang ekonomi syari’ah dan berhasil menerbitkan Surat Berharga Syariat Negara. Saya menyebutnya ini bagian dari kemajemukan, sepanjang pihak lain tidak keberatan.” Jelas Kiai yang juga menjadi anggota penasihat kepresidenan ini.
Dalam setiap langkah gerak perjuangan Islam, kelompok sekuler pasti akan selalu menahan itu, mereka mencegah agar jangan sampi ada ajaran agama masuk dalam konstitusi negara. Belum lama ini ada maklumat keindonesiaan yang terdiri dari17 orang, salah satunya mencegah jangan sampai salah satu agama mendominasi. Mereka berusaha untuk mensekulerkan Nation State Religius Indonesia. Mereka ingin menghapus akar keberagamaan umat Islam yang sudah berlangsung semenjak 500 tahun lalu, dan telah menjadi bagian dari sistem perilaku cara kehidupan bangsa Indonesia ini. Dari golongan ekstrem sekuler berusaha untuk menjadikan Indonesia negara kebangsaan sekuler.
NU menurut Kiai Ma’ruf, harus tetap menjadi kekuatan yang menengahi antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri dalam kehidupan berbangsa ini. NU harus menjadi organisasi yang tawashut dan tamasuh, tidak fundamentalis dan tidak sekuleris. ”Ini merupakan persoalan kebangsaan kita bersama, bukan berarti kita tidak mengerti bahwa kita harus memperjuangkan Islam dengan sepenuh tenaga, akan tetapi di sini kita telah memiliki kesepakatan dalam kehidupan berbangsa ini. Nah! Sebagai umat Islam kesepakatan itu kita pegang. Karena almuslimuna ala syurutihim, orang Islam itu harus memenuhi perjanjiannya.” ujarnya. Meskipun begitu Kiai Ma’ruf menambahkan bahwa para ulama berusaha menjadikan Islam adalah sebagai yang harus memberikan arahan/kadiah penuntun di dalam kehidupan berbangsa ini. Disinilah konsekwensi yang dihadapi memang berat sekali. (Ernaz).
Cukuplah Allah Sebagai Penolongku
Tak ada rasa cemas, tak ada rasa takut, tak ada rasa khawatir. Begitulah keadaan para sahabat ketika akan menghadapi perang uhud. Dikatakan oleh ahli sejarah, saat itu jumlah pasukan kafir Quraisy 3000 pasukan dengan persenjataan yang lengkap, sedangkan umat Islam hanyalah 600 orang. Namun, para mujahid yang membela ajaran Rasulnya itu tak gentar menghadapi lawan. Satu ucapan yang keluar dari mulut mereka ialah hasbunallah wa ni’mal wakiil.
(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung". Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Ali “Imran:173-174)
Tak ada rasa cemas, tak ada rasa takut, tak ada rasa khawatir. Begitulah keadaan para sahabat ketika akan menghadapi perang uhud. Dikatakan oleh ahli sejarah, saat itu jumlah pasukan kafir Quraisy 3000 pasukan dengan persenjataan yang lengkap, sedangkan umat Islam hanyalah 600 orang. Namun, para mujahid yang membela ajaran Rasulnya itu tak gentar menghadapi lawan. Satu ucapan yang keluar dari mulut mereka ialah hasbunallah wa ni’mal wakiil.
Saat ini di mana pun berada, kaum muslimin menjadi sasaran berbagai fitnah yang keji. Mereka dikatakan sebagai kaum preman bersorban, anti perdamaian, fanatik dan sebagainya. Bahkan di negara yang mayoritas penduduknya muslim, pemerintahannya muslim, umat muslim mnejadi ajang bulan-bulanan. Agama mereka di nodai dengan bermunculannya bermacam aliran sempalan, pemurtadan dan pengikisan akidah secara sistematis terjadi hampir setiap hari. Namun, ketika kaum muslim ingin bangkit, membela agama dan akidahnya, mereka diteriaki sebagai: teroris, pengacau keamanan, Islam garis keras dan sebagainya. Musuh Umat Islam dari kalangan Yahudi, Nasrani, Liberal, Kapitalis dan anti Islam lainnya bersatu padu untuk menghancurkan Islam.
Jika kita berpikir secara logika, dengan segala kecanggihan Amerika dan Sekutunya, Keuangan mereka yang besar untuk membentuk LSM-LSM asing dan memiayai segala kegiatan pemurtadan di Indonesia, maka mungkin kita akan pesimis bahwa Islam akan bertahan lama di bumi nusantara ini. Namun umat Islam memiliki senjata yan lebih besar dai dana-dana LSM Amerika, lebih besar dari segala kecanggihan yang telah dibuat dan akan dibuat oleh Amerika. Umat Islam memiliki Allah azza wa jalla. Manusia adalah makhluk lemah, kita tidak memiliki kekuatan. Kekuatan hanya milik Allah Yang Maha Kuat.
Setelah merenungi ayat ini, kita tidak perlu lagi takut. Kita bisa melangkah di muka bumi ini dengan langkah yang berani, karena Allah menjadi Penolong dan Pelindung. Tidak ada sau pun yang mampu mengalahkan kekuasaannya. Kesusahan, bencana, kemiskinan, dan kesulitan lainnya adalah kecil dihadapan Allah. Serahkanlah semuanya kepada Allah Yang Maha Kuat dan Maha Kaya jika kita ingin mampu menghadapi kesusahan dan bencana. Tidak perlu takut menghadapi musuh-musuh Allah saat berdakwah, sebab siapa yang mampu mengalahkan Pelindung dan Penolong kita? Tidak ada lagi alasan untuk takut, tidak alasan untuk tidak semangat, tidak alasan untuk khawatir akan hari esok, sebab kita sebenarnya sudah memilik Pelindung dan Penolong. Mari kita jadikan kalimat hasbunallah wa ni’mal wakiil sebagai semboyan hidup kita. Jika harta kita sedikit, hutang yang banyak, maisyah yang terhambat, mengadulah kepada Penolong dan Pelindung kita.
Saat kita mau berdakwah, rintangan dan halangan selalu ada. Tetapi sekarang hal ini tidak lagi bisa menjadi alasan kita untuk tidak berdakwah karena Allah yang menjadi Pelindung dan Penolong kita. Tidak peduli musuh kita banyak. Tidak peduli musuh kita kuat. Tidak peduli kita hanya sendiri. Jika Allah Pelindung dan Penolong kita, semua musuh akan bisa dikalahkan. Tidak akan yang mampu menahan kehendak Allah SWT. Ingatlah Penolong dan Pelindung mu itu Mengapa kita sering kali tetap khawatir dan takut? Mungkin karena kita sering lupa bahwa kita memiliki Penolong dan Pelindung. Oleh karena itu kita harus mengingat-Nya terus agar hati kita tenang. Tidak ada suatu pekerjaan yang bisa membuat hati kita tenang selain kita mengingat-Nya. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Al Ra’d:28)
Bahkan saat kita menghadapi musuh perang, yang kita perlukan adalah mengingat Allah agar kita bisa memenangkan perang tersebut. Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. (QS Al Anfaal:45) Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. AlFath:18)
Mari kita berjalan, bertindak dan mencoba. Dengan selalu mengingat Penolong dan Pelindung kita, bukan hanya ketenangan yang akan kita dapat, juga kemenangan. Karena, Allah yang menghidupkan kita, yang mematikan kita, yang memberi rezeki, yang menentukan apa yang terbaik bagi kita. Kenapa harus takut? Sekarang, saatnya kita hidup dimuka bumi ini tanpa rasa khawatir. Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Yunus:62) Ernaz
Gusdur Vs Habib Rizieq
Bentrokkan di Monas, Ahad, 1 Juni 2008, yang akhirnya menyebabkan Habib Riziq dipenjara dan Munarman buron beberapa hari masih belum terhapus dari ingatan kita. Dua kubu yang berlawanan FPI dengan pimpinan Habib Rizieq dan AKKBB dengan tokoh sentralnya KH. Abdurrahman Wahid alias Gusdur.
Kita pasti pernah dilanda penasaran, apa sih yang dilakukan oleh kedua tokoh kita itu sebelum terjadi bentrokan tersebut? Mungkin, setelah menyimak kisah berikut, pembaca akan dapat menyimpulkan sendiri siapakah dari kedua tokoh agama kita ini yang bisa dijadikan cerminan dan panutan dalam membela agama Allah SWT.
Bentrokkan di Monas, Ahad, 1 Juni 2008, yang akhirnya menyebabkan Habib Riziq dipenjara dan Munarman buron beberapa hari masih belum terhapus dari ingatan kita. Dua kubu yang berlawanan FPI dengan pimpinan Habib Rizieq dan AKKBB dengan tokoh sentralnya KH. Abdurrahman Wahid alias Gusdur.
Kita pasti pernah dilanda penasaran, apa sih yang dilakukan oleh kedua tokoh kita itu sebelum terjadi bentrokan tersebut? Mungkin, setelah menyimak kisah berikut, pembaca akan dapat menyimpulkan sendiri siapakah dari kedua tokoh agama kita ini yang bisa dijadikan cerminan dan panutan dalam membela agama Allah SWT.
Habib Muhammad Rizieq Syihab begitu nama lengkapnya. Sejak pertengahan Mei 2008, Habib Rizieq memiliki kesibukan tersendiri dengan pengacara Indra Sahnun Lubis, SH, sahabatnya. Keduanya bukan sedang mengurus masalah ”kekerasan FPI”, namun sedang mempersiapkan seorang selebritis yang mau kembali ke Islam. Sebelumnya, kepada sang artis sang Habib berkali-kali menanyakan apakah dirinya memang sungguh-sungguh ingin kembali ke Islam, bukan dengan paksaan atau ada motivasi lain di balik itu. Steve Emmnauel, artis bule itu pun berkali-kali pula menyatakan keseriusannya dan menegaskan jika keinginannya masuk Islam karena berdasarkan hati nurani dan tidak ada paksaan dari siapa pun.
Kemudian, pada hari Sabtu, 24 Mei 2008, didampingi oleh Pengacara Indra Sahnun Lubis, Steve Emmanuel mengucapkan dua kalimah syahadat di depan Habib Rizieq, puluhan anggota FPI, dan para wartawan surat kabar maupun infotainment. Setelah bersyahadat, Steve memilih nama baru “Yusuf Iman”. Terinspirasi dari nama Cat Steven, seorang penyanyi ternama Inggris yang kembali ke Islam dan mengubah namanya menjadi Yusuf Islam. Usai resmi mengucap dua kalimah syahadat. Kini Yusuf Iman mengisi hari demi hari dengan mendalami Islam bersama seorang Ustadz yang ditunjuk oleh Habib Rizieq untuk membinanya.
Beda Habib Rizieq, beda pula Gusdur. Kiai kita yang satu ini awal Mei lalu berangkat ke negeri paman Sam (Amerika Serikat) memenuhi undangan Simon Wiesenthal Center (SWC). Penghargaan yang diberikan oleh LSM internasional tersebut menjadi salah satu pencapaian Gus Dur selama ini. "Sebelumnya ada 12 aktivis yang menerima. 6 Di antaranya memperoleh Nobel perdamaian di kemudian hari," kata Gus Dur dalam jumpa pers di Kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, Sabtu (3/5/2008) detik.com. Simon Wiesentel Center adalah sebuah LSM terkenal di Amerika Serikat yang melindungi kaum Yahudi internasional. Lembaga yang didirikan pada 1977 oleh Simon Wiesenthal (1908-2005), pemburu penjahat perang Nazi dan pembuat dokumen kekejaman Nazi atas kaum Yahudi, yang dikenal Holocaust. Salah satu slogan mereka adalah “Berdiri bersama Israel, membela keselamatan umat Yahudi di dunia dan mengajarkan hikmah Holocaust kepada generasi mendatang.”
LSM Zionis garda terdepan di AS. itu akan menganugerahkan Medal of Valor, Medali Keberanian, buat Gusdur yang dianggap sangat berani membela kepentingan Zionis di sebuah negeri mayoritas Muslim terbesar dunia bernama Indonesia.
Acara penganugerahan medali tersebut dilakukan dalam sebuah acara makan malam istimewa yang dihadiri banyak tokoh Zionis Amerika dan Israel, termasuk aktor pro-Zionis Will Smith (The Bad Boys Movie), di Beverly Wilshire Hotel, 9500 Wilshire Blvd., Beverly Hills, Selasa (6 Mei), dimulai pukul 19.00 waktu Los Angeles. Sebagai tuan rumah adalah Rabbi Mervin Hier (Pendiri SWC dan Rabbi paling berpengaruh di AS 2007-2008), yang dengan tangannya sendiri mengalungkan medali tersebut ke leher Gusdur. Gusdur sendiri, sambil terus duduk di kursi rodanya, tersenyum dan mencium dengan penuh takzim medali tersebut. Waah, selamat ya Gus!
Di sela-sela lawatannya itu, Gusdur menyarankan Indonesia sudah waktunya mengaku Israel, karena eksistensi Israel tidak terbantahkan. Untungnya, pemerintah Indonesia tidak pernah akan mengakui keberadaan negara Israel yang berdiri di atas tanah Palestina selama enam dekade, sehingga Indonesia tetap menolak keberadaan negara Israel tersebut. Hal tersebut diungkapkan Mensesneg Hatta Rajasa ketika diminta menanggapi pernyataan Mantan Presiden Abdurrahman Wahid itu. "Lebih baik Indonesia berusaha mengupayakan sesegera mungkin kemerdekaan di Palestina, dari pada menanggapi keberadaan eksistensi Israel itu, " ujarnya pada pers, di Istana Negara, Jakarta, Jum'at (16/5) (detik.com).(Ernaz)
Meneguhkan Kembali Ukhuwah Ahlussunnah
Untuk kesekian kali, kedatangan Habib Umar bin Hafidz Bin Syaikh Abubakar ke Indonesia, meneguhkan kembali komitmen Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagai manhaj akidah, syari'ah dan akhlaq Islam. Pernyataan ini disampaikan berbagai forum Habib Umar bersama para ulama Sunni, terutama ketika bertemu secara khusus dengan para kiai dan ulama. Momentum penting ini hendaknya menyadarkan kita umat Islam, Ahlus Sunnah, agar bersatu padu untuk menyelesaikan berbagai tantangan dan rintangan yang akan 'merusak' agama Islam melalui berbagai aliran sesat.
Untuk kesekian kali, kedatangan Habib Umar bin Hafidz Bin Syaikh Abubakar ke Indonesia, meneguhkan kembali komitmen Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagai manhaj akidah, syari'ah dan akhlaq Islam. Pernyataan ini disampaikan berbagai forum Habib Umar bersama para ulama Sunni, terutama ketika bertemu secara khusus dengan para kiai dan ulama. Momentum penting ini hendaknya menyadarkan kita umat Islam, Ahlus Sunnah, agar bersatu padu untuk menyelesaikan berbagai tantangan dan rintangan yang akan 'merusak' agama Islam melalui berbagai aliran sesat.
Kehadiran Habib Umar ke Indonesia setiap tahun, bagi umat Islam Ahlus Sunnah wal Jama'ah ibarat pengisian baterai, memberi semangat pada kalangan Sunni, dengan dakwahnya yang sejuk itu agar mayoritas umat Islam Ahlus Sunnah ini bersatu padu menyemarakkan kajian-kajian agama seperti yang diwariskan oleh para aslaf shalihin. Ini penting untuk saat ini agar para ulama bersatu padu menguatkan potensi masing-masing, sehingga dapat diikuti oleh umatnya di tengah timbulnya perpecahan yang diakibatkan rongrongan firqah-firqah yang bekerja gencar akhir-akhir ini.
Kita tahu, bahwa selama itu umat, terutama sebagian awam misalnya telah dibuat bingung, karena tampil sebagai Syi’i berwajah Sunni, memang bukan untuk pertama kali mereka lakukan. Terutama ulama klasik mereka pun pernah melakukannya: mengaku sebagai Sunni Syafi'i, namun isi kitab-kitab yang dikarangnya 100% berisi doktrin Syi'ah Imamiyah dan sekaligus menohok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Lihat misalnya kitab Muruj al-Dzahab oleh Ali bin Husayn Al-Masoudi, Kifayat al-Thalib fi Manaqib Ali bin Abi Thalib & Al-Bayan fi al-Akhbar Shahib Zaman oleh Abu Abdillah Fakhruddin Muhammad bin Yusuf Al-Kanji, Syarh Nahj al-Balaghah oleh Abi al-Hadid, Syawahid al-Tanzil oleh Al-Hakim al-Khaskani, Yanabi' al-Mawaddah oleh Sulayman bin Ibrahim Al-Qanduzi dan sebagainya. Bahkan Al-Hakim, ahli hadis ini konon juga telah dicurigai kesusupan “tasyayyu”.
Mereka bukanlah Sunni, melainkan mengaku sebagai Sunni agar buku-buku mereka dapat akses dalam kepustakaan Sunni dibaca oleh kalangan pengikut Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Juga sekaligus ditargetkan menjadi referensi bagi Syi'i untuk menyerang Sunni dengan mengatakan: Hadza min Ahlis Sunnah…! (Ini dari Ahlus Sunnah…..!). Strategi propaganda Rawafidh alias Syi'ah Itsna `Asyariyah ini kini rupanya terulang kembali. Banyak pengikut Syi'ah tidak mengaku Syi'i secara konsekwen dan terang-terangan karena menghindari perdebatan terbuka. Ini tak lain karena ada target khusus yang akan dicapai, terkadang dengan dukungan uang.
Seorang tokoh Habaib di Jakarta mengingatkan kita, bahwa kini sudah ada semangat dari pengikut Syi'ah untuk merebut masjid, sekolah dan organisasi-organisasi 'Alawiyin yang ada di daerah. Setelah mereka kuasai, barulah mereka menampakkan “wujud” aslinya bahwa dia adalah sebenarnya seorang Syi'i tulen yang sedang mempraktikkan taqiyyah.
Cara-cara yang diterapkan adalah antara lain, Pertama: sering mengadakan pendekatan individual dengan memberikan image yang netral, Kedua: menawarkan jasa dan bahkan bantuan dana serta janji-janji lain, bila bersedia bergabung dengan jama'ahnya (yang “netral” itu tadi), Ketiga: meminta pada mitra yang diajak kerjasama agar menjadi orang “yang moderat” terhadap keberadaan Syi'ah, karena Syi'ah juga Islam dana bersyahadat, perbedaannya kecil dan tidak banyak dengan Sunni.
Untuk itu mereka mengedepankan alasan-alasan sebagai berikut, Pertama: Syi'ah adalah Muslim, bahkan “muslim yang sempurna” karena hanya Syi'ah yang 'membela' hak-hak imamah Ahlul Bait, Kedua: Syi'ah sekarang punya minyak dan nuklir, Ketiga: Syi'ah paling berani melawan AS dan Israel.
Namun bila dicermati, ketiga alasan tersebut tidak relevan dengan kenyataan-kenyataan yang ada. Syi'ah Itsna `Asyariyah bukanlah pembela Ahlu Bait yang benar karena kultusnya yang berlebihan terhadap Ahlul Bait ternyata telah mencederai akidah (teologi) yang paling prinsip. Pertama, Syi'ah meyakini Imam Ali dan 11 keturunannya ma`shum seperti Nabi (karena itu mereka gunakan 'alaihissalam bukan radhiallahu `anhu kepada mereka) dan kata-katanya seperti sabda Rasul. Kedua, semua sahabat Nabi SAW (yang berjumlah 114 ribu) dimurtadkan kecuali empat yakni Miqdad, Salman, `Ammar dan Abu Dzar). Ini karena mayoritas sahabat itu dinilai tidak memilih Ali setelah Nabi, padahal Ali sendiri membaiat ketiga khalifah pendahulunya. Ketiga, Syi'ah tidak membela Ali malah mendiskredikan nama baiknya karena Syi'ah mengatakan bahwa Ali adalah nama Tuhan yang dipakai olehnya tanpa Abdul (bukan Abdul Ali). Ali lahir di Ka'bah (tapi Nabi Muhammad tidak), padahal Ka'bah kala itu bukan tempat suci dan kiblat kaum muslimin melainkan tempat arca. Sedangkan nama Ali itu bermakna “tinggi” bukan asma Allah. Keempat, minyak dan nuklir Syi'ah tidak mungkin untuk kemaslahatan umat Islam se-Dunia, karena belum ada contoh kongkret memberikan kontribusi pada Dunia Islam. Kelima, jargon anti AS dan Israel bukanlah sikap permanen Syi'ah Iran, sebab dulu pun ketika lagi gencar-gencarnya euphoria anti Barat, diam-diam Khomeini terlibat skandal Irangate (pembelian senjata secara gelap yang melibatkan AS dan Israel) untuk berperang melawan Irak. Dan ketika mau damai, Khomeini bilang seperti minum racun.
Sementara itu isu yang didukung dengan riwayat-riwayat lemah dan palsu lainnya coba dipropagandakan oleh mereka dengan memberi kesan seakan Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini adalah akidah dan mazhab yang salah, maka yang paling benar itu adalah Syi'ah. Namun anehnya, yang menyebarkan tidak pernah mengaku sebagai seorang Syi'i ketika harus beradaptasi dengan Sunni.
Cara-cara seperti inilah, yang tak jarang juga disertai dengan pendekatan “akhlak yang tinggi” mempengaruhi anak muda, dan terhadap segelintir orang Sunni yang kecewa dan frustasi. Akhirnya semua itu mengkeristal dalam bentuk aktivisme yang kemudian berpotensi memecah-belah keluarga dan jama'ah. Yang paling merepotkan dideteksi adalah penampilan mereka yang ibarat “musang berbulu ayam”, yaitu berpura-pura sebagai Sunni, tapi kerjaannya setiap hari mengeritik Sunni seolah dia ulama mujtahid yang berhak untuk menilai manhaj Ahlus Sunnah yang agung ini.
Di tengah meluasnya tantangan firqah-firqah pada era reformasi yang serba bebas ini, memang diperlukan sikap yang tegas dari pihak kita untuk meneguhkan kembali jati diri sebagai Sunni. Selain harus terus diadakan penyegaran pendidikan Ahulus Sunnah wal Jama'ah, juga mesti disertai sikap antisipatif dan reaktif terhadap segala bentuk fitnah yang telah mereka sebarkan untuk melemahkan kekuatan jama'ah. (Ernaz)
Redam Api Fitnah Demi Ukhuwah
Sudah sekian lama kaum muslimin Indonesia khususnya Ahlus sunnah wal jama’ah hidup berdampingan saling mencintai dan bersaudara. Namun, belakangan ini keharmonisan terusik oleh perdebatan-perdebatan klasik yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi kemudian disertai provokasi, memvonis kafir, musyrik dan sesat.
Sudah bukan zamannya mengusik perkara furu’iyah (cabang-cabang agama) semacam hukum membaca qunut, tahlil, tawassul, istighotsah dan lain sebagainya. Persoalan ini sudah dibahas para ulama fikih ratusan tahun yang lalu. Dan masing-masing ulama memiliki dalil yang cukup kuat dan akurat dengan berpijak pada berbagai rujukan yang di pakai oleh mereka.
Sudah sekian lama kaum muslimin Indonesia khususnya Ahlus sunnah wal jama’ah hidup berdampingan saling mencintai dan bersaudara. Namun, belakangan ini keharmonisan terusik oleh perdebatan-perdebatan klasik yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi kemudian disertai provokasi, memvonis kafir, musyrik dan sesat.
Sudah bukan zamannya mengusik perkara furu’iyah (cabang-cabang agama) semacam hukum membaca qunut, tahlil, tawassul, istighotsah dan lain sebagainya. Persoalan ini sudah dibahas para ulama fikih ratusan tahun yang lalu. Dan masing-masing ulama memiliki dalil yang cukup kuat dan akurat dengan berpijak pada berbagai rujukan yang di pakai oleh mereka.
Adalah hal yang biasa terjadi perbedaan status hukum fikih di antara para ulama’ terhadap sebuah persoalan. Antar para sahabat di zaman Rasulullah SAW saja sering terjadi perbedaan dalam mengaplikasikan ajaran Islam.
Tapi walaupun berbeda, para ulama salaf tidak pernah saling menyesatkan apalagi saling mengkafirkan. Perbedaan hukum fikih justru menambah khazanah keilmuan. Seperti yang di sabdakan oleh Rasulullah, ”Perbedaan di antara umatku adalah rahmat”.
Meributkan persoalan furu’iyah akan menguras tenaga sia-sia. Alangkah baiknya bila daya upaya kita difokuskan untuk menyelesaikan problem-probelm umat Islam yang lebih penting.
Namun sayangnya, ide semacam itu tidaklah sejalan dengan ulah sebagian kecil kelompok Islam. Di mana seharusnya kita sibuk dengan upaya dakwah agar orang lain memahami tentang Islam, atau jika perlu mengislamkan orang lain. Kelompok ini malah sibuk menulis buku yang mengkafirkan sesama umat Islam.
Mengungkit-ungkit kembali persoalan furu’ jelas akan merusak hubungan baik antar sesama Muslim. Apalagi disertai dengan vonis kafir dan sesat terhadap saudaranya sendiri.
Kedamaian yang telah lama dibina itu belakangan terusik oleh buku H Mahrus Ali yang berjudul ”Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik”. Mahrus mengaku sebagai mantan kiai NU, padahal menjadi anggota NU saja ia tidak pernah terdaftar. Mahrus menyatakan bahwa mayoritas umat sudah jatuh kepada kemusyrikan.
Kehadiran buku ini memicu perselisihan dan konflik dalam tubuh umat Islam. Apalagi H Mahrus Ali tidak berani bertanggung jawab terhadap apa yang telah ia tulis di dalam bukunya dalam bentuk dialog terbuka dengan berbagai alasan.
Untungnya, warga nahdliyin masih menyikapi dengan kepala dingin, walaupun beredarnya buku H Mahrus Ali tersebut sangat meresahkan umat Islam khususnya warga Nahdliyyin.
Upaya pendekatan ilmiah yang digagas oleh tim LBM (Lembaga Bahstul Masa’il) NU Jember patut menjadi contoh dalam mengaplikasikan konsep dan prilaku akhlakul karimah dalam menyelesaikan permasalahan umat dalam koridor ahlusunnah wal jama’ah. Tim LBM NU Jember yang dikomandani kiai-kiai muda asal kota Jember Jawa Timur tersebut telah menerbitkan sebuah buku dengan judul ”Membongkar Kebohongan Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik”.
”Buku di jelaskan dengan buku, dan kita pertemukan aspek pemikirannya untuk dipertanggung jawabkan” begitulah yang diungkapkan oleh KH Abdullah Samsul Arifin salah satu kiai muda NU asal Jember.
Sebagai folow-up peluncuran buku tersebut dan juga sebagai media tabayyun (klarifikasi) kedua pihak, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya menggagas acara seminar nasional dengan judul ”Bedah Pemikiran Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik” Vs buku Membongkar Kebohongan Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik” .
Acara tersebut dikemas dalam rangka menemukan sisi ilmiah dari polemik yang selama ini terjadi. Sehingga tidak menjadi momok dan problem baru bagi umat Islam. Seminar yang cukup menyita perhatian umat Islam tersebut digelar di aula Pusat Pengembangan Intelektual (P2I ) Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Hadir sebagai pembicara KH. Muamal Hamidi (pemberi pengantar pada buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik” dan Ustadz Idrus Ramli bersama KH Abdullah Samsul Arifin sebagai penulis buku Membongkar Kebohongan Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik” dari tim Tim LBM NU Jember.
Ketidak hadiran sang ”mantan kiai NU”, Mahrus Ali dengan alasan yang tak masuk akal yaitu alasan keamanan memang patut disesalkan. Apalagi dengan meminta jaminan uang sebesar tiga milyar dan pengawalan polisi dua truk.
”Ini sangatlah menghina institusi Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, sebagai institusi intelektual sekaligus penyelenggara acara ini”, demikianlah yang dikatakan oleh Prof. DR. H. Ahmad Zahro, MA selaku direktur pasca sarjana di kampus Islam negeri yang ada berada di kota pahlawan tersebut.
Padahal jaminan keamanan sebelumnya juga diutarakan oleh KH Ali Masyhuri yang akrab disapa Gus Ali, salah seorang wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, sebagaimana yang dirilis di harian Duta Masyarakat (6 maret 2008). Namun pada kenyataannya Mahrus Ali tetap tidak hadir dalam acara tersebut.
Rasa penasaran para peserta seminar pada sosok H Mahrus Ali akhirnya tak terobati, karena si penulis tidak hadir. Namun kedatangan Muamal Hamidi. Lc sebagai pemberi pengantar pada buku Mahrus Ali dianggap oleh peserta cukup mewakili pemikiran–pemikiran Mahrus Ali pada buku yang memicu konflik tersebut. Apalagi dalam kata pengantarnya Muammal Hamidi menulis bahwa ia telah menelaah dan mengkaji dengan teliti isi buku yang ditulis Mahrus Ali.
Materi ilmiah dan penyajian dalil yang lebih akurat dengan literatur yang komplit, rapi juga jelas dari tim tim LBM (Lembaga Bahstul Masa’il) NU Jember, tak berimbang dengan penyajian Muamal Hamidi Lc. Bahkan terkesan bahwa pihak Muammal Hamidi tidak mampu memberi jawaban yang memuaskan atas seabarek pertanyaan yang diajukan. Dan yang membuat peserta seminar ilmiah itu ger-gerran adalah pernyataan Muamal Hamidi yang mengaku tak mengenal H Mahrus Ali dan membaca bukunya sepintas-sepintas saja. Lalu memberi kata pengantar pada buku yang dinilai banyak kalangan sangat profokatif itu.
Sejak awal seminar berjalan dengan lancar. Namun setelah terkesan bahwa pihak Muammal Hamidi terkesan berbelit-belit dalam menjawab, tidak fokus pada materi pertanyaan yang diajukan, peserta mulai gerah. Sehingga moderator terpaksa menghentikan acara dengan kesepakatan peserta. (Khalili Hasib)
Sudah bukan zamannya mengusik perkara furu’iyah (cabang-cabang agama) semacam hukum membaca qunut, tahlil, tawassul, istighotsah dan lain sebagainya. Persoalan ini sudah dibahas para ulama fikih ratusan tahun yang lalu. Dan masing-masing ulama memiliki dalil yang cukup kuat dan akurat dengan berpijak pada berbagai rujukan yang di pakai oleh mereka.
Sudah sekian lama kaum muslimin Indonesia khususnya Ahlus sunnah wal jama’ah hidup berdampingan saling mencintai dan bersaudara. Namun, belakangan ini keharmonisan terusik oleh perdebatan-perdebatan klasik yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan. Apalagi kemudian disertai provokasi, memvonis kafir, musyrik dan sesat.
Sudah bukan zamannya mengusik perkara furu’iyah (cabang-cabang agama) semacam hukum membaca qunut, tahlil, tawassul, istighotsah dan lain sebagainya. Persoalan ini sudah dibahas para ulama fikih ratusan tahun yang lalu. Dan masing-masing ulama memiliki dalil yang cukup kuat dan akurat dengan berpijak pada berbagai rujukan yang di pakai oleh mereka.
Adalah hal yang biasa terjadi perbedaan status hukum fikih di antara para ulama’ terhadap sebuah persoalan. Antar para sahabat di zaman Rasulullah SAW saja sering terjadi perbedaan dalam mengaplikasikan ajaran Islam.
Tapi walaupun berbeda, para ulama salaf tidak pernah saling menyesatkan apalagi saling mengkafirkan. Perbedaan hukum fikih justru menambah khazanah keilmuan. Seperti yang di sabdakan oleh Rasulullah, ”Perbedaan di antara umatku adalah rahmat”.
Meributkan persoalan furu’iyah akan menguras tenaga sia-sia. Alangkah baiknya bila daya upaya kita difokuskan untuk menyelesaikan problem-probelm umat Islam yang lebih penting.
Namun sayangnya, ide semacam itu tidaklah sejalan dengan ulah sebagian kecil kelompok Islam. Di mana seharusnya kita sibuk dengan upaya dakwah agar orang lain memahami tentang Islam, atau jika perlu mengislamkan orang lain. Kelompok ini malah sibuk menulis buku yang mengkafirkan sesama umat Islam.
Mengungkit-ungkit kembali persoalan furu’ jelas akan merusak hubungan baik antar sesama Muslim. Apalagi disertai dengan vonis kafir dan sesat terhadap saudaranya sendiri.
Kedamaian yang telah lama dibina itu belakangan terusik oleh buku H Mahrus Ali yang berjudul ”Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik”. Mahrus mengaku sebagai mantan kiai NU, padahal menjadi anggota NU saja ia tidak pernah terdaftar. Mahrus menyatakan bahwa mayoritas umat sudah jatuh kepada kemusyrikan.
Kehadiran buku ini memicu perselisihan dan konflik dalam tubuh umat Islam. Apalagi H Mahrus Ali tidak berani bertanggung jawab terhadap apa yang telah ia tulis di dalam bukunya dalam bentuk dialog terbuka dengan berbagai alasan.
Untungnya, warga nahdliyin masih menyikapi dengan kepala dingin, walaupun beredarnya buku H Mahrus Ali tersebut sangat meresahkan umat Islam khususnya warga Nahdliyyin.
Upaya pendekatan ilmiah yang digagas oleh tim LBM (Lembaga Bahstul Masa’il) NU Jember patut menjadi contoh dalam mengaplikasikan konsep dan prilaku akhlakul karimah dalam menyelesaikan permasalahan umat dalam koridor ahlusunnah wal jama’ah. Tim LBM NU Jember yang dikomandani kiai-kiai muda asal kota Jember Jawa Timur tersebut telah menerbitkan sebuah buku dengan judul ”Membongkar Kebohongan Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik”.
”Buku di jelaskan dengan buku, dan kita pertemukan aspek pemikirannya untuk dipertanggung jawabkan” begitulah yang diungkapkan oleh KH Abdullah Samsul Arifin salah satu kiai muda NU asal Jember.
Sebagai folow-up peluncuran buku tersebut dan juga sebagai media tabayyun (klarifikasi) kedua pihak, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya menggagas acara seminar nasional dengan judul ”Bedah Pemikiran Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik” Vs buku Membongkar Kebohongan Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik” .
Acara tersebut dikemas dalam rangka menemukan sisi ilmiah dari polemik yang selama ini terjadi. Sehingga tidak menjadi momok dan problem baru bagi umat Islam. Seminar yang cukup menyita perhatian umat Islam tersebut digelar di aula Pusat Pengembangan Intelektual (P2I ) Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Hadir sebagai pembicara KH. Muamal Hamidi (pemberi pengantar pada buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik” dan Ustadz Idrus Ramli bersama KH Abdullah Samsul Arifin sebagai penulis buku Membongkar Kebohongan Buku ”Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik” dari tim Tim LBM NU Jember.
Ketidak hadiran sang ”mantan kiai NU”, Mahrus Ali dengan alasan yang tak masuk akal yaitu alasan keamanan memang patut disesalkan. Apalagi dengan meminta jaminan uang sebesar tiga milyar dan pengawalan polisi dua truk.
”Ini sangatlah menghina institusi Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, sebagai institusi intelektual sekaligus penyelenggara acara ini”, demikianlah yang dikatakan oleh Prof. DR. H. Ahmad Zahro, MA selaku direktur pasca sarjana di kampus Islam negeri yang ada berada di kota pahlawan tersebut.
Padahal jaminan keamanan sebelumnya juga diutarakan oleh KH Ali Masyhuri yang akrab disapa Gus Ali, salah seorang wakil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, sebagaimana yang dirilis di harian Duta Masyarakat (6 maret 2008). Namun pada kenyataannya Mahrus Ali tetap tidak hadir dalam acara tersebut.
Rasa penasaran para peserta seminar pada sosok H Mahrus Ali akhirnya tak terobati, karena si penulis tidak hadir. Namun kedatangan Muamal Hamidi. Lc sebagai pemberi pengantar pada buku Mahrus Ali dianggap oleh peserta cukup mewakili pemikiran–pemikiran Mahrus Ali pada buku yang memicu konflik tersebut. Apalagi dalam kata pengantarnya Muammal Hamidi menulis bahwa ia telah menelaah dan mengkaji dengan teliti isi buku yang ditulis Mahrus Ali.
Materi ilmiah dan penyajian dalil yang lebih akurat dengan literatur yang komplit, rapi juga jelas dari tim tim LBM (Lembaga Bahstul Masa’il) NU Jember, tak berimbang dengan penyajian Muamal Hamidi Lc. Bahkan terkesan bahwa pihak Muammal Hamidi tidak mampu memberi jawaban yang memuaskan atas seabarek pertanyaan yang diajukan. Dan yang membuat peserta seminar ilmiah itu ger-gerran adalah pernyataan Muamal Hamidi yang mengaku tak mengenal H Mahrus Ali dan membaca bukunya sepintas-sepintas saja. Lalu memberi kata pengantar pada buku yang dinilai banyak kalangan sangat profokatif itu.
Sejak awal seminar berjalan dengan lancar. Namun setelah terkesan bahwa pihak Muammal Hamidi terkesan berbelit-belit dalam menjawab, tidak fokus pada materi pertanyaan yang diajukan, peserta mulai gerah. Sehingga moderator terpaksa menghentikan acara dengan kesepakatan peserta. (Khalili Hasib)
Benang Merah Agama, Kiai dan Politik
Agama dan politik memang dua entitas berbeda, namun tak jarang agama dimanfaatkan sebagai alat mengambil dan mempertahankan kekuasaan politik. Itu tidak lepas dari adanya otoritas dalam agama yang bisa memberikan legitimasi kepada negara, partai, dan perorangan. Kemampuan agama dalam menancapkan legitimasi pada kekuasaan politik disebabkan oleh kenyataan bahwa agama adalah energi dahsyat yang mampu menyublimasikan dan mensakralkan alam profan (duniawiah).
Agama dan politik memang dua entitas berbeda, namun tak jarang agama dimanfaatkan sebagai alat mengambil dan mempertahankan kekuasaan politik. Itu tidak lepas dari adanya otoritas dalam agama yang bisa memberikan legitimasi kepada negara, partai, dan perorangan. Kemampuan agama dalam menancapkan legitimasi pada kekuasaan politik disebabkan oleh kenyataan bahwa agama adalah energi dahsyat yang mampu menyublimasikan dan mensakralkan alam profan (duniawiah).
Menurut seorang ahli, agama disebut pula sebagai langit suci (the sacred canopy) yang dapat dijadikan instrumen memperkokoh politik dan seluruh tindakan manusia. Dengan berdiri di bawah langit suci agama, manusia memiliki semacam ketenangan psikologis (batin) karena tindakannya memiliki referensi pada teks keagamaan. Berpijak dari paradigma inilah dapat dipahami alasan penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam proses politik.
Selanjutnya, sejauh manakah keefektifan peran agama—dalam hal ini agama Islam—dalam kancah perpolitikan yang dimainkan oleh para tokohnya (ulama atau kiai)? Dan apa sebenarnya misi para tokoh agama di saat mereka harus terjun langsung ke wilayah politik praktis? Lalu, seberapa besar peluang umat Islam untuk dapat mewarnai perpolitikan nasional? Berikut statemen klise hasil wawancara eksklusif Umar Faruq dari Mafahim dengan beberapa tokoh dan akademisi yang memiliki kompetensi di bidang politik:
Gus MADJID MAIMUN
Anggota Legislatif dan Fungsionaris PPP
”Kembalikan Kepercayaan Umat
Melalui Prilaku Santun Berpolitik!”
Sebagai umat mayoritas di negeri ini, umat Islam merindukan terlaksananya syari’ah Islam secara total. Itu idealnya. Sebab kaum Muslimin berkeyakinan bahwa Islam adalah agama sempurna yang ”ya’lu walaa yu’la ’alaihi”. Tak ada seorangpun yang tak berkeinginan tegaknya syari’at.
Namun kia saat ini hidup di Indonesia. Yang didalamnya menganut sistem perpolitikan demokrasi. Menyikapi hal tersebut, umat Islam perlu menata startegi agar mampu mewarnai sistem perpolitikan yang sudah berlaku ini. Jika tidak maka jatah umat Islam akan direbut oleh orang lain.
Umat Islam dituntut untuk dapat mewaranai perpolitikana nasional. Caranya, dengan masuk ke dalam sistem. Diantaranya adalah terlibat dalam politik praktis. Tidak apa-apa, kalau misalnya ada tokoh umat Islam yang masuk di partai-partai politik. Tidak hanya di satu partai, tapi di beberapa partai. Tidak hanya di partai yang berlabel Islam, tetapi di partai yang tidak berlabel Islam, tafaddhol. Tapi yang utama adalah partai Islam. Dengan demikian tokoh umat Islam akan mampu masuk dari banyak pintu, sehinga Islam tampil penuh variasi dengan baju yang bervariasi pula. Namun pada akhirnya bermuara pada satu titik, yaitu tegaknya nilai-nilai ajaran Islam.
Namun patut disayangkan, jika dalam prakteknya banyak tokoh umat Islam yang dalam memainkan manuver politiknya masih dipengaruhi oleh kepentingan kelompok, golongan, maupun individu. Sehingga seringkali kita jumpai, antara sesama politisi Muslim saling menjegal, menelikung, atau menggunting dalam lipatan. Mereka saling menjelekkan dan menjatuhkan tokoh atau partai lain. Padahal sama-sama tokoh Islam. Ini musykilat.
Akibatnya, umat menjadi bingung. Permasalahan ini kian komplit, disaat umat Islam dan tokohnya memilih partai hanya karena simbol semata. Mereka tidak memperhatikan isi. Mereka cenderung ikut-ikutan, sehingga mudah terjebak pada kepentingan politi yang pragmatis. Hal ini yang kian membuat umat semakin bingung. Pada saat yang sama, para tokoh umat Islam sudah tidak mendapatkan tempat di hati umatnya. Umat Islam mengalami krisis kepercayaan.
Untuk mengembalikan kepercayaan umat, maka para politisi Muslim bersama para kiai, setidaknya mampu menampilkan prilaku yang mencerminkan teladan yang baik bagi umat. Di samping itu, keberadaan perkumpulan-perkumpulan yang masih murni dan tidak diembel-embeli kepentingan politik, selayaknya difungsikan dan dilestarikan semaksimal mungkin. Hal ini untuk mengembalikan kepercayaan umat di tengah kebingungan.
As Shofwah, misalnya, diharapkan mampu mempersatukan kembali potensi-potensi umat yang—barangkali—sudah hampir rapuh. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan agar organisasi semisal As Shofwah, atau pertemuan Multaqo seperti ini tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik. Sehingga organisasi dan momen ini benar-benar menjadi penyejuk bagi umat.
HABIB ABDULLAH MULAKHELAH
Tokoh Habaib dan Syuriah NU
”Kiai Jangan Terlibat Langsung
Dalam Politik,
Tapi Jangan Jauh-Jauh Dari Politik!”
Berkecimpung di dunia politik adalah bagian dari mua’amalah, dan itu sah-sah saja. Ini bagian dari hablum minannas. Yaitu meliputi ihtiramul jaar (menghormat tetangga), ihtiramus shaghir (menghormat yang muda), ikramul kibar (memuliakan yang tua), dan siyasah (politik).
Perlu dipahami bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita membutuhkan aturan sebagai sistem kehidupan formal. Lha, sistem untuk mengatur pranata sosial itu juga bagian dari politik. Islam sangat memperhatikan urgensi politik sebagai sistem kehidupan umat Islam. Dalam sistematika fikih, kita mengenal empat pilar syari’ah, yaitu ibadah (etika penghambaan), mu’amalah (sistem interaksi sosial), munakahat (sistem perkawinan), dan jinayat (sistem pidana). Keempat pilar ini secara eksplisit adalah sistem kehidupan yang benuansa politik dan berpijak pada nilai-nilai Islam. Ini harus ditegakkan.
Maka tak heran jika banyak dari para ulama terdahulu yang juga sekaligus menjadi politisi. Begitu pula para khulafa ar rasyidin, mereka adalah para politisi yang ulung. Kita saksikan, bagaimana prosesi peralihan kekuasaan pasca wafatnya Rasulullah. Sayyidina Abu Bakar terpilih dengan cara langsung. Sayyidina Umar dipilih dengan cara membentuk tim formatur. Dan begitulah seterusnya. Ini adalah bagian dari prosesi politik yang sudah ada sejak awal umat Islam.
Menyikapi fenomena mulai mengeringnya kepercayaan umat terhadap tokohnya, ini perlu penanganan serius. Idealnya, seorang kiai jangan terlibat langsung dalam kancah politik praktis. Tapi jangan pula ia menjauh dari politik praktis. Sebab politik adalah bagian dari kehidupan dan kbutuhan umat. Namun repotnya, banyak kia-kiai yang tergoda dengan gemerlap politik. Merekapun masuk ke wilayah praktis. Akibatnya, umat terbengkalai.
Kiai harus mampu melakukan monitoring, kontroling, dan pembinaan terhadap prilaku politik para politisi. Kalaupun terpaksa masuk ke dalam ranah politik praktis, seorang kiai harus mampu memainkan peran secantik mungkin. Jangan mencaci, menjelekkan, atau menyalahkan partai atau orang lain. Jika tidak mampu, sebaiknya kiai angkat kaki dari politik!
Yang jadi musykilat saat ini, banyak dari tokoh kita yang belum mampu menyatukan visi dan misi partai-partai Islam. Prilaku politik umat Islam masiih jauh dari sentuhan tehnis politik Islam. Ini yang menjadi hambatan bagi terealisasinya nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan. Sehingga terlalu euforis jika mengatakan bahwa keterlibatan para kiai akan berpotensi pada terbentuknya sistem negara yang Islami, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa kekhalifahan. Oleh karena itu, komponen politik umat Islam harus menyatukan visi misi politiknya demi mencapai tujuan yang gemilang.
Harapan ana, hai’ah As Shofwah mampu mensinergiskan kekuatan umat Islam dan ulama sebagai basis politik dengan manhaj yang satu. Namun bukan berarti harus terlibat dalam wilayah politik praktis. Artinya, masing-masing individu berkomitmen untuk membawa manhaj Abuya ke segala lini, dengan cara masuk dan terlibat di beberapa lini dakwah. Apakah melalui dakwah, tarbiyah, ataupun siyasah.
KH. MAKSHUM TR.
Tokoh Ulama dan Pengurus Syu’bah Idhariah
Thariqah Mu’tabaroh An-Nahdhiyyah
”Politik Adalah Bagian dari Perjuangan Kiai”
Sebenarnya segala sesuatu itu tergantung dari kompetensinya. Jika masalah diserahkan pada ahlinya yang kompeten, maka tidak jadi masalah. Jika ada seorang kiai yang ahli di bidang politik, tafaddhol! Biarkan dia masuk untuk mewarnai perpolitikan nasional. Sebab bagaimanapun juga, seorang kiai dan umat Islam jangan sampai ketinggalan dalam masalah politik.
Ana sepakat dengan pernyataan Habib Riziq (Ketua FPI), bahwa umat Islam harus bisa berjuang di segala bidang. Hal ini sejalan dengan paradigma para sesepuh NU,
أُذْخُلُوْا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَلاَ تَذْخُلُوْا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ
“Masukah dari beberapa pintu, dan jangan masuk hanya lewat satu pintu saja.” Dengan demikian wajah perpolitikan kita akan variatif dan dinamis. Umat Islam akan dapat mewarnai wajah perpolitikan dengan nilai-nilai syari’at.
Ana rasa, jika ada kiai yang terjun ke dunia politik, dia harus kompeten, kredibel, dan menguasai medan. Sehingga nanti tidak mengurangi kredibilitas kekiaiannya. Sebab esensinya, politik tidak dapat dipandang sebagai momok yang merugikan kiai. Mengingat kiai dan umat Islam hidup dalam sebuah negara atau komunitas masyarakat yang mengharuskan untuk berpolitik.
Dalam berdakwah sekalipun, membutuhkan trik dan strategi politik. Metode ini pula yang pernah dilakukan oleh para sahabat serta para pemimpin umat Islam.
Sungguh merupakan bencana terbesar jika umat Islam tertinggal di bidang politik. Maka perpolitikan suatu daerah akan dikuasai oleh orang-orang di luar Islam. Kita saksikan, bencana yang melanda umat Islam di Kalimantan Barat. Kekuatan umat Islam luluhlantak. Secara politis umat Islam kalah. Padahal kita mayoritas di sana. Mulai dari gubernur, bupati, kepala dinas, dan jabatan-jabatan strategis lainnya dikuasai oleh kelompok Salibis.
Dampaknya, para pejabat non Muslim berpeluang untuk mengatur strategi. Mereka berhasil mengelabui umat Islam dengan berfoto di depan masjid dan mengenakan kopiah sembari mengucapkan selamat Idul Fitri. Ini adalah kekalahan umat Islam yang riil secara politis, yang pada akhirnya merembet pada masalah yang lain. Inilah bencana terbesar bagi umat Islam.
Munculnya perpecahan dalam politik, itu adalah konsekwensi politis. Ini bukan masalah akidah. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan. Yang terpenting masing-masing komponen umat mampu bermain cantik dalam berpolitik. Sehingga perpecahan itu tidak merugikan Islam dan kaum Muslimin. Dan untuk mengembalikan persatuan umat, maka segera kembali kepada tuntunan al-Qur’an dan sunnah.
Perpecahan dalam tubuh umat akan menjadi masalah yang krusial jika sudah menyentuh ranah ibadah dan akidah. Misalnya berbeda dalam masalah haji, shalat, zakat, dan masalah aksiomatik lainnya. Jika perselisihan antar kiai, itu kan masalah politik. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan. Itulah konsekwensinya.
Kita dapat mereview bagaimana konstalasi politik di jaman sahabat. Tapi para sahabat mampu bermain politik secara cantik. Mereka tidak meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Jadi tidak masalah. Kalaupun ada yang menuduh bahwa politik yang diterapkan oleh sahabat adalah kotor, kita lihat saja. Toh, justru si penuduh itu sendiri yang kotor!
Agama dan politik memang dua entitas berbeda, namun tak jarang agama dimanfaatkan sebagai alat mengambil dan mempertahankan kekuasaan politik. Itu tidak lepas dari adanya otoritas dalam agama yang bisa memberikan legitimasi kepada negara, partai, dan perorangan. Kemampuan agama dalam menancapkan legitimasi pada kekuasaan politik disebabkan oleh kenyataan bahwa agama adalah energi dahsyat yang mampu menyublimasikan dan mensakralkan alam profan (duniawiah).
Menurut seorang ahli, agama disebut pula sebagai langit suci (the sacred canopy) yang dapat dijadikan instrumen memperkokoh politik dan seluruh tindakan manusia. Dengan berdiri di bawah langit suci agama, manusia memiliki semacam ketenangan psikologis (batin) karena tindakannya memiliki referensi pada teks keagamaan. Berpijak dari paradigma inilah dapat dipahami alasan penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam proses politik.
Selanjutnya, sejauh manakah keefektifan peran agama—dalam hal ini agama Islam—dalam kancah perpolitikan yang dimainkan oleh para tokohnya (ulama atau kiai)? Dan apa sebenarnya misi para tokoh agama di saat mereka harus terjun langsung ke wilayah politik praktis? Lalu, seberapa besar peluang umat Islam untuk dapat mewarnai perpolitikan nasional? Berikut statemen klise hasil wawancara eksklusif Umar Faruq dari Mafahim dengan beberapa tokoh dan akademisi yang memiliki kompetensi di bidang politik:
Gus MADJID MAIMUN
Anggota Legislatif dan Fungsionaris PPP
”Kembalikan Kepercayaan Umat
Melalui Prilaku Santun Berpolitik!”
Sebagai umat mayoritas di negeri ini, umat Islam merindukan terlaksananya syari’ah Islam secara total. Itu idealnya. Sebab kaum Muslimin berkeyakinan bahwa Islam adalah agama sempurna yang ”ya’lu walaa yu’la ’alaihi”. Tak ada seorangpun yang tak berkeinginan tegaknya syari’at.
Namun kia saat ini hidup di Indonesia. Yang didalamnya menganut sistem perpolitikan demokrasi. Menyikapi hal tersebut, umat Islam perlu menata startegi agar mampu mewarnai sistem perpolitikan yang sudah berlaku ini. Jika tidak maka jatah umat Islam akan direbut oleh orang lain.
Umat Islam dituntut untuk dapat mewaranai perpolitikana nasional. Caranya, dengan masuk ke dalam sistem. Diantaranya adalah terlibat dalam politik praktis. Tidak apa-apa, kalau misalnya ada tokoh umat Islam yang masuk di partai-partai politik. Tidak hanya di satu partai, tapi di beberapa partai. Tidak hanya di partai yang berlabel Islam, tetapi di partai yang tidak berlabel Islam, tafaddhol. Tapi yang utama adalah partai Islam. Dengan demikian tokoh umat Islam akan mampu masuk dari banyak pintu, sehinga Islam tampil penuh variasi dengan baju yang bervariasi pula. Namun pada akhirnya bermuara pada satu titik, yaitu tegaknya nilai-nilai ajaran Islam.
Namun patut disayangkan, jika dalam prakteknya banyak tokoh umat Islam yang dalam memainkan manuver politiknya masih dipengaruhi oleh kepentingan kelompok, golongan, maupun individu. Sehingga seringkali kita jumpai, antara sesama politisi Muslim saling menjegal, menelikung, atau menggunting dalam lipatan. Mereka saling menjelekkan dan menjatuhkan tokoh atau partai lain. Padahal sama-sama tokoh Islam. Ini musykilat.
Akibatnya, umat menjadi bingung. Permasalahan ini kian komplit, disaat umat Islam dan tokohnya memilih partai hanya karena simbol semata. Mereka tidak memperhatikan isi. Mereka cenderung ikut-ikutan, sehingga mudah terjebak pada kepentingan politi yang pragmatis. Hal ini yang kian membuat umat semakin bingung. Pada saat yang sama, para tokoh umat Islam sudah tidak mendapatkan tempat di hati umatnya. Umat Islam mengalami krisis kepercayaan.
Untuk mengembalikan kepercayaan umat, maka para politisi Muslim bersama para kiai, setidaknya mampu menampilkan prilaku yang mencerminkan teladan yang baik bagi umat. Di samping itu, keberadaan perkumpulan-perkumpulan yang masih murni dan tidak diembel-embeli kepentingan politik, selayaknya difungsikan dan dilestarikan semaksimal mungkin. Hal ini untuk mengembalikan kepercayaan umat di tengah kebingungan.
As Shofwah, misalnya, diharapkan mampu mempersatukan kembali potensi-potensi umat yang—barangkali—sudah hampir rapuh. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan agar organisasi semisal As Shofwah, atau pertemuan Multaqo seperti ini tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik. Sehingga organisasi dan momen ini benar-benar menjadi penyejuk bagi umat.
HABIB ABDULLAH MULAKHELAH
Tokoh Habaib dan Syuriah NU
”Kiai Jangan Terlibat Langsung
Dalam Politik,
Tapi Jangan Jauh-Jauh Dari Politik!”
Berkecimpung di dunia politik adalah bagian dari mua’amalah, dan itu sah-sah saja. Ini bagian dari hablum minannas. Yaitu meliputi ihtiramul jaar (menghormat tetangga), ihtiramus shaghir (menghormat yang muda), ikramul kibar (memuliakan yang tua), dan siyasah (politik).
Perlu dipahami bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita membutuhkan aturan sebagai sistem kehidupan formal. Lha, sistem untuk mengatur pranata sosial itu juga bagian dari politik. Islam sangat memperhatikan urgensi politik sebagai sistem kehidupan umat Islam. Dalam sistematika fikih, kita mengenal empat pilar syari’ah, yaitu ibadah (etika penghambaan), mu’amalah (sistem interaksi sosial), munakahat (sistem perkawinan), dan jinayat (sistem pidana). Keempat pilar ini secara eksplisit adalah sistem kehidupan yang benuansa politik dan berpijak pada nilai-nilai Islam. Ini harus ditegakkan.
Maka tak heran jika banyak dari para ulama terdahulu yang juga sekaligus menjadi politisi. Begitu pula para khulafa ar rasyidin, mereka adalah para politisi yang ulung. Kita saksikan, bagaimana prosesi peralihan kekuasaan pasca wafatnya Rasulullah. Sayyidina Abu Bakar terpilih dengan cara langsung. Sayyidina Umar dipilih dengan cara membentuk tim formatur. Dan begitulah seterusnya. Ini adalah bagian dari prosesi politik yang sudah ada sejak awal umat Islam.
Menyikapi fenomena mulai mengeringnya kepercayaan umat terhadap tokohnya, ini perlu penanganan serius. Idealnya, seorang kiai jangan terlibat langsung dalam kancah politik praktis. Tapi jangan pula ia menjauh dari politik praktis. Sebab politik adalah bagian dari kehidupan dan kbutuhan umat. Namun repotnya, banyak kia-kiai yang tergoda dengan gemerlap politik. Merekapun masuk ke wilayah praktis. Akibatnya, umat terbengkalai.
Kiai harus mampu melakukan monitoring, kontroling, dan pembinaan terhadap prilaku politik para politisi. Kalaupun terpaksa masuk ke dalam ranah politik praktis, seorang kiai harus mampu memainkan peran secantik mungkin. Jangan mencaci, menjelekkan, atau menyalahkan partai atau orang lain. Jika tidak mampu, sebaiknya kiai angkat kaki dari politik!
Yang jadi musykilat saat ini, banyak dari tokoh kita yang belum mampu menyatukan visi dan misi partai-partai Islam. Prilaku politik umat Islam masiih jauh dari sentuhan tehnis politik Islam. Ini yang menjadi hambatan bagi terealisasinya nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan. Sehingga terlalu euforis jika mengatakan bahwa keterlibatan para kiai akan berpotensi pada terbentuknya sistem negara yang Islami, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa kekhalifahan. Oleh karena itu, komponen politik umat Islam harus menyatukan visi misi politiknya demi mencapai tujuan yang gemilang.
Harapan ana, hai’ah As Shofwah mampu mensinergiskan kekuatan umat Islam dan ulama sebagai basis politik dengan manhaj yang satu. Namun bukan berarti harus terlibat dalam wilayah politik praktis. Artinya, masing-masing individu berkomitmen untuk membawa manhaj Abuya ke segala lini, dengan cara masuk dan terlibat di beberapa lini dakwah. Apakah melalui dakwah, tarbiyah, ataupun siyasah.
KH. MAKSHUM TR.
Tokoh Ulama dan Pengurus Syu’bah Idhariah
Thariqah Mu’tabaroh An-Nahdhiyyah
”Politik Adalah Bagian dari Perjuangan Kiai”
Sebenarnya segala sesuatu itu tergantung dari kompetensinya. Jika masalah diserahkan pada ahlinya yang kompeten, maka tidak jadi masalah. Jika ada seorang kiai yang ahli di bidang politik, tafaddhol! Biarkan dia masuk untuk mewarnai perpolitikan nasional. Sebab bagaimanapun juga, seorang kiai dan umat Islam jangan sampai ketinggalan dalam masalah politik.
Ana sepakat dengan pernyataan Habib Riziq (Ketua FPI), bahwa umat Islam harus bisa berjuang di segala bidang. Hal ini sejalan dengan paradigma para sesepuh NU,
أُذْخُلُوْا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ وَلاَ تَذْخُلُوْا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ
“Masukah dari beberapa pintu, dan jangan masuk hanya lewat satu pintu saja.” Dengan demikian wajah perpolitikan kita akan variatif dan dinamis. Umat Islam akan dapat mewarnai wajah perpolitikan dengan nilai-nilai syari’at.
Ana rasa, jika ada kiai yang terjun ke dunia politik, dia harus kompeten, kredibel, dan menguasai medan. Sehingga nanti tidak mengurangi kredibilitas kekiaiannya. Sebab esensinya, politik tidak dapat dipandang sebagai momok yang merugikan kiai. Mengingat kiai dan umat Islam hidup dalam sebuah negara atau komunitas masyarakat yang mengharuskan untuk berpolitik.
Dalam berdakwah sekalipun, membutuhkan trik dan strategi politik. Metode ini pula yang pernah dilakukan oleh para sahabat serta para pemimpin umat Islam.
Sungguh merupakan bencana terbesar jika umat Islam tertinggal di bidang politik. Maka perpolitikan suatu daerah akan dikuasai oleh orang-orang di luar Islam. Kita saksikan, bencana yang melanda umat Islam di Kalimantan Barat. Kekuatan umat Islam luluhlantak. Secara politis umat Islam kalah. Padahal kita mayoritas di sana. Mulai dari gubernur, bupati, kepala dinas, dan jabatan-jabatan strategis lainnya dikuasai oleh kelompok Salibis.
Dampaknya, para pejabat non Muslim berpeluang untuk mengatur strategi. Mereka berhasil mengelabui umat Islam dengan berfoto di depan masjid dan mengenakan kopiah sembari mengucapkan selamat Idul Fitri. Ini adalah kekalahan umat Islam yang riil secara politis, yang pada akhirnya merembet pada masalah yang lain. Inilah bencana terbesar bagi umat Islam.
Munculnya perpecahan dalam politik, itu adalah konsekwensi politis. Ini bukan masalah akidah. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan. Yang terpenting masing-masing komponen umat mampu bermain cantik dalam berpolitik. Sehingga perpecahan itu tidak merugikan Islam dan kaum Muslimin. Dan untuk mengembalikan persatuan umat, maka segera kembali kepada tuntunan al-Qur’an dan sunnah.
Perpecahan dalam tubuh umat akan menjadi masalah yang krusial jika sudah menyentuh ranah ibadah dan akidah. Misalnya berbeda dalam masalah haji, shalat, zakat, dan masalah aksiomatik lainnya. Jika perselisihan antar kiai, itu kan masalah politik. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan. Itulah konsekwensinya.
Kita dapat mereview bagaimana konstalasi politik di jaman sahabat. Tapi para sahabat mampu bermain politik secara cantik. Mereka tidak meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Jadi tidak masalah. Kalaupun ada yang menuduh bahwa politik yang diterapkan oleh sahabat adalah kotor, kita lihat saja. Toh, justru si penuduh itu sendiri yang kotor!